🌻5🌻
"Kenapa tiba-tiba tanya begitu?" Pandu menaikkan salah satu alisnya.
"Ya karena aku bisa bantu? Tapi itu tetep tergantung apa Kakak juga mau berubah atau nggak," jawab Lea.
"Kita baru aja akrab hari ini walaupun udah sebulan ketemu di kantor. Ada aladan kuat apa emangnya?" Pandu tetap bertanya skeptis.
Lea menaikkan kedua bahunya. "Yah, kurasa kita sama? Sama-sama lulusan SMK teknik aja dan sedang melalui masalah masing-masing, nggak ada alasan khusus yang lebih dari itu.
"Oh, dan, aku cuman pengin membuktikan, sebanyak apapun kesalahan yang kita putuskan di masa lalu, bisa diperbaiki. Kakak gagal SBMPTN, tapi tahun ini masih bisa, 'kan?"
Pandu mengangguk mendengar pertanyaan Lea.
"Kakak bisa memperbaiki kesalahan itu, kalau mau keminggris, people change. Keinginan untuk berubah itu yang jadiin kita sebagai manusia. Kakak bisa ikut SBMPTN lagi, jadwal belajar bakal mepet banget, tapi kakak bisa ikutan kelompok belajarku mulai besok. Gimana?"
Lelaki itu membelalakkan matanya. Bantuan dari Lea adalah tawaran yang menggiurkan.
"SBMPTN kapan emangnya?" tanya Pandu, memastikan.
"Kasarnya umm …," Lea melirik ke arah kanan atas dan mengetuk dagunya, berpikir, "lima atau enam bulan lagi kayanya, deh."
"Bakal ngebut banget." Pandu menanggapi sementara Lea mengangguk-anggukkan kepalanya beberapa kali.
"Nek menurutku, selama ada waktu buat coba, ya manfaatin aja. Kalaupun gagal SBMPTN nanti, Kakak pasti bakal dapet sesuatu juga–"
"Kaya pengalaman gitu, ya?" Pandu tertawa meremehkan. Sejujurnya basi, tapi bantuan dan saran Lea untuk kembali ikut SBMPTN mungkin patut dicoba ….
Namun, apakah ia benar-benar siap? Ia masih khawatir akan satu hal.
"Coba nanti aku pikirin dulu," ujar Pandu pada akhirnya.
Tak berapa lama, bel istirahat berbunyi. Lea bertemu dengan adik kelasnya dan pamit kepada Pandu bahwa ia akan menghabiskan waktu bersantai di ruangan ekskul sastra, yakni di sebuah ruangan kecil yang menyatu dengan perpustakaan. Pandu paham kalau tidak mungkin juga ia menghabiskan waktu bersama Lea saja sampai sekolah selesai.
Bisa kena grebek.
Walaupun Pandu yakin, kalau dibiarin berdua aja sama seorang cewek, dia juga nggak ngapa-ngapain, nggak semua cowok itu mesum.
Yah, berhubung ruangan Lea dekat dengan tempat favoritnya, tentu saja Pandu tidak melewatkan kesempatan tersebut. Lea masuk ke ruangan kecil berukuran 3x6 meter sementara Pandu masuk ke sebelahnya, perpustakaan.
Murid lain menjadikan perpustakaan sebagai tempat favorit karena mereka bisa menghabiskan waktu sambil tiduran, tapi lain halnya dengan Pandu. Menjadi tempat favoritnya karena selain ada pendingin ruangan, juga karena dia bisa membaca buku sepuasnya.
"Bu," ujar Pandu, bertegur sapa.
Yang mengagetkan, pustakawati itu ternyata masih mengingat Pandu terlepas sudah hampir tiga tahun tidak bertemu. Mungkin, gara-gara Pandu terlalu sering 'berurusan' dengan perpustakaan.
Aroma perpustakaan itu masih tidak berubah sejak ia bersekolah di sana. Pengharum ruangan beraroma jeruk yang disebarkan dengan angin dari pendingin ruangan. Saat Pandu mendekat ke rak-raknya, ia bisa mencium aroma kertas yang sudah menguning dan lepek. Satu hal yang Pandu sayangkan adalah, mungkin, koleksi bukunya yang tidak bertambah …, salah, ada tambahan koleksi baru ternyata, tetapi tak seberapa banyak.
Tangannya mengambil satu buku karangan Raditya Dika dan satu buku nonfiksi yang dulu pernah ia baca (yang isinya sangat lucu dan menyegarkan). Namun, meski Pandu sudah membuka novel di depannya, pikirannya tak bisa menyerap kata demi kata yang tertulis di sana. Pikirannya melayang ke SBMPTN dan kuliah, satu-satunya hal yang ia inginkan sejauh ini dan ia ragu apakah ia bisa melangkahkan kakinya ke sana.
Pandu butuh diskusi secepat mungkin dengan ibunya.
*
Waktu nenunjukkan pukul 4 sore, bisa-bisanya Pandu benar-benar betah dari pukul 8 hingga pukul 4 sore berada di sekolah. Pandu sendiri tidak mau berjalan lebih jauh selain perpustakaan dan kantin, takutnya kalau dia bertemu gurunya dan ditanyai macam-macam, dia hanya sedang malas mengarang alasan.
Pertama-tama, Pandu harus mengantar Lea pulang ke rumah. Setidaknya memastikan saja dari belakang motor Grab yang membawa Lea pulang sekarang.
Saat tumpangan Lea berhenti tepat di rumahnya, Pandu segera melajukan motornya untuk pulang. Lea naik ojek daring memang bagian dari rencana biar bolos hari ini kelihatan alami, maksudnya, kelihatan kalau mereka tidak membolos.
Selama di atas motor, Pandu sudah memutar otak bagaimana cara membohongi ibunya kalau-kalau ia sampai di rumah agak molor dari biasanya. Karena seingatnya, perjalanan dari kantor ke rumahnya membutuhkan waktu lima belas menit, tetapi jika itu dari sekolahnya dahulu, maka membutuhkan waktu dua kali lipatnya.
Hitungannya tepat. Sesaat setelah Pandu memberi salam, Ibunya membalas dengan ucapan yang bahagia, disusul sebuah pertanyaan.
"Kok tumben sampai setengah lima?" tanya ibunya sambil memakan salak di ruang TV.
"Dari bank dulu, ambil uang." Pandu berbohong.
Ekspresi ibunya mengeras. Pandu buru-buru mendekat untuk mengalihkan pembicaraan, walau ia tahu topik pembicaraan ini justru akan memperkeruh suasana.
"Ma, Pandu mau ngomong."
Ibunya mengangguk, masih sambil memakan buah salak.
"Pandu mau kuliah, nanti Pandu ambil SBMPTN, buat biayanya, Pandu mau nabung dan rencananya kita bayar paling nggak dua semester awal aja kalau diterima, karena abis keterima, Pandu bisa cari beasiswa, menurut Mama gimana."
Hening sejenak.
"Ya udah, kalau Pandu oke, Mama juga oke." Ucapan ibunya membuat Pandu mengulas senyum.
"Tapi Pandu minta maaf dulu, karena sampai enam bulan ke depan, Pandu nggak bisa dipinjami uang."
"Iya nggak apa-apa." Ibunya Pandu tersenyum. "Buat biaya semesteran juga insya Allah ada, Pandu fokus belajar, ya?"
Pandu mengangguk dan beranjak ke kamar. Baru sampai di depan pintu, lelaki itu menoleh ke ibunya.
"Tapi kalau 100.000-200.000 kayanya Pandu masih bisa bantu." Pandu menambahkan.
Ibunya tersenyum. "Udah, nggak usah dipusingin. Sebisa mungkin, Mama bakal bantu, lagian masalah biaya itu harusnya memang tanggung jawab Mama sama Ayah kamu sebagai orang tua, nanti Mama obrolin sama Ayah kalau Ayahmu sudah pulang."
Pandu pun tersenyum semakin lebar dan masuk ke kamarnya. Di balik daun pintu berwarna cokelat itu, jantung Pandu berdegup kencang. Akhirnya, ada jalan buatnya untuk kuliah, tetapi, masih ada satu perasaan mengganjal yang membuatnya ragu. Perasaan kecil yang tidak dapat ia bohongi, yang membuat antusiasmenya bertabur dengan keraguan.
*
Hae! Jadi ini tuh bab dengan jumlah kata paling sedikit wkwkwk, tapi kuharap kalian masih tetap enjoy untuk menyimak petualangan Pandu. Ini sudah hampir masuk ke konflik pertama! ;) Sampai jumpa di bab berikutnya!
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro