10 - The Real Friend
Dari jauh, terlihat Rei melambaikan tangan ke arah Hikaru yang terburu-buru mendatanginya. Mengejutkannya, Rei sendirian di sana. Hikaru mengira bakal ramai karena ada teman-temannya.
Rei menyadari kebingungan Hikaru. "Duh, aku ini hanya mau menghabiskan waktu dengan teman baikku. Nggak mungkin aku mengajak teman-temanku." Kemudian, ia merangkul Hikaru sambil berkata, "Ayo cabut sekarang!"
Melihat kelakuan temannya yang tidak berubah sejak SMP, Hikaru menyunggingkan senyuman tipis. Meski Rei tahu temannya sedang ada masalah, ia tak pernah menanyakan hal itu sebelum Hikaru mengungkapkannya sendiri. Suatu hari ketika SMP, Hikaru murung hingga waktu pulang sekolah karena nilainya menurun. Satu-satunya yang menghiburnya saat itu hanya Rei yang mengajaknya mampir ke taman bermain tanpa menanyakan alasan Hikaru murung.
Namun, kebiasaan Rei membuat Hikaru tidak nyaman. Hikaru tidak bisa terus-terusan menyembunyikan sesuatu dari Rei sehingga dia mulai memberanikan diri untuk bertanya.
"Rei, aku—" Sayangnya, keberanian Hikaru hanya sebatas itu. Wajah Shin yang terlintas di pikirannya membuatnya sulit mengatakan yang sebenarnya.
Rei tampak terheran melihat Hikaru yang terlihat ketakutan. "Ada apa, Hikaru? Apa kau lagi kesulitan di keluarga baru? Maksudku, nama keluargamu berubah dan pasti semua orang mengalami kesulitan di keluarga baru," tanya Rei khawatir.
Hikaru tidak ingin menjawabnya, lebih tepatnya tidak boleh. Padahal, Rei ingin menikmati waktu bersama temannya, justru Hikaru menghancurkan suasana. Hikaru pun berpikir, lebih baik menolak ajakan Rei tadi.
Namun, Rei tidak pernah berpikir seperti itu. Tempat pertama yang mereka kunjungi adalah arcade. Arcade tersebut merupakan arcade baru yang dibuat agar terlihat lebih modern. Sejujurnya, Hikaru baru pertama kali mengunjungi arcade. Tak ada satupun permainan yang dia tahu.
"Hikaru, sini! Ayo main berdua!" panggil Rei yang ternyata sudah mencari permainan.
Hikaru pun sadar bahwa dirinya terlalu banyak mikir. Sesekali bersenang-senang tak ada buruknya. Lagi pula, bersenang-senang seperti itu bisa membuatnya melupakan masalah yang dialaminya meski hanya sesaat. Seandainya saja, kesenangan itu abadi.
Setelah bermain di arcade sepuasnya, mereka berdua mampir ke kafe terdekat sebelum pulang. Di situ, Hikaru memesan teh susu, sedangkan Rei kopi hangat. Rei masih belum berhenti menertawakan betapa kakunya Hikaru di foto yang mereka ambil photo booth.
"Hentikan, Rei. Aku nggak tahu kalau itu foto," ucap Hikaru malu.
"Aku jadi ingat, dulu kamu juga begitu, kan, waktu foto buat album kelulusan? Duh, kamu ini sekali-kali keluar dari zona belajarmu." Rei menyerahkan selembar berisi foto-foto mereka berdua ke Hikaru. "Nih, buat kenang-kenangan."
Hikaru menerimanya dan langsung menyimpannya di tas. "Aku sudah nggak belajar setiap waktu seperti dulu. Mungkin aku bersekolah sekarang hanya untuk memenuhi keinginan ayahku yang sekarang."
Hampir saja menyebut nama Shin. Di hadapan Rei membuat Hikaru sulit menyembunyikan hal yang tidak boleh diketahuinya. Kemudian, tak ada satupun dari mereka yang berbicara lagi. Lagi-lagi, Hikaru berpikir pasti dia menghancurkan suasana lagi.
Tak lama, minuman yang mereka pesan datang. Rei minum kopi panasnya duluan, bahkan setelah meneguknya hingga tersisa setengah cangkir, Hikaru masih belum menyentuh minumannya.
"Hikaru, minumlah. Tenang saja, aku nggak terlalu memikirkannya. Kalau memang bukan waktu yang tepat buatmu, kuyakin suatu hari kau akan menceritakannya padaku. Sampai saat itu, aku tetap menunggumu." Senyuman Rei tidak seperti biasanya, senyuman penuh kecemasan. Selalu mengkhawatirkan Hikaru dan menunggunya menceritakan masalahnya pasti terasa lelah baginya.
Meski begitu, Rei masih bertahan menjadi temannya. Mengetahui betapa beratnya Rei menunggu selama ini membuat Hikaru merasa senang karena akhirnya punya teman sesungguhnya. Hikaru ingin memegang ucapan teman baiknya barusan.
"Makasih, Rei. Kau benar-benar nggak pernah berubah, ya."
Rasa senang bercampur aduk dengan kegelisahan. Tak tahu kapan pastinya, Hikaru harus menyembunyikan kebenaran itu selama masih menjadi bagian dari keluarga Akazawa. Mungkin Hikaru baru bisa mengakui semuanya setelah kematian mendatanginya.
*****
Kediaman Akazawa baru ramai dengan kedatangan Yuuma dan Yukito sehabis bekerja seharian. Tsukasa menyambut kedatangan mereka, sedangkan Kana yang mendapatkan giliran masak sedang berkutat di dapur.
"Eh, Yuuma ditusuk? Apa lukanya dalam?" tanya Tsukasa khawatir.
Yukito yang memapah Yuuma segera melepaskan rangkulannya dan membaringkannya ke sofa depan TV. "Lengan atasnya tertusuk cukup dalam. Tsukasa, tolong ambilkan handuk basah, ya. Aku mau mengurus lukanya dulu."
Ini tidak pertama kalinya Yuuma tertusuk di tengah-tengah bekerja. Karena itu, tak heran kotak pertolongan pertama selalu disimpan di laci bawah TV. Selama lukanya diobati Yukito, Yuuma tidak berhenti menyerapah orang yang menusuknya tadi.
"Diamlah, Yuuma. Kau mengganggu konsentrasiku, tahu," pinta Yukito yang sedikit kesal.
Yuuma mendecakkan lidah. "Huh, lihat saja nanti, aku akan menghabisi orang itu. Dikira aku nggak ingat wajahnya, hah?" Semakin lama, Yuuma semakin banyak menyerapah orang yang menusuknya.
Kana yang merasa terganggu melemparkan centong nasi ke kepala Yuuma dan tepat sasaran. Yuuma hendak memarahinya, tetapi itu percuma. Kana takkan pernah berbicara. Yuuma pun terpaksa terdiam sampai Yukito selesai mengobatinya.
"Omong-omong, Hikaru mana? Apa dia di kamar?" tanya Yuuma ke Kana setelah beberapa saat hening di ruangan itu.
Kana menggeleng. Saat Yuuma hendak bertanya lagi, tiba-tiba pintu depan terbuka dan terdengar seseorang berkata, "Aku pulang." Itu Hikaru yang barusan dibicarakan.
"Woah, baru saja dibicarakan orangnya datang. Oi, Hikaru. Habis dari mana saja?" tanya Yuuma sambil melambaikan tangan.
"Eh, aku habis mampir ke arcade sama—" Hikaru berhenti berbicara sesaat setelah memperhatikan lengan atas Yuuma. "Apa kau nggak apa-apa?"
"Ini nggak seberapa, kok. Tuh, Yukito juga juga sudah selesai." Setelah Yukito menyelesaikannya dengan memakaikan perban ke lukanya, Yuuma menunjukkan otot lengannya seolah ingin memperlihatkan luka segitu takkan membuatnya lemah.
Kemudian, Yuuma bangkit duduk dan menyuruh Hikaru duduk di sebelahnya. "Tadi pergi sama teman, ya? Hari pertama sudah dapat teman saja, nih. Sudah punya pacar?" tanyanya setelah Hikaru duduk.
"Pacar? Buat apa pacar?" tanya Hikaru dengan polosnya.
"Oi,oi. Kau ini sudah SMA, masa' nggak ada keinginan punya pacar?" Yuuma merangkul Hikaru seolah sedang diancam.
Sesaat Hikaru merasa lega karena tidak ada yang menanyakan tentang Rei. Meski pembicaraannya semakin konyol gara-gara Yuuma, Hikaru menanggapinya hanya dengan senyuman. Dia harap, semoga selamanya mereka tidak tahu soal Rei.
"Hikaru sudah datang?" Terdengar suara Tsukasa dari balik tembok. Kemudian, Tsukasa melangkah buru-buru ke depan Hikaru. Sebelumnya, dia sudah memberikan handuk basah ke Yukito. Entah kenapa, gerak-gerik Tsukasa membuat Hikaru merasa kegelisahan yang luar biasa
"Kudengar, teman barumu itu teman SMP-mu, ya?" Tsukasa sedikit membungkukkan badan mencondongkan kepala sehingga wajahnya berdekatan dengan wajah Hikaru.
Tsukasa sengaja mendekat seperti itu untuk melihat reaksi Hikaru. Meski Hikaru berusaha tidak terlihat terkejut, tetap saja bisa dilihat dari pupil matanya yang membesar. Pada akhirnya, Hikaru memang tidak bisa berbohong di depan Tsukasa. Harapannya hancur seketika.
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro