Chapter 02: Sekolah, Nilai, Dan Sikap
Chapter 02: Sekolah, Nilai, Dan Sikap
Mata Jihan bergantian mencocokan puluhan huruf, angka, dan tanda berwarna hitam diatas papan putih dengan konsep pemahaman yang keluar dari mulut Bu Nina. Tangannya tidak berhenti bergerak mencatat setiap detail dari papan tulis dan penjelasan Bu Nina.
“Buset, lo lagi ringkas materi apa lagi nyalin, Han?” tanya Hana terkejut melihat buku catatan Jihan sudah dipenuhi angka dan keterangan.
“Apaan, Nyet. Gue nyatet yang penting doang ini,” balas Jihan. Kelopak matanya tetap naik turun, dengan bola mata hanya terfokus pada satu tujuan, papan tulis.
Hana mendelik, “Ini kayaknya semua yang di papan tulis lo catet dah."
“Semuanya penting, Hana.”
Hana jadi terdiam. Gadis itu mengerjap-ngerjap mencoba menguasai diri. “Serah lu dah. Oh iya, gue kan mau pinjem penghapus. Mana?”
“Lo minjem tapi berasa lo yang punya penghapus,” Hana pura-pura tidak mendengar, matanya melihat sekeliling merasa tidak ada yang salah.
Jihan mengumpat, ingin maju tak tahan.
“Manaa?” ucap Hana makin menyebalkan.
Jihan menghela napas.
Dasar manusia, mana Jihan juga manusia lagi.
“Noh, ambil di kotak pensil,” Hana mengambil kotak pensil berwarna biru muda yang sudah sepeti perkakas alat tulis.
Di dalamnya berisi stabilo berbagai macam warna, pena tinta yang kebanyakan sudah tidak ada isi, bangkai penghapus kecil yang sudah tidak terpakai, dengan berbagai coretan kecil yang memenuhi dinding dalam kotak pensil.
Maklum, murid rajin.
“Jangan lupa dibalikin.”
Hana ternganga. “Ya Allah, belum juga gue pake, takut amat. Kalo ilang gue beliin sama pabriknya juga. Makan tuh penghapus!” ucapnnya panjang lebar dengan muka kesal.
“Nyenyenye.”
“Seperti peraturan yang Ibu jelaskan di awal pertemuan, setiap akhir pembelajaran Ibu akan memberikan soal dan yang bisa menjawab akan mendapatkan nilai. Di depan Ibu sudah menuliskan lima soal yang berkaitan dengan materi hari ini, siapa yang mau jawab?” tanya Bu Nina mengacungkan spidol dengan tangannya ke depan XI IPA 1.
Tiba-tiba semuanya terdiam, ada yang saling melirik, ada yang seperti menulis jawaban padahal hanya mencoret-coret tidak jelas, dan ada yang sedang mengumpulkan kepercayaan atas jawaban yang sudah dicari agar tidak malu jika sudah menunjuk diri.
Sebenarnya XI IPA 1 tidak seambis yang terlihat.
Sebuah tangan dengan jari lentik terangkat mengambil perhatian seisi kelas, “Saya mau coba jawab nomor dua, Bu,” kata Hana.
Jihan mencocokan jawaban Hana dengan dirinya. Oke, sama.
Nyatanya meski duduk bersampingan Jihan dan Naya tidak menganut sistem mencontek. Naya bukanlah tipe orang yang akan memanfaatkan Jihan.
Usaha dulu, kalo gak ngerti tanya, jangan contek. Begitulah perjanjian mereka saat pertama kali duduk sebangku.
“Ehm.”
Sebuah deheman membuyarkan lamunan cewek itu. Jihan menoleh, terkejut melihat senyum mengerikan Jiya dengan buku yang tulisannya tidak bisa dibaca.
Hanya Jiya dan Tuhan yang tahu.
“Kenapa lo?” tanya Jihan melirik Jiya tajam.
“Eh, temen gue yang paling pinter,” Jiya duduk mendekat pada Jihan, membuat cewek itu refleks menjauhkan kepalanya agar tidak terkena hawa napas bau Jiya.
“Tolong periksa jawaban gue yang ini dong, Han. Gue mau dapet nilai juga.”
Jihan mengambil buku Jiya tanpa banyak kata. Menyipitkan mata dengan raut muka serius, kemudian mengatakan, “Wah ....”
“Jawaban gue bener?” tanya Jiya langsung percaya diri.
“Wah ... tulisan lo gak kebaca,” ucap Jihan tersenyum lurus dengan alis terangkat membuat mata bundarnya makin membesar. Memperlihatkan betapa buruknya tulisan Jiya.
Jiya tak langsung menjawab. Ia mengerutkan kening, mencoba memahami ucapan Jihan. Lalu kemudian cewek itu tersadar. “Wah, makasih loh, hinaannya halus sekali.”
“Dengan senang hati,” Jihan memberikan kembali buku tulis tersebut pada pemiliknya.
"Bercanda, haha.”
“HAH! LUCU!” sahut Jiya ngegas dengan sewot.
“Makasih, gue emang lucu. Ini udah bener. Jawaban kita sama, rumusnya juga gak salah. Maju gih,” kata Jihan mendorong pelan bahu Jiya dari belakang.
“Apasih sentuh-sentuh, tante pikir saya cewek macam apa?” kata Jiya menjauhkan diri membuat Jihan mendelik.
Jiya ini memang salah satu jenis manusia yang halal untuk diumpati.
“Ampun deh, muka lo biasa aja kali, Han. Dah kaya mau makna orang,” goda Jiya mencolek dagu Jihan yang langsung ditepis oleh cewek itu.
“Pergi sono lu, gak suci lagi tempat duduk gue,” balas Jihan pedas.
Seketika Jiya menulikan pendengarannya.
“Apa lagi?” tanya Jihan lelah melihat Jiya yang tiba-tiba menatapnya curiga.
“Kenapa lo gak maju? Padahal kan lo udah semua."
“Yang lain juga mau dapet nilai kali, Ji, ya kali gue mulu. Yang penting gue dah ngerti caranya dan bisa ngejawab pas ujian,” jelas Jihan membuat Jiya menganggukan kepalanya, tanda setuju.
“Baiknya Adik Jihan. Dah gue mau maju, thanks ya, Ji,” kata Jiya langsung meninggalkan Jihan sendirian di tempat duduk.
Jihan mengatupkan bibir. Cewek itu jadi memandang ke depan kelas. Padahal tad sepi, sekarang hamper setemgah bagian XI IPA 1 berdempetan duduk di bangku depan agar mendapat giliran untuk menjawab soal.
Namum pandangan Jihan tak sengaja menangkap seseorang yang tertidur lelap di bangku belakang. Gadis berambut sebahu itu menghela nafas lelah, mengepalkan tangan mencoba menenangkan diri. Berharap tidak terjadi apa-apa sampai Bu Nina keluar kelas.
Sementara itu, cowok dengan dengan model rambut poni menidurkan kepalanya ke atas meja. Tidak memperdulikan apa yang sedang dilakukan orang-orang di ruangan ini. Sampai tiba-tiba, lemparan spidol melesat hampir mengenai kepalanya dan jatuh setelah menabrak dinding.
Andre menegakkan kepalanya, melihat semua mata sudah tertuju padanya. Suasana kelas langsung berubah menjadi hening yang menegangkan.
“Kamu,” tunjuk Bu Nina pada Andre. “Cepat kerjakan soal nomor satu,” perintah Bu Nani tidak terbantahkan.
Andre berdiri dengan santai, seolah tidak terjadi apa-apa. Mengambil spidol dengan senyum miring menyebalkan.
Tangannya menuliskan angka dan tanda dengan lihai seperti sudah menghapal segala rumus ini diluar kepala. Padahal sejak tadi cowok ini tidak memperhatikan. “Sudah, Bu,” ucap Andre tenang.
Mengembalikan spidol pada Bu Nina dan menatap gurunya ini sekilas lalu kembali ke tempat duduk tanpa diminta.
“Dikira gue gak bisa jawab apa,” ucap Andre kecil yang bisa terdengar jelas membuat Jihan membulatkan mata atas ketidaksopanan cowok ini. Jelas terlihat bahwa Bu Nina juga mendengar ucapan pedas anak muridnya ini.
Jihan memejamkan mata, dirinya selalu takut hal ini akan terjadi. Jantungnya berpacu cepat padahal bukan dirinya yang membuat masalah.
“Hana, tuh anak kenapa lagi sih....” tanya Jihan lelah pada Hana, karena bukan hanya sekali ini Andre secara tidak langsung bersikap tidak sopan pada guru yang mengajar.
“Gue gak ngerti lagi sama cara pikirnya, Ji,” balas Hana ikut lelah. Siap mendengarkan nasihat dadakan dari Bu Nina.
Dan benar saja.
“Anak-anak, Ibu beritahu ya pada kalian, percuma PINTAR tapi TIDAK MEMILIKI ATTITUDE,” kata Bu Nina menekankan pada beberapa kata, jelas menyindir perbuatan Andre barusan.
“Ibu sangat tahu kalau kalian itu pintar-pintar, tapi pelajaran paling penting dalam hidup itu bagaimana cara kalian untuk bisa memanusiakan manusia dalam tanda kutip bersikap baik. Karena kita itu makhluk social, gausah terlalu belagu, nanti butuh,” lanjut Bu Nina pedas.
Jihan memejamkan mata, ikut merasa malu. Begitu pula yang lain hanya bisa menunduk. Cewek itu menolehkan kepala, menatap Andre yang sepertinya tidak merasa tersindir sama sekali, samar Jihan melihat gerak mulut Andre, cowok itu seperti mengejakan kata “Bacot” dari bibirnya.
“Ya Allah, kenapa gue harus sekelas sama jenis orang kaya gitu.”
Jihan berharap kelakuan Andre ini tidak akan mempengaruhi nilai seluruh anggota kelas.
***
Author Note:
Kenapa Jihan cuma gak marah sama Andre? Karena Jihan belum merasa ini merugikan dirinya. Relate aja. Kita juga gamau kan kalo masuk dalam urusan orang. Apalagi jenis kaya Andre.
Semoga Andre cepet tobat deh, haha!
Ketemu lagi senin depan, ya!
K.a
17 Maret 2022
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro