Chapter 07: Hari Minggu Nadhif
Chapter 07 : Hari Minggu Nadhif
“Abang, hari ini temenin Mama ke pasar, gak?”
“Iyalah, Mama gak liat aku udah ganteng gini? Siap jadi sopir untuk nganter Mama ke pasar,” jawab Nadhif menyisir bagian samping rambut hitamnya dengan jari.
Bu Indah melengos. “Ke pasar doang gaya udah kaya mau ngelamar anak orang,” ledeknya yang tentu saja tidak membuat rasa percaya pemuda itu turun se-persenpun.
“Lah siapa yang tahu Nadhif ketemu jodoh di pasar? Atau jodoh Nadhif lagi nemenin Mamanya juga?” ucap Nadhif beruntun, mengalahkan argumen sang Mama.
“Date di pasar gak tuh,” lanjut Nadhif dibalas toyoran kecil di kepalanya.
“Kalo ngehalu gausah ketinggian, Bang, yang namanya jatoh tetep sakit,” kata Bu Indah berjalan ke dapur menyiapkan keranjang belanja.
“Seenggaknya Abang jatuh dipuluhan bintang-bintang, Ma,” balas Nadhif mendramatisir.
“Abang ada aja ih jawabannya,” celetuk Ulfa kesal mendengar jawaban absurd abangnya.
Nadhif menolehkan kepala, kemudian tersenyum riang. “Eh princess udah bangun, mau sarapan apa? Prince Abang yang siapin,” katanya menarik Ulfa untuk duduk di depan meja makan.
Ulfa menegakkan bahunya, berdehem sebentar ala-ala tuan putri kerajaan. Mendongakkan kepala, kemudian melentikkan jari dan menunjuk pada semangkuk nasi goreng yang masih hangat.
Nadhif mengambil celemek di sisi kulkas untuk dipasangkan ke badannya ala-ala chef professional. Menggantung lap meja di lengan khas pelayan restoran.
Nadhif menyebutnya, ‘Chef yang jadi pelayan’.
Ulfa tertawa, kembali berdehem kecil. “Saya mau nasi goreng dengan taburan bawang goreng yang ditemani kerupuk udang diatasnya,” katanya bersikap seperti ratu.
“NASI GORENG AKAN SEGERA DATANG!” seru Nadhif berlari kecil mengambil piring.
Pemuda itu mengangkat lengan kanan dan melentikan jarinya untuk menaburkan bawang goreng diatas nasi yang sudah ia susun menjadi bentuk kepala dengan mata dan senyum kecil dari kulit cabai merah yang sudah ia cuci.
Totalitas sekali ya, Chef Nadhif ini pemirsa.
Ulfa dan Bu Indah bertepuk tangan girang melihat aksi Nadhif. “Terima kasih semua atas dukungannya,” ucapnya menutup mulut dramatis, alisnya menyatu seperti akan menangis. “Aku gak nyangka bisa sampe sejauh ini....”
“Astaga, Papa kira udah ke pasar malah jadi ajang adu bakat,” celetuk Pak Adam geleng-geleng kepala melihat kelakuan anak dan istrinya.
“Ih Papa salah, ini master chef tau bukan ajang adu bakat, kalo adu bakat ya gitaran,” sahut Bu Indah memberikan sepiring nasi goreng pada suaminya yang baru duduk bergabung ke meja makan.
“Asal kalian bahagia,” balas Papa tidak mau memperpanjang, fokus pada sarapannya.
Nadhif terkekeh, melepaskan celemek dan lap meja dari tubuhnya. “Yok, Mah, ke pasar, ntar sayurnya diabisin mamak-mamak yang lain,” katanya berjalan menuju kamar. “Abang ambil kunci mobil dulu, ya.”
Nadhif kembali menyisir rambutnya, menyemprotkan sedikit minyak wangi dan merapikan baju kaosnya. Nadhif tidak main-main dengan kalimatnya tentang jodoh. Siapa yang tahu dirinya bertemu jodoh saat perjalanan ke pasar atau ketika membantu Mama memilih tomat, jadi Nadhif harus tampil sebaik mungkin walau hanya ke pasar sekalipun.
“Oke udah ganteng, sip.”
***
“Gimana di sekolah baru, Bang? Temennya asik, gak?” tanya Bu Indah mengingat baru sekarang bisa menanyakan putra sulungnya setelah sibuk mengurus barang pindahan seminggu ini.
“Kalo ada Abang kelasnya pasti jadi asik dong, Ma.”
Bu Indah melengos. “Narsis kamu kapan ilangnya sih, Bang,” katanya dibalas senyuman kecil Nadhif. Entah turun dari siapa sifat jahilnya ini.
Nadhif berdehem. “Bercanda, Mah. Temen Abang orangnya baik semua kok. Tapi ya gitu, Mah. Nadhif kan di kelas XI IPA 1, sering dikira kumpulan anak pinter sama orang, padahal biasa aja tuh,” kata Nadhif bercerita sambil fokus menyetir. “Gak enaknya cuma bagian harus ngebawa ekspektasi orang-orang yang bilang kalo anak IPA 1 tuh pasti pinter,” lanjut Nadhif diakhiri helaan napas.
Baru membayangkannya saja sudah melelahkan.
Bu Indah mengangguk setuju. “Tapi gak bisa nyalahin yang berharap juga sih, Bang, kalo emang aturan kurikulum sekolahnya gitu, ya kita harus siap.”
Bu Indah menepuk pelan punggung anaknya. “Abang jangan sering ngeluh karena sekolah, ya. Gak semua orang bisa seberuntung Abang,” lanjutnya.
“Siaap, Ibu Negara!”
“Oh iya, Mah, Abang lupa cerita. Nadhif punya temen yang selalu juara olimpiade dari dia SMP. Tapi orangnya asik, Mah. Suka ngajarin yang lain, gak mau pinter sendirian katanya,” ucap Nadhif tanpa sadar tersenyum karena kembali mengingat wajah kesal Jihan karena disebut tukang nguping.
“Cewek apa cowok, Bang?”
“Cewek.”
Bu Indah mendelik. “OH CEWEK,” seru Bu Indah memainkan bola matanya. “Pantes aja mata sampe berbinar gitu nyeritainnya. Gebetan baru ya, Bang?” goda Bu Indah mencuil dagu putranya.
Nadhif menjauhkan kepalanya. “Enggak, Mamah. Abang suka aja gitu ngeliat orang pinter tapi bisa ngajarin temennya juga. Kan banyak tuh pinter yang cuma bisa disimpen sendiri, ada ini, Mah, beneran. Dia paham materi tapi gak bisa jelasin ke temennya sampe ikut paham juga. Jenis yang kaya gini biasanya dimusuhin karena dikira pelit.”
“Curhat, Bang?” tanya Bu Indah dengan nada seperti siaran Mamah Dede menggoda putrranya. Bu Indah tahu betul ornag yang dimaksud adalah Nadhif.
Nadhif adalah tipe yang tergolong manusia pinter tapi cuma bisa disimpen sendiri. Nadhif payah kalo jadi guru kayanya.
“Ih Mamah, Abang cerita serius ini,” rajuk Nadhif. Pemuda itu memperbaiki posisi spion untuk melihat keadaan. Mencari posisi yang pas memakirkan mobil.
Bu Indah terkekeh. “Iya deh, Maapin Mamah. Bercanda, Bang,” bujuk Bu Indah keluar dari mobil menyusul putranya yang sudah membawa keranjang belanjaan.
Nadhif menoleh ke belakang, menunggu Mamahnya untuk berjalan beriringan.
“Kalo gitu berati Abang harus banyak belajar sama dia, liatin cara dia ngejelasin gimana, siapa tahu bisa nular kan,” kata Bu Indah tidak mau membuat anaknya malu dengan terus menggoda walau gerakan salah tingkah Nadhif begitu terlihat di matanya.
“Jangan berhenti cerita sama Mamah ya, Bang. Mamah akan selalu dukung Abang selama itu hal positif,” lanjut Bu Indah.
Nadhif membuka keranjang belanja untuk diisi sayur yang baru saja dipilih Bu Indah. Kemudian Nahdif berucap, “Ucapanmu adalah perintah bagiku, wahai Ibu Negara Bapak Adam.”
Bu Indah terkekeh, kembali berjalan menyusuri sudut pasar menawar sana sini. Dirinya bersyukur Nadhif menjadi anak yang terbuka dan selalu memprioritaskan keluarga dan seseorang yang diceritakan Nadhif di mobil mungkin juga akan menjadi bagian dari hal yang putra sulungnya dahulukan setelah keluarga.
Sebuah senggolan kecil di lengannya membuat lamunan Bu Indah buyar. “Astaga Mamah, jangan ngelamun di pasar. Ntar pas pulang aja ngelamunnya, ya. Yok, fokus beli sayur yok!” kata Nadhif menggebu-gebu.
Bu Indah tertawa kecil.
“Kuylah, bestiee!”
***
Author Note:
Anak pertama perempuan hanya bisa tersenyum melihat tingkah Abang Nadhif.
Ya Allah, pengen punya abang juga :((
Curhat dong, Bang, wkkwkk! Nadhif di sekolah doang jailnya, guys. Kalo di rumah paling baeek dia.
Jumpa lagi hari senin, yaa. See u!
K.A
7 April 2022
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro