Chapter 06 : Sekolah Bekas Kuburan
Chapter 06: Sekolah Bekas Kuburan
“Ada yang ingin bertanya?”
Hening.
“Kalau tidak ada yang mau bertanya, Ibu yang tanya.”
Masih hening, tetapi sudah mulai ada pergerakan saling memberi kode.
“Kenapa pake segala ditanya sih, masa iya gua harus ngomong jujur 'Saya gak ngerti semua, Bu',” bisik Rehan kecil menundukkan kepalanya, berusaha agar tidak terlihat oleh mata Bu Nina.
“Rehan mau nanya, Bu!” celetuk Nadhif dengan suara ceria membuat seisi kelas langsung menatap kasihan pada Rehan.
Rehan mengumpat, “Nadhif anjing,” Nadhif hanya mengusap punggung temannya untuk memberi kekuatan.
“Sama-sama, Han,” balas Nadhif tak tau diri.
“Mau tanya apa, Rehan?” tanya Bu Nina.
“Anu, Bu ... itu,” Rehan menoleh kanan kiri meminta pertolongan. Tetapi disaat seperti ini para manusia XI IPA 1 akan berpura-pura tidak saling kenal.
Rehan menendang pelan kaki Nadhif, “Bantuin gue, ego! Gara-gara lo ini.”
"Lo tanya, suami Ibu ada berapa?” bisik pemuda itu membuat Rehan mengumpat untuk kedua kalinya.
“Rehan, jadi bertanya tidak?” Nada bicara Bu Nina mulai naik melihat Rehan yang hanya menoleh kanan kiri.
“Anu ... maaf, Bu. Saya gak jadi nanya,” kata Rehan menundukan kepalanya. Pemuda itu dapat mendengar cekikikan tertahan dari manusia tidak tahu diri di sampingnya.
Bu Nina menghela napas, memberi kesabaran lebih pada jiwanya. “Baiklah, seperti biasa, akan ada kuis di akhir pembelajaran. Silakan siapa yang bisa jawab soal, maju ke depan,” kata Bu Nina sudah meletakkan tiga spidol hitam di atas meja guru.
“Ibu berharap hari ini banyak yang aktif selain Jihan, ya. Anak kelas ini bukan cuma Jihan, kan?” tanya Bu Nia membuat XI IPA 1 diam tidak menjawab.
“Kuis setiap pertemuan yang Ibu berikan adalah penunjang nilai kalian dan termasuk ke dalam nilai tugas. Jadi, jika nilai UTS UAS kalian kecil, Ibu bisa ambil dari nilai tambahan kuis kalian. Jangan takut maju, karena dari kesalahan menjawab itulah kalian bisa makin ngerti sama materi yang sudah Ibu jelaskan,” jelas Bu Nina sudah mengambil waktu hampir lima belas menit untuk memberikan motivasi yang Nadhif yakini dalam otaknya bahwa hanya beberapa telinga yang menerima dengan baik kalimat panjang tersebut.
“Saya mau maju, Bu,” celetuk Nadhif sebelum kalimat Bu Nina berubah jadi paragraf cerita pendek.
“Jia kerjain nomor 3 ya, Bu....”
“Pembelajaran hari ini cukup sampai di sini. Oh iya, setelah ini guru ada rapat dadakan, jadi diam di kelas dan jangan keluar sampai bel istirahat berbunyi. Paham?”
“BAIK BU!”
Suara daun pintu tertutup mengawali teriakan bising dari berbagai mulut penghuni XI IPA 1.
“Jiaaa, lo harus ajarin gue kuis nomor tiga tadi, cepet! Gue ngerasa makin bodoh sekarang.”
“Iyaa beb, sini sini, hari ini gue mau gantiin Jihan,” balas Jia mendapat jempol Jihan dari tempat duduknya.
“Yaelah baru bisa jawab satu nomor doang, bangga,” celetuk Andre pedas.
Jia mengernyit. “Lo kenapa sih? Ada yang nyakitin hati lo, ya? Sampe gak bisa liat orang bahagia?” balas Jia menatap sinis.
“Justru dengan liat lo gak bahagia gue jadi seneng.”
“Bacot! Kita belajar di sana aja, Beb. Di sini ada setan lagi cosplay jadi manusia.”
“Andre, lo mau ikut ke kantin, gak?” ajak Tio langsung membuat Andre beranjak dari kursinya tanpa banyak kata. Bersikap biasa saja, seolah dirinya tidak melakukan kesalahan apapun.
Hana mengernyit “Heh, lo pada budek apa gimana? Ini belom bel istirahat woy!” teriak Hana mencoba menghentikan para cowok yang sudah mulai meninggalkan kelas.
“Eh Hana cantik, nitip tas gue, ya,” balas Tio pura-pura tuli. “Duluan, Hana,” lanjut pemuda itu melambaikan tangannya tidak peduli.
“Apaan yang mau dijaga coba, gue yakin itu tas isinya cuma satu buku sama pena hasil maling,” kata Hana berbicara pada Jihan.
Jihan menepuk punggung belakang Hana. “Udahlah Han, lo kaya gak tau cowok kelas aja. Gak bakal mempan mau dibilangin gimana juga.”
Hana menghela napas lelah. “Ya tapi kan kalo mereka ketauan kelas kita juga yang kena, Ji."
“Kalo kelas kita kena hukum, biar gue aja yang ngejalanin hukuman lo, Han,” celetuk Rehan dari belakang membuat Jihan tertawa lepas.
“Diem lo, buaya!” ketus Hana membuat Rehan menutup mulutnya.
“Kursinya ngadep belakang aja woi, biar enak kita cerita,” kata Nadhif dibalas anggukan setuju Rehan.
“Emang mau cerita apa, sih?” tanya Jihan mencari posisi duduk nyaman di kursinya yang sudah menghadap meja Nadhif.
Muka Nadhif menjadi serius, kemudian pemuda itu sedikit menundukkan kepalanya membuat yang lain mengikuti sehingga mereka terlihat seperti lingkaran tim yang sedang mengatur strategi.
Mulut Nadhif terbuka. “Kata Rehan sekolah kita bekas peninggalan Belanda, emang bener?"
Hana menghela napas. “Harusnya gue gak usah dengerin ucapan gak berguna lo,” kesal gadis itu.
“Bukan peninggalan Belanda, ego, tapi bekas kuburan!” kata Rehan membenarkan yang sebenarnya terdengar makin tidak jelas.
“Tau dari mana kalo bekas kuburan?” tanya Jihan.
Rehan menegakkan badannya kemudian mulai bercerita. “Jadi gini, gue kemaren beli gorengan di warung Mbak Yuyun, terus gue taro atas meja. Nah gue tinggal bentar tuh buat ambil minum, eh pas gue balik lagi gorengan gue tinggal satu, ego,” jelas Nadhif dengan muka meyakinkan.
Nadhif mengernyit. “Bentar, gorengan yang lo maksud tempe goreng di kantin?”
“Iyalah, emang di mana tempat tempe goreng enak selain buatan Mbak Yuyun.”
Nadhif membulatkan mulutnya dengan alis terangkat. “Ohh itu ... gue yang makan kemaren,” ucap Nadhif tanpa beban.
Jihan dan Hana tertawa menggebrak meja pelan melihat muka Rehan yang sudah siap menerjang Nadhif.
“Gelud di mana? Lapangan kosong tuh, gue suka rela mau banting badan lo,” kesal Rehan.
Nadhif mengelus pelan punggung belakang teman sebangkunya. “Sesungguhnya kita lebih baik saling memaafkan, wahai saudaraku,” balas Nadhif dengan muka jahil.
“Amit – amit! Karena lo juga gue hampir dimarahin sama Bu Nina.”
“Iya parah lo Dhif, tadi gue kaget waktu lo ngomong Rehan mau nanya, dapet hidayah apaan,” kata Hana kembali tertawa mengingat hal itu.
Nadhif tertawa. “Buktinya lo gak dimarahin.”
“Untungnya gitu.”
“Eh, tapi gue mau nanya, lo emang sekatif itu ya di kelas? Sampe Bu Nina kayanya dah bosen ngeliat lo maju,” tanya Nadhif pada Jihan.
“Jihan tuh gak sering maju, tapi setiap ada soal yang gak bisa dikerjain, cuma dia yang bisa jawab,” celetuk Hana menjelaskan lebih dulu.
Jihan mengangguk setuju. “Sebenernya yang lain selalu aktif, gatau kenapa nama gue mulu yang disebut.”
“Pilih kasih ya gitu. Bilangnya “Jangan takut salah” tapi giliran gue ngejawab salah malah dikira gak merhatiin penjelasan dia,” balas Rehan meluapkan rasa kesal yang dia pendam selama ini.
“Sebenernya gue juga gak enak sama yang lain. Berasa gue paling bisa semuanya karena menang olimpiade, padahal gue gak sepinter yang mereka kira, gue bisa jawab ya itu hasil belajar gue semalaman,” curhat Jihan ingin membagi sedikit bebannya.
Terkadang jadi yang paling pintar itu melelahkan.
“Tenang, Jihan. Sekarang kan udah ada gue, lo gak bakal dikira pinter sendirian. Karena bentar lagi gue bakal dikenal Bu Nina juga,”
“Halah, jamban!”
***
Author Note:
Who hurt you, Andre? Rese banget dari kemaren!😠
Satu kata buat Andre?
Oh iya, selamat menunaikan Ibadah Puasa bagi yang menjalankan. Semangat puasanya, kita!
Jumpa lagi hari kamis, okaay!
K.A
4 April 2022.
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro