Chào các bạn! Vì nhiều lý do từ nay Truyen2U chính thức đổi tên là Truyen247.Pro. Mong các bạn tiếp tục ủng hộ truy cập tên miền mới này nhé! Mãi yêu... ♥

(01) Permulaan

"Mira, pokoknya kamu jangan sampai mau dinikahkan sama orang yang sama sekali gak kamu cintai. Kamu lihat aku sekarang, 'kan? Aku gak bahagia meskipun udah punya anak. Pernikahan kami terasa hambar."

"Mir, jaga diri kamu ya. Aku gak mau kamu mengalami apa yang aku alami, awalnya aku memang menikmati kencan semalam itu, tapi sekarang aku baru merasakannya, sakit sekali diperlakukan seperti pelacur oleh suami sendiri. Dia cuma datang jika ingin kepuasan saja. Jika saja aku tidak mengandung saat itu, maka aku tidak akan menikah dengannya."

"Ra, aku harus bagaimana? Suamiku memang kaya, tapi dia tak mencintaiku sama sekali. Aku sering melihatnya kencan dengan wanita lain diluar, padahal aku selalu berusaha mencintainya."

Mira mengingat kembali curahan hati teman-temannya yang mengalami kegagalan dalam rumah tangga. Tentang betapa menyedihkannya pernikahan tanpa rasa cinta, semua akan terasa seperti memikul beban sebesar gunung Uhud. Mata hitamnya menatap pada jari manis yang dihiasi cincin emas bertahtakan berlian sebagai penanda bahwa kini ia sudah sah menjadi istri Wisnu. Pria yang dia cintai begitupun sebaliknya. Rumah tangganya dibangun berdasarkan rasa cinta satu sama lain, tidak ada yang perlu dikhawatirkan, semua pasti baik-baik saja.

Dulu Mira sempat ragu ketika Wisnu melamarnya dengan romantis di acara anniversary perusahaan. Jujur saja, pengalaman orang lain membuatnya berpikir ribuan kali saat hendak memutuskan untuk masuk ke jenjang pernikahan, sesuatu yang lebih serius dari sekedar pacaran. Takut hal serupa akan menimpa rumah tangganya kelak. Tapi Wisnu tidak pernah lelah untuk meyakinkannya akan pernikahan, katanya jangan menyamakan nasib kita dengan orang lain, semua orang sudah memiliki jalannya sendiri, termasuk Mira. Wisnu dengan mudah membuat Mira keluar dari jurang ketakutan dan memberikan hati serta kesetiaan pada pria yang kini telah menjadi suaminya.

Padahal sudah dua tahun Mira menghindar dari topik pernikahan ketika Wisnu mulai menyinggung ke arah sana. Tapi kini ia akhirnya benar-benar menyerahkan diri hanya untuk Wisnu, suami sahnya. Tak bisa digambarkan lagi betapa bahagianya Mira sekarang. Jantungnya berdegup kencang begitu Wisnu dengan lancar mengucap kalimat janji yang mengikat mereka untuk saling menjaga hingga maut dan kembali bersatu di surga. Semoga saja.

Tiba-tiba saja terdengar ketukan pintu, Mira menoleh saat pintu terbuka dan menunjukkan perawakan Wisnu yang masih lengkap dengan jas hitam dan kemeja putih untuk atasan. Ah, apa Mira sudah pernah bilang jika wajah Wisnu itu tergolong tampan? Benar. Pria itu mirip bule-bule yang biasa ia tonton dalam film Hollywood.

"Kamu belum tidur?" tanya Wisnu seraya mendekat.

"Belum, aku menunggumu." Mira memejamkan matanya saat pipinya mendapatkan sentuhan lembut dari jari telunjuk Wisnu yang mulai nakal menggodanya.

"Kenapa, hm? Apa ada sesuatu yang harus aku lakukan hingga kamu repot-repot menunggu?" Wisnu menunduk hingga kepalanya berada tepat di sebelah Mira yang sedang bercermin. Wanita itu masih mengenakan gaun pengantin yang mengembang cantik.

"Tidak ada, hanya saja aku masih tidak percaya kita benar-benar menikah setelah semua yang kita lalui," ucap Mira yang tidak bisa lagi menahan senyum bahagianya. Tapi tiba-tiba pipinya bersemu merah, apa setelah ini Wisnu akan meminta haknya? Oh ya Tuhan, rasanya Mira belum siap sama sekali.

"Kenapa? Kamu harus percaya, dan terbiasa menjadi istriku." Mira merasa sesuatu menggelitik lehernya, rupanya Wisnu bernapas di sana. Entah sudah berapa kali ia memerah hari ini akan perlakuan manis pria itu.

"Tentu, kita sudah menjadi suami istri sekarang. Dan itu nyata," bisik Mira pelan. Wisnu kembali berdiri tegak dan menyentuh bahu kecil Mira dengan sedikit remasan kecil.

"Sebaiknya kamu mandi, Sayang. Setelah itu tidurlah, aku tahu malam ini kamu sangat kelelahan karena menyambut tamu yang tak sedikit." Lihat? Wisnunya pengertian sekali. Mira semakin yakin ia tak salah menjatuhkan pilihan.

"Baiklah, tapi bantu aku melepaskan gaun ini. Tanganku tidak sampai." Mira berdiri setelah melihat anggukan dari Wisnu.

Sesuai perintah Mira mandi dan berganti di kamar mandi, rasanya dia masih belum terbiasa meskipun kini status mereka telah sah di mata Tuhan dan negara. Entahlah, Mira hanya malu pada pria yang belum sehari menjadi suaminya. Ayolah, dia terbiasa sendirian dalam kamarnya, lalu tiba-tiba kini ada orang lain bersamanya, tentu saja rasanya canggung sekali. Jujur saja, selama dua tahun pacaran Wisnu selalu sopan padanya. Pria itu tak pernah bertindak di luar batas dalam hal-hal menjurus pada adegan dewasa. Mereka pacaran layaknya remaja sekolah menengah yang baru pertama kali mengenal yang namanya jatuh cinta. Oh sial! Mira jadi membayangkan bagaimana Wisnu jik mereka melakukan itu, akan seperti apa ... astaga! Kenapa ia jadi mesum begini. Hentikan.

Mira menggeleng dan melanjutkan aktivitasnya mengeringkan rambut, sedangkan Wisnu terlihat sibuk dengan sesuatu di ponselnya. Mungkin pekerjaan? Well, ini malam pernikahan. Apa Wisnu memang sesibuk itu? Ah sudahlah, lagipula Mira sudah dua puluh lima tahun. Seharusnya dia tidak bawa perasaan dengan hal-hal sepele begini, tapi dia memang sempat merasakan perasaan terabaikan walau sedikit.
Pasalnya saat pacaran Wisnu akan menaruh penuh atensinya pada Mira jika sedang bersama. Duh, kenapa Mira jadi membandingkan, sih? Itu terdengar sangat tak pantas dilakukan oleh wanita dewasa sepertinya.

Usia rambutnya terasa ringan dan kering Mira pun menghentikan aktivitasnya dan menghampiri sang suami di atas ranjang.

"Kamu gak lelah, Nu?" tanya Mira sambil tangannya bergerak meraih selimut dan mencari posisi ternyaman untuk tidur. Tak menyadari ekspresi tak enak dari pria di sampingnya karena panggilan istrinya yang tak berubah.

"Tidak terlalu, kamu duluan aja. Aku akan menyusul bentar lagi," sahut Wisnu akhirnya yang membuat Mira memutuskan untuk memejamkan mata menjemput alam mimpinya.

***

Mira merasakan tepukan pelan di pipinya hingga ia terbangun dan berkedip-kedip pelan menyesuaikan matanya dengan cahaya lampu.

"Sudah bangun?" tanya suara yang sangat dikenalnya. Ah siapa lagi jika bukan Wisnu? Mira mengangguk pelan dan mencoba mengumpulkan kesadarannya.

"Jam berapa sekarang, Mas?" tanya Mira dengan suara seraknya. Dia sudah membiasakan panggilan baru sekarang. Tidak baik memanggil suami dengan nama saja.

"Jam tujuh kurang seperempat," balas Wisnu yang sudah berdiri di sisi ranjang.

"Astaga! Aku pikir sudah siang. Ternyata pagi ini memang cerah." Setelah itu Mira membersihkan diri, di ikuti Wisnu sebelum keduanya ke ruang makan untuk sarapan bersama keluarga Mira.

Berakhir dengan senyuman orang tua Mira yang melihat betapa perhatian Wisnu pada istrinya. Bagaimana tidak? Wisnu dengan baiknya membantu Mira melepaskan daging sapi yang sudah terpotong kecil dari tusuk satenya. Yap, mereka sarapan dengan makanan yang tersisa kemarin. Sebenarnya sangat tidak cocok untuk sarapan jika mereka di luar negeri, untunglah mereka sedang di Indonesia yang menganut paham makan pagi dengan apa saja yang penting perut terisi makanan.

Tapi anak laki-laki remaja satu-satunya di sana terlihat berdecak malas, jika saja tidak segera ditegur sang ibu ia pasti sudah semakin tidak sopan. Aldi adiknya Mira memang bukan type yang mudah menerima orang baru, apalagi jika orang baru itu terlihat cari muka di matanya.

Sarapan berjalan lancar, setelah itu mereka berangkat ke tempat tujuan masing-masing. Aldi pergi ke sekolah, ayahnya pergi berjualan manisan keliling sedangkan ibunya ada keperluan bersama teman lama. Hingga hanya tersisa Wisnu dan Mira di rumah sederhana itu. Karena tak tahu harus apa, Mira akhirnya membereskan bekas sarapan dan membersihkannya di wastafel.

"Setelah itu selesai, cepat kemasi barangmu." Mira sedikit tersentak karena terkejut mendengar perintah Wisnu yang mutlak. Tak ingin dibantah.

"Tapi, kenapa? Memangnya kita mau kemana?" tanya Mira yang pada dasarnya tak peka dengan kondisi.

"Kita akan pindah ke rumah baru, jadi jangan membuang waktu." Wisnu pergi setelah mengatakannya. Mira yang masih belum paham akan maksudnya menyuruh mengemas barang akhirnya menahan Wisnu dengan tangannya.

"Kenapa cepat sekali? Kita belum membicarakannya dan pamit pada papa dan mama," protes Mira. Memang benar adanya mereka belum membicarakan ini pada orang tua Mira.

"Tidak perlu ijin, sekarang kamu istriku dan izinmu ada padaku." Mira tak lagi memprotes, mungkin memang seharusnya begini. Dia pun mengemasi baju-bajunya yang masih sangat pantas digunakan.

Entah kenapa dia merasa tidak rela ketika harus meninggalkan ayah, ibu dan adiknya.

Ah aku akan merindukan mereka nanti.

***

Tbc.

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro