At Least I'm Not Loser
Kolaborasi: Layla Amalia NightZen (Action) - Jiesea galerijiesea (Fantasi)
* * *
"Uh...," aku mengernyit, memegangi kepalaku yang terasa berputar. Hal terakhir yang kuingat adalah aku tanpa sengaja menyenggol gelas di meja dan menumpahkan airnya di atas papan penuh tombol milik si jenius Albert. Selanjutnya semuanya terasa berputar dan kini kepalaku terasa pusing.
Aku yakin benar, aku terkirim ke suatu lini masa yang akan terasa begitu asing, dan sialnya mesin waktu yang mengirimku telah rusak selepas terkena liquid soda yang kutumpahkan.
Jelas aku bukan orang jenius yang bisa memperbaikinya, satu-satunya hal yang bisa kulakukan adalah berharap Albert akan menyelamatkanku entah berapa lama lagi. Sehari, dua hari, atau bahkan bertahun-tahun. Aku harap dia berbaik hati meski seringkali kuganggu.
Perlahan aku beranjak berdiri, memilih keluar dari ruang penuh teknologi tinggi yang kini telah menjadi seonggok mesin tiada guna. Mataku menyipit, sinar mentari menyapaku dari sela jendela ruang yang tampak tak terawat. Sepertinya satu hal yang harus kusyukuri, tempat yang tak sengaja kudatangi ini bukan tempat publik yang boleh menarik perhatian banyak orang.
Kakiku yang berbalut sepatu dengan sedikit ragu menapaki ruang besar itu. Bau aneh menyengat menyergap hidung.
"Ugh! Bau.. tempat apa ini?" gumamku menutup hidung. Aku mengerjap sejenak, menatap sekeliling.
Pabrik terbengkalai?
Ah, masa bodoh dengan tempat apa ini. Aku dengan segera menutup mesin waktu yang kunaiki sebelumnya, berlari keluar. Bau aneh menyengat tadi benar-benar menggangguku.
Langkah kakiku sedikit melambat kala mendapati pagar kawat besi yang menghadang, berjongkok sedikit untuk melalui celahnya.
Lambang tengkorak pada plang kuning terlihat dari sudut mataku.
Semacam pabrik industri, ya?
Kakiku kembali berlari menjauhi tempat itu, hingga tanpa kusadari tubuhku menabrak telak sesuatu, membuatku mengaduh.
Suara pekik panik seseorang membuatku menoleh.
Orang yang kutabrak terlihat memasang wajah panik, pakaian mewah yang tampak elegan pada tubuhnya tampak sedikit kotor terkena tanah akibat jatuh setelah tak sengaja kutabrak. Sesuatu yang tampak seperti alat musik terlihat patah dia di pangkuannya.
"Bagaimana ini?" mulutnya terlihat gemetar panik, sudut matanya terlihat air mata yang siap jatuh ke pipi.
Nafasku tercekat, sepertinya baru saja aku mengacau lagi.
"M-maafkan ak--"
"Maaf apa yang kau maksud? Operanya akan segera dimulai! Kau merusak alat musiknya! Dasar rakyat jelata! Kau tak tahu ini barang berharga para bangsawan hah?!" tamparan terasa di pipiku.
Gheh, kenapa pula dia begitu marah?! Meskipun aku merusak barangnya kenapa dia sampai menamparku? Heh tidak tahu adab.
"Hei, Nona, setidaknya kau tak perlu menamparku! Aku pasti menggantinya!"
"Dengan apa, hah?"
Aku berdecih, memangnya berapa sih harga alat musik di masa ini? Lihat sekeliling saja teknologi masih tenaga makhluk hidup begini.
"Memangnya berapa harga-"
Aku melotot, bukannya membiarkan aku selesai bicara gadis dihadapanku justru menamparku lagi dengan lebih kuat.
"Dasar bodoh! Kau menganggap rendah opera! Kau kira semudah itu--"
"TERESIA!"
Belum selesai kalimat ucapannya, terdengar suara berwibawa yang membuat gadis dihadapanku terdiam. Tanpa basa-basi dia bangkit dan menarikku berlari entah ke mana.
Dari mulutnya dapat kudengar gumaman putus asa, "Ayah 'kan membunuhku, Tuhan tolong aku!"
Aku tertatih berusaha mengikuti langkahnya. Sial, perempuan macam apa dia mengapa begitu cepat larinya. Kuusahakan untuk mengimbanginya, meski awalnya sulit karena tak siap, lama kelamaan aku berhasil mensejajarkan langkah.
"Ini semua salahmu! Kalau saja pengawal ayahku menghadang kupastikan kau yang harus menghadapinya!"
Entah itu ucapan mantra atau apa, tapi selanjutnya sesosok tinggi besar berpakaian ala sama elegan dengan gadis yang mencengkeram tanganku itu menghadang jalan kami.
Gadis yang sebelumnya memimpin jalan beringsut ke belakangku.
"Kau! Kau menculik Nona?"
"Ck. Menyusahkan saja," gumamku memasang kuda-kuda. "Aku tidak melakukan apapun! Sungguh!"
"Kau akan dieksekusi!" sebuah anggar ditarik.
Sialan. Bawa-bawa senjata, dia.
"Kau pikir selama tawuran aku menghadapi apa? Celurit saja pernah," desisku tanpa gentar. Yah memang benar pernah. Tapi selepasnya aku punya luka jahit cukup panjang pada tubuhku. Namun, sepadan kok. Lawanku saja masuk liang kubur.
Gadis itu masih ketakutan di belakangku. Sebenarnya diriku ini bingung, tapi waktu begitu tidak tepat untuk memikirkan hal tak karuan. Orang di depan kami sudah siap bak menerkam mangsanya. Andai saja aku punya persiapan khusus sebelum menghadapi sesuatu di tempat ini.
"Kita harus segera melarikan diri," bisik gadis di belakangku.
Tanpa pikir panjang, aku segera memberi kode pada gadis itu untuk berbalik arah dan masuk ke gang sempit. Sedangkan beberapa saat kupergunakan untuk mengulur waktu guna menghadang orang bertubuh tinggi besar tersebut.
Aku bingung sangat. Apa yang harus aku perbuat. Senjata lawan tangan kosong apakah bisa? Mungkin bisa, tapi babak belur. Tidak, aku yakin ada jalan untuk menyelesaikan masalah ini. Benar-benar hari yang sial. Sudah merusak alat musik, sekarang harus menggunakan tenaga.
"Ayo maju!" ucapku menyemangati diri.
Senjata yang dibawa oleh orang tersebut diayunkan hampir mengenai pelipisku. Untung saja gerakanku begitu lincah untuk menghindar. Namun, fokusku dibuyarkan oleh teriakan dari belakangku. Iya, tidak lain adalah teriakan dari gadis tersebut.
Dia terlihat membawa alat musik yang baru, seperti menjiplak alat musik yang telah rusak karena kutabrak. Entah dia dapatkan dari mana. Akar masalahnya sekarang bukan itu. Aku hanya ingin membawanya kabur sekarang dari orang kekar di hadapanku.
Seketika gadis itu memainkan alat musiknya. Rasanya tempat ini berhenti sejenak. Hanya aku dan dirinya yang bisa bergerak. Sungguh, aku tidak percaya ini. Beberapa detik sebuah cahaya terbentuk seperti pintu. Gadis tersebut menyuruhku untuk menembus cahaya tersebut sebelum ia menghentikan permainan pada alat musiknya.
"Bagaimana denganmu? Bukankah operanya akan segera dimulai?" tanyaku.
"Cepatlah!" Dia berteriak, dan aku segera mengikuti perkataannya.
"Aku akan mengirimmu dalam pertunjukan Opera." Aku terkejut. Kalimat itu membuatku segera keluar dari cahaya tersebut dan menarik pergelangan tangannya.
"Apa yang kau lakukan? Hentikan!"
"Bukan hanya aku, tapi kita akan pergi ke pertunjukan operanya, Teresia!" kataku geram dengan sekuat tenaga menariknya masuk dalam cahaya.
Permainan musiknya berhenti, kemudian tempat itu kembali beroperasi seperti semula. Cahaya yang dibentuk oleh gadis itu hilang menelan kami.
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro