25 - "My Freedom" Paint
Keesokan harinya, Tsukasa masih tidak masuk sekolah karena Hikaru yang meminta tolong padanya untuk menyampaikan ke Uzuki bahwa nanti malam dia akan mengunjunginya. Hikaru sendiri memintanya sambil canggung, dia takut Uzuki akan membencinya karena telah meninggalkannya sendirian waktu itu. Namun, menurut Tsukasa, itu mustahil. Setiap kali membicarakan Hikaru, Uzuki terlihat sangat antusias, bahkan dia sudah menyiapkan hadiah spesial untuknya.
Saat menuju studio Uzuki, tiba-tiba sebuah mobil van putih melaju hingga berhenti tepat di depan Tsukasa yang melamun. Tsukasa terkejut dan segera menghentikan langkahnya. Lebih mengejutkannya lagi, mobil tersebut milik yakuza yang sudah bekerja di bawah Shin selama sepuluh tahun. Kemudian, mereka yang di dalam keluar dari mobil secara bergerombolan dan mengepung Tsukasa.
Tsukasa baru sadar terdapat mobil hitam di belakang mobil van, mobil pribadi Shin. Mau tak mau, dia memikirkan kemungkinan terburuk. Shin sudah mengetahui bahwa ada pengkhianatan di balik layar.
Tanpa menunggu perintah dari Shin, salah satu dari mereka membanting Tsukasa ke tanah, lalu menahan tubuhnya dengan menekankan kepala dan punggung. Tak lama, Shin berdiri tepat di depan kepala Tsukasa dengan pandangan ke bawah.
"Tsukasa, apa yang kau lakukan di tempat seperti ini? Kudengar, beberapa hari ini kamu nggak masuk sekolah, ya? Apa sebegitunya kau ingin dibuang olehku?" Tatapan intimidasi dari Shin membuat Tsukasa sulit menatapnya, bahkan bersuara untuk menjawab pun juga.
"Daripada buang-buang waktu, jawablah pertanyaanku. Siapa pengkhianat di antara saudaramu? Percuma kau berbohong, aku sudah tahu dari kalian akan mengambil kesempatan kabur di saat aku akan ke luar kota." Tatapannya semakin menusuk.
Tsukasa tidak menyangka akan ketahuan secepat ini. Hanya satu orang yang paling dicurigainya, Senri. Senri lah yang membantu Yukito menyusun rencana sehingga dia tahu detailnya. Pengkhianatnya justru Senri. Dalam hatinya, Tsukasa mengumpat pada Senri berkali-kali dan bukannya segera menjawab pertanyaan Shin.
Shin yang kesabarannya mulai habis menendang kepala Tsukasa dengan keras. "Melindungi saudaramu dengan tutup mulut takkan menguntungkan buatmu. Sudahlah, sekarang aku tidak butuh lagi jawaban darimu. Toh, aku ke daerah sini tak hanya untuk mengejarmu."
Mendengar itu, Tsukasa pertama kalinya mengangkat kepala. Dia tahu maksud di balik ucapannya. "Hentikan, jangan lakukan itu. Sudah cukup buat Hikaru kehilangan orang-orang penting baginya. Ayah, kumohon." Bibirnya bergetar hebat.
Tanpa segan-segan, Shin menendang ke wajah Tsukasa kali ini. " Sudah tak ada gunanya kau memohonku, kau juga pengkhianat. Kalian semua, hajar dia sampai nggak sadar. Lalu, nanti bawakan dia ke ruang bawah tanah di rumah," perintahnya ke yakuza.
Begitu yakuza menjawabnya dengan serempak, Shin masuk ke mobil dan melanjutkan ke tujuan utamanya, pergi ke studio adik Hikaru, Uzuki. Dia sudah lama menunggu momen ini, bertemu langsung dengan si jenius yang dijual dengan harga tinggi sewaktu kecil.
"Umm… Anda siapa, ya?" tanya Uzuki berhati-hati yang bersembunyi di balik pintu. Awalnya, Uzuki mengira Tsukasa yang datang.
"Salam kenal, Yagami Uzuki. Saya ayah Hikaru sekarang, Akazawa Shin." Seringainya menyembunyikan kelicikannya.
Saat mengetahui ayah baru Hikaru, Uzuki menurunkan kewaspadaannya dan membolehkan Shin masuk. Namun, Shin yang menutup pintu menguncinya diam-diam, lalu berkata, "Yagami Uzuki, apa kau punya pesan terakhir untuk kakakmu?"
Uzuki menoleh ke arahnya dengan wajah terheran. "Maaf, saya tidak mengerti maksud Anda. Ada apa dengan kakakku?"
Shin menyeringai semakin lebar. "Oh, berarti kau belum tahu, ya? Kakakmu itu, Hikaru sudah membunuh orang tua kalian berdua. Apa kau bisa memaafkannya setelah tahu soal ini?"
Uzuki terlihat syok di tempat. Dia menggumam sesuatu yang berusaha meyakinkan diri bahwa Shin berbohong. Justru yang begini lah yang diinginkan Shin. Dengan begini, Shin bisa melanjutkan rencananya. Ia meraih pisau lipatnya di saku celana. Meski sudah lama dia tidak melakukan itu, Shin sangat percaya diri. Blood party yang paling ditunggu-tunggu olehnya.
*****
Menjelang malam, Hikaru berjalan menuju studio Uzuki sambil menggigil dengan membawa payung. Cuaca semakin dingin saat hari semakin dekat dengan Desember, apalagi ditambah hujan. Tak hanya itu, Hikaru kedinginan karena gugup. Apakah Uzuki banyak berubah? Atau dia masih punya rasa sayang pada kakaknya yang pernah menyakitinya sebelum dikabari hilang?
Membayangkan wajah Uzuki membuat Hikaru cengar-cengir sendiri. Saat belok ke perempatan yang menandakan sebentar lagi sampai ke tempat tujuan, mata Hikaru melebar. Di jalanan yang gelap gulita itu diterangkan oleh kobaran api yang berasal dari studio Uzuki. Hikaru yang tidak bisa berpikir normal di situasi darurat itu melempar payungnya dan berlari kencang ke sana.
Rasa dingin akibat hujan tidak terasa lagi begitu Hikaru membuka pintu, lalu kobaran api dari dalam menyambutnya. Jam segini, Izumi masih kerja part-time. Apakah Hikaru datangnya terlambat? Memikirkan itu takkan ada habisnya sehingga Hikaru nekat menerobos kobaran api. Meski di luar hujan, kobaran api yang sudah tersebar sampai besar sulit dipadamkan hanya dengan air biasa.
Anehnya, di tengah ruangan sama sekali tidak api. Hikaru semakin pergi dalam, sewaktu-waktu Uzuki masih bisa diselamatkan meski kritis. Namun, tidak sesuai harapannya, Uzuki sudah tidak bernyawa di lantai tengah ruangan. Bukannya dia mati karena terbakar atau menghirup asap, ia dibunuh dengan brutal. Perutnya terlihat ditusuk berkali-kali dengan benda tajam sehingga darah menggenang di sekitar tubuhnya. Diduga, alat untuk membunuhnya batang kayu yang dipatahkan dari easel.
Hikaru yakin sekali bukan Tsukasa yang melakukannya, melainkan Shin. Kali ini, Shin turun tangan. Itu berarti, saudara lainnya akan mengalami hal yang sama dengan Uzuki. Soal Shin pergi ke luar kota hari ini hanya untuk mengelabui Hikaru dan lainnya.
Tanpa bantuan dari orang dewasa, Hikaru tidak berbuat apa-apa sehingga dia memutuskan menghubungi polisi untuk menolongnya dan saudaranya. Saat hendak keluar dari sana, sebuah kanvas yang hampir tersobek dan sepucuk surat di sebelah mayat Uzuki menarik perhatiannya. Hikaru juga tidak pernah melihat lukisan tersebut yang prosesnya kira-kira membutuhkan setahun lebih.
Ragu membuka surat yang terciprat surat, Hikaru pun membacanya pelan-pelan. Surat dari Uzuki yang terlihat wasiat.
Halo, kak. Kalau kakak sedang membaca surat ini, pasti kakak sudah menerima hadiah dariku. Bagaimana hadiahnya? Bagus, kan? Hehe, sebenarnya aku ingin memberi ke kakak waktu ulang tahun kakak. Lukisan itu benar-benar hasil jerih payahku selama dua tahun, lho. Awas saja kalau kakak membuangnya. Apa kakak tahu? Aku melukisnya sambil membayangkan kakak yang sudah mendapatkan kebebasan yang diinginkan kakak. Kalau boleh tahu, kebebasan seperti apa yang kakak inginkan? Kakak boleh menjawabnya setelah selesai membaca surat. Oh, ya, kakak punya banyak saudara yang baik, ya? Akhir-akhir ini, mereka mengunjungiku. Aku senang sekali, lho. Kak Izumi juga, kakak pasti menyukainya, kan? Jarang-jarang menemukan perempuan sebaik kak Izumi, kakak bakal menyesal kalau menolaknya. Yah, mungkin segini sudah cukup, ya. Semoga kakak sehat-sehat saja, ya. Aku selalu sayang kakak. Salam hangat dari Uzuki.
Bahkan, sebelum selesai membaca sampai akhir, air mata sudah mengalir deras dan membasahi sebagian kertas. Sampai akhir hayatnya pun, Hikaru belum melihat senyumannya. Hikaru jadi menyesal karena selalu menghindar bertemu dengannya. Uzuki yang tidak bersalah, kenapa harus dibunuh oleh Shin yang berdosa? Apa Shin masih belum puas membuatnya menderita?
Hikaru tidak bisa berlama-lama di situ, maka itu dia mengambil kanvas tersebut yang melukiskan sosok dirinya dengan ekspresi yang sulit didapatkan di situasi sekarang. Ekspresi yang memperlihatkan betapa bahagianya seolah tidak punya masalah dalam hidupnya. Hikaru penasaran, apakah dia bisa berekspresi setelah itu kalau sudah membunuh Shin?
Hikaru memasang kanvas tersebut ke easel yang belum terbakar. Hikaru menatap lukisan tersebut dalam-dalam. Telapak tangannya yang berlumuran darahnya Uzuki diletakkan di atas kanvas tersebut tanpa disadarinya sehingga lukisan itu menjadi kotor. Mulutnya tak henti membisik sebuah kalimat, "Aku akan membunuhnya" dengan mata penuh kebencian.
"Hikaru! Apa yang kau lakukan di sana? Cepat keluar!"
Hikaru yang tenggelam dalam perasaan gelapnya akhirnya tersadar dan mencari sosok yang memanggilnya. Izumi terlihat sedang menerobos api dengan tergesa-gesa dan tak terduga, dia memeluk Hikaru dari belakang.
"Kau mengotori lukisannya. Apa kau mau jerih payah Uzuki terbuang sia-sia?" Izumi membenamkan wajah di punggung Hikaru. Hikaru bisa merasakan Izumi sedang menangis karena air matanya membasahi punggung Hikaru. Sepertinya Izumi sudah melihat mayat Uzuki saat sedang berjalan ke Hikaru.
Entah kenapa, pelukan Izumi menenangkan hati Hikaru. Baginya, hanya Izumi yang tersisa buat mempertahankan hidupnya. Dia tidak bisa lagi membiarkan orang-orang di sekitarnya mati. Untuk sekarang, dia harus menyelamatkan saudaranya terlebih dahulu, lalu melenyapkan Shin dengan tangannya sendiri. Hanya itu satu-satunya cara untuk mencapai kebebasan yang diinginkan Hikaru.
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro