🌻4🌻
Pandu masih sibuk menangkap warna-warna rumah yang di bawah kaki Gunung Klotok menggunakan ponselnya. Ia berhati-hati untuk tidak menginjak bagian lereng atau salah-salah, bisa saja ia terpeleset dan terluka.
Panduan garis kotak-kotak membagi tiga layar ponselnya, memandunya untuk mengabadikan pemandangan tersebut yang dibingkai oleh beberapa ranting pohon yang tumbuh di sana.
Berdiri rasanya kurang pas, sekarang ia berjongkok, pemandangan kota jadi terbingkai oleh rerumputan yang tumbuh di lerengnya. Tangannya pun menekan tombol rana.
Puas, Pandu tersenyum dan berdiri, mengantongi ponselnya. Tepat saat parfum beraroma buah segar mampir di indra penciumannya, dan telinga mendengar suara seseorang memanggil.
"Kak!"
Lelaki itu menoleh dan menemukan seorang gadis berambut hitam panjang sepunggung berlari ke arahnya. Detik berikutnya yang ia tahu, tangannya tiba-tiba disambar.
"Loh …." Pandu tergeragap.
"Nanti aku jelasin, pokoknya lari dulu! Di belakang ada Satpol PP!"
Gadis itu berlari dengan cepat di depannya, Pandu adalah orang yang jarang berolahraga, tentu saja ia bersusah payah untuk menyamakan langkah.
Ada apa, sih? Kok jadi begini. Bahkan mau refreshing pun gagal?
"Ah …, sial!"
"Misuhe 'ngko sik ae!*" Gadis itu berteriak.
"Lho, kedengeran ta?" tanya Pandu balik di sela engahan napasnya.
"Sekarang, motormu ndek mana?"
Jeda dua detik untuk Pandu menarik napas sebelum akhirnya menjawab, "Di parkiran museum!"
"Hah! Uadoh lak-an!*"
Pandu tidak menjawab, ia sibuk menarik napas. Kendati demikian, memang tidak ada jalan lain lagi, mereka terus berlari melewati jalanan beraspal yang kadang naik dan turun. Lalu berjalan di turunan panjang dan naik lagi sampai mereka melewati kebun bunga matahari.
Genap sudah mereka melewati satu putaran rute jalanan Maskumambang.
Museum terletak tepat sebelum Gua Selomangleng, gadis itu segera menarik Pandu masuk ke area parkirnya.
"Keluarin motornya, Kak, cepet!" perintah gadis itu panik.
"O-oke, oke!" Pandu segera kalang kabut mengaduk-aduk tasnya.
"Kuncinya 'nggak hilang, 'kan?"
"Nggak," jawab Pandu singkat sambil berlalu mencari motor matic berwarna hitam-biru dan helm biru tua dengan cepat dan cekatan.
Ia mengeluarkan motornya dari parkiran dan segera membayar karcis, lalu menaikinya sambil menghampiri gadis itu.
"Terus?" Tanpa menjawab, gadis itu segera naik dan duduk di jok belakang.
"Bentar-bentar, turun dulu!" perintah Pandu.
"Kak! Keburu ada Satpol PP!"
"Nggak, sebentar aja. Ini kamu kan nggak bawa helm cadangan, nah kita tukar jaket dulu, soalnya punyaku ada hoodie-nya."
"Oh, ide bagus!" Gadis itu menanggapi usulan Pandu dan mengerti maksudnya.
Dalam hitungan detik, mereka segera bertukar jaket. Pandu memakai jaket gadis itu yang lumayan pas badan, sementara jaketnya di gadis itu agak sedikit kedodoran. Tanpa perlu diperintah, gadis itu mengikat rambutnya dan menaikkan tudung jaket menutupi kepalanya. Cara ini sebenarnya mungkin nggak terlalu ampuh, tergantung polisi yang lihat, tapi banyak lolosnya.
"Oke, jalan! Jalan!" Gadis itu kembali menaiki jok belakang motor Pandu dan Pandu segera keluar kompleks Gunung Klotok.
*
Jalanan sudah melandai, Pandu dan gadis itu sudah memasuki jalan raya di depan sekolah mereka. Pandu memelankan motornya.
"Sekarang udah aman, 'kan harusnya?" tanya Pandu.
Gadis itu mengangguk. Lupa kalau anggukannya tidak bisa dilihat, ia baru menjawab, "Iya, aman, sip!"
"Tadi beneran ada Satpol PP?"
"Iya. Tak kirain, jaman sekarang udah nggak ada yang namanya razia anak bolos."
"Kayanya dari dulu ada, deh. Ini baru pertama kali kamu bolos?"
"Iyup. Kakak juga? Bolos dari kantor?"
Pandu tercenung. "Lho, kirain kamu nggak sadar siapa aku."
Gadis itu terkekeh. "Nggak mungkin, kalau nggak sadar aku nggak bakalan lari ke Kakak tadi. Padahal kita di kantor sama-sama nggak terlalu akrab, ya?"
Pandu mengangguk.
"Kakak, namanya siapa?"
"Panggil Pandu aja, kamu?"
"Lea aja, nggak usah pakai 'dik'."
"Oke." Motor Pandu sudah melewati perempatan tempat satu-satunya gereja katolik di sana berdiri di kanan jalan. "Terus kita mau ke mana?"
"Anterin aku ke rumahku dulu boleh? Mau ganti baju aja deh, dari pada dirazia."
Pandu awalnya ragu, bisa saja di rumah gadis itu ada orang tuanya kan? Tapi setelah Lea meyakinkannya, Pandu akhirnya menurut dan membawa motornya masuk ke kawasan Balowerti, kawasan itu dekat dengan Sungai Brantas dan dekat dengan kantornya.
Lea masuk ke dalam rumah sementara Pandu hanya menunggu di depan gerbang. Harap-harap tidak ada tetangga nakal yang melihat mereka dan menyebarkan gosip tidak jelas. Gadis itu keluar tidak lama kemudian, hanya mengganti bawahannya menggunakan rok seragam putih abu-abu.
"Loh? Katanya mau ganti baju biar nggak dirazia?" tanya Pandu, kebingungan.
"Iya, aku bawa baju bebas di dalam tas, tapi barusan kepikiran, mending kita ke SMK aja."
Pandu membelalak. "Ngapain?"
"Njajan batagornya Aa' Ujang."
Mata Pandu semakin terbuka lebar. Batagor Aa' Ujang adalah batagor terenak di kantin sekolahnya. Di luar sekolah bahkan, menurutnya, tidak ada yang paling enak dari batagor Aa' Ujang!
"Ide bagus!" Pandu manggut-manggut bersemangat.
"Tapi, sebelum itu, kita tukar jaket. Sambil nunggu Mas-mas Grab mau pinjam helm." Lea menerangkan kalau ia membawa helmnya sendiri, nanti sore hari saat ia pulang ke rumah, justru akan menimbulkan kecurigaan karena sedari awal memang dia tidak membawa helm.
Tak perlu menunggu lama sampai pengemudi ojek daring itu datang. Lea menyuruh ojek itu untuk mengikuti motor Pandu saja sementara Lea dan Pandu berboncengan, putar balik ke jalur awal.
*
Cita rasa kuah kacang yang gurih dan adonan daging campur tahu yang sudah digoreng berlapis kulit pangsit memenuhi rongga mulut Pandu. Mengantarkan klip-klip nostalgia seperti film-film berwarna kekuningan.
"Rasanya nggak berubah!" ujar Pandu, menahan tangisnya.
"Seenak itu ya dari dulu?" Lea terkekeh, Pandu mengangguk sambil makan dengan lahap.
Jeda beberapa detik sampai Pandu memutuskan untuk bertanya alasan mengapa Lea tidak masuk kantor hari ini.
"Ada masalah sama orang tua, jadi males masuk magang. Aku kemarin bilang kalau selama ini aku udah ikut latihan buat SBMPTN, jaga-jaga kalau SNMPTN nggak diterima. Eh mereka tetep nggak ngebolehin, padahal aku bisa usaha sendiri cari beasiswa."
"Maaf sebelumnya, tapi masalahnya di finansial?" tanya Pandu.
Lea mengangguk. "Dan itu bisa diatasi sama beasiswa, makanya aku udah siapin beberapa beasiswa dan latihan tes masuk sejak kelas dua tahun kemarin malah."
Pandu ber-oh. "Ternyata kita sama ya, tapi kamu lebih punya persiapan yang matang. Semoga kamu beruntung, nggak kaya aku ya!"
"Kakak? Kenapa?"
Pandu tertawa kecut. "Aku dulu ikut SNMPTN, tapi kayanya kurang niat dan akhirnya pilihannya terlalu tinggi-tinggi, gagal. Waktu ikut SBMPTN baru berasa kalau soalnya susah dan aku lebih nggak punya persiapan yang matang.
"Tahun 2018 aku udah nggak kepikiran, tapi baru akhir-akhir ini kepikiran lagi, abis ulang tahun kedua puluh-ku. Mungkin, kepikiran, udah dewasa. Wis gede, tapi isinya hidupku kok cuman gagal, gagal, sama gagal. Dibandingkan sama temen-temenku, rasanya aneh aja, terus stres, makanya aku bolos juga hari ini. Ternyata, jadi dewasa sengeri ini."
Hening sejenak.
Pandu melanjutkan, "Jadi dewasa itu ngeri, soalnya, mendadak kita harus lewat di jalur putar balik, siap atau nggak siap, apakah jalan yang kita ambil setelah itu mulus atau berlubang dan penuh batu? Nggak tahu, dan nggak pasti.
"Aku jadi inget jalan depan kolam renang Pagora sama kolam renang Tirtayasa. Karena sering lewat situ, aku jadi paham kalau salah satu jalur di sana itu mulus, terus kalau kita putar balik, jreng! Jalurnya rusak banget. Nah, yang paling bikin stres selain keragu-raguan itu ya, momen saat kita sadar kalau kita gagal dan sadar kalau kita ternyata bad decisioner."
"Lalu, karena nggak gerak-gerak, masalah jadi numpuk, stres pangkat dua?" Lea menimpali sambil melahap batagornya.
"Seratus!" Pandu menanggapi.
"Tapi ya, menurutku, Setiap masalah yang datang ke kita itu, sekilas lihat kaya menempatkan kita di suatu jalur putar balik. Padahal kenyatannya, kita selalu berdiri di sebuah persimpangan. Kita cuma harus berani memilih dan siap buat babak-belur."
Pandu tertegun, perumpamaan Lea ternyata lebih bagus daripada dirinya.
"Jadi ya, mau nggak mau, daripada stres kuadrat, rasanya kita harus memilih buat stres sekali setiap hari. Daripada numpuk begitu maksudku, paham nggak sih, 'Kak?"
"Paham, kok." Pandu manggut-panggut.
"Iya," Lea berhenti mengunyah, "jadi, Kak Pandu siap buat ambil jalan dan menyelesaikan masalah Kakak, satu-satu?"
Pandu meletakkan garpu dan sendoknya.
*
Glosarium:
1. Misuhe 'ngko sik ae!: Mengumpatnya nanti dulu, saja.
2. Uadoh lak-an!: Jauh banget, dong!
*
Hewwoo!! Ketemu lagi setelah kemarin skip nggak update karena revisi gambaran bikin stres wkwk. Di bab ini aku mulai memasukkan beberapa logat Jawa dan satu logat khas dari Kediri, yang mana tuh kira-kira? Hehe, suatu saat aku ceritain yang mana.
Nah, di awal-awal aku udah bilang kalau cerita ini kubuat berdasarkan apa yang ada di sekitarku, salah satunya ya jalur putar balik di depan dua kolam renang (Pagora dan Tirtayasa), yang akan aku ceritain lebih lanjut di akhir cerita HEHE.
Omong-omong seleksi masuk PTN, baru-baru ini habis pengumuman SNMPTN bukan sih? Gimana? Ada yang lolos? Ada yang gagal? Bisa saling cerita pengalaman kalian? Terus buat yang gagal, apa langkah kalian berikutnya? Sini bagi di inline comment!
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro