Chào các bạn! Vì nhiều lý do từ nay Truyen2U chính thức đổi tên là Truyen247.Pro. Mong các bạn tiếp tục ủng hộ truy cập tên miền mới này nhé! Mãi yêu... ♥

kanvas putih

Masih ingat tidak? Saat jam-jam kosong kala para guru tengah rapat dulu, kita sering diam-diam menyelinap keluar kelas dan menuju tempat favorit kita.

Ruang lukis.

Tempat yang mengukir semua kenangan saat kita masih remaja dulu, tempat yang selalu menjadi penyembuh bosan kala tak ada hal menarik yang kita temukan.

"Aksara Dewantara," panggilmu merdu mengalihkan atensiku yang tengah bergerilya pada kanvas putih dan kuas di hadapanku.

"Kamu tahu tidak? Apa yang membuat aku menyukai seni seperti lukisan-lukisan yang ada disini?" Aku hanya menggeleng, tidak tahu apa yang membuatmu jadi begitu menyukai lukisan. Karena dulu aku tak begitu peduli pada sekitar sebelum akhirnya hatiku jatuh padamu.

"Itu karena kamu, kenal sama kamu buat aku mengenal seni. Ternyata seni itu sangatlah indah," dirimu menatapku dalam diam, masih ku ingat manik almond yang selalu jadi peneduhku kala lelah itu.

"Karena kamu juga, aku lebih mengetahui makna dari seni. Kamu telah menarikku dari lingkaran hitam yang selama ini mengukungku Aksara,"

"Perasaan aku ga pernah narik kamu deh," aku menggaruk kepalaku yang tak gatal itu, sedikit salah tingkah bercampur kebahagiaan saat kamu mengatakannya

Senyummu yang bagai rembulan itu terbit.

Sangat cantik.

Dapat membuatku terpana sepersekian detik.

"Aksara, ingat ini ya. Saat kita lulus nanti, ayo buat lukisan di kain kanvas yang besar. Ini, sebesar ini, agar saat kita berpisah nanti, kamu tak melupakanku," kamu merentangkan kedua tanganmu, menggambarkan seberapa besar kanvas yang akan kita jadikan tempat untuk menuai warna-warna indah nanti. Sangat lucu.

Kini, aku hanya bisa tersenyum. Duduk di sebuah ruangan khusus untukku menorehkan imajinasiku, mataku masih setia menatap sang surya yang sebentar lagi akan menghilang di balik perumahan didepan balkonku.

Tanganku beralih mengambil kopi hitam yang kini selalu menemaniku kala diriku berperang dengan beberapa pigmen warna didepanku

Ah, lagi-lagi aku ingat.

Saat kamu berkata bahwa kamu sangat menyukai aroma kopi dan membenci rasa dari kopi yang aku sesap ini.

"Aksa, aku boleh coba? Tapi aku gasuka pahit"

"Kalau ga suka ga usah diminum bodoh,"

"Aksa, Aksa. Kenapa kopi itu pahit ya?"

"Kenapa?"

"Karena manisnya ada di kamu!"

Huft, dulu aku sangat menyukaimu. Tapi entah kenapa sikapku begitu dingin padamu yang bahkan selalu bersikap manis saat bersama ku

Aku berdiri, mencoba menggeser rak besar tempatku menaruh peralatan lukis yang ku simpan didalamnya.

Terasa sangat berat, namun seberusaha mungkin aku mendorongnya.

Dan akhirnya berhasil, didepanku kini ada sebuah kanvas besar seukuran tubuhku. Masih putih terbalut plastik tebal.

Ku geser beberapa easel stand yang memenuhi ruangan ini, agar kanvas tadi bisa aku keluarkan dari tempatnya.

Tanganku terlipat didepan dada, memberhatikan kanvas yang sebelumnya ingin aku lukis bersamamu. Namun harus ku urungkan

"Kak Aksa!"

Aku terlonjak kaget saat tangan mungil memeluk pinggangku. Diriku berbalik badan mencoba melihat siapa pemilik suara cempreng yang memanggil namaku.

Ternyata dia Diah, gadis berusia 7 tahun dengan rambut yang di kuncir satu tepat di atas kepalanya.

Seperti sumbu bom.

"Loh? Diah? Sama siapa kesini hm?" Aku berjongkok menyesuaikan tinggi ku dengan si kecil

Diah tersenyum, mencium pipiku dengan cepat.

"Bersama kak Aca dong!" Anak itu memeluk leherku erat, seolah berusaha menghilangkan rasa rindunya terhadapku.

"Wah-wah, pelukan ga ngajak-ngajak nih" suara lembut dari seorang wanita menembus indra pendengaranku.

Aku berdiri sambil menggendong Diah, tersenyum ke arah orang yang juga tersenyum menatapku, ada dua lesung pipit yang selalu aku rindukan disana.

"Kamu mau ngelukis disana Aksa?"

Aku menggeleng sembari mendekat kearahnya.

"Kan kamu cuman bilang 'ayo melukis di kanvas yang besar saat nanti kita berpisah' nah sekarang kita masih sama-sama kan?"

Gadis itu terkekeh. Ku kecup keningnya yang sudah sebulan ini kurindukan.

"Kapan sampai?" Tanyaku mengajaknya duduk di balkon ruangan itu.

"Dua hari yang lalu, ugh! LDR-an itu ga enak. Kamunya ga bisa dihubungi terus" ia menggerutu, bibirnya mengerucut manis. Ingin aku mengecup bibir mungil itu, tapi harus tertahan.

Sabar Aksa, sebentar lagi.

"Maaf ya? Aku sibuk, pameranku dibuka sebantar lagi,"

"Wah ga nyangka banget ya? Seorang Aksara bisa mencapai cita-citanya dalam waktu dekat,"

Aku hanya tersenyum, tanganku yang bernoda cat kering mengusap rambut mulik Diah yang tertidur dalam pangkuanku.

Mungkin anak itu lelah.

"Ini juga karena kamu, inspirasiku. Terimakasih ya, karena sudah menemaniku sampai detik ini,"

Aku menatap manik matanya, masih sama seperti 3 tahun yang lalu. Saat aku pertama kali melihatnya di MPLS SMA dulu.

Ia hanya tersenyum, menggenggam tanganku dengan tangan lentiknya

"Terimakasih juga atas kesempatannya karena telah berani membuka hati untukku Aksa"

Semuanya bagaikan kilas balik, orang yang aku cintai kini mampu bertahan bersamaku sejauh ini. Sungguh diluar dugaanku, gadis berparas cantik dengan sifatnya yang apa adanya kini menjadi kekasihku.

Devanda Naca Riesta, terimakasih telah berani menunjukkan bahwa cinta itu didasari dengan rasa yang tulus seputih kain kanvas yang selalu ada menemani hari-hariku yang penuh warna bersamamu.

Aku selalu berharap.
Bahwa kita adalah 2 orang
Yang sama-sama takut kehilangan
















###

To be continue
( ◜‿◝ )♡

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro