🌻15🌻
Hari H datang, keberangkatan kereta mereka dijadwalkan pukul 11 siang. Pandu, Lea, Rina dan Hani sendiri sudah berkumpul satu jam sebelum keberangkatan. Bahkan mereka sempat membeli makan dulu di luar, lalu kembali tepat saat jam check in dimulai, yakni tepat tiga puluh menit sebelum keberangkatan.
Mereka berempat sudah berdiri dan mengantre di depan gerbang check in saat Lea mengubek-ubek isi tasnya, ia merogoh dompet, lalu tampak berusaha mengendalikan raut wajahnya, kemudian kembali mengubek-ubek tasnya.
Pandu, Rina, dan Hani kebetulan berdiri di belakang Lea secara berurutan, mereka melihat Lea yang kebingungan sendiri dan Pandu memutuskan untuk mengambil inisiatif bertanya.
"Ada apa?"
"Tiketku …," jawab Lea sambil sibuk mengaduk-aduk isi tasnya.
"Nggak ada?" tanya Pandu. Ia menggiring Lea keluar dari antrean dan mengisyaratkan Rina dan Hani untuk mengambil antrean karena tiket sudah ada di tangan mereka dan antrean juga sempat berhenti.
"Duduk dulu sambil cari dan inget-inget," ujar Hani sebelum maju ke loket pemeriksaan, diikuti Rina yang khawatir.
Pandu dan Lea duduk di kursi tunggu terdekat, sementara Hani dan Rina melihat dari jendela tinggi berteralis yang memisahkan ruang peron dan ruang tunggu.
Dengan sabar, Pandu membimbing dan membantu Lea untuk mencari tiketnya, sesekali ia juga membantu gadis itu untuk mengingat di mana terakhir kali ia meletakkan tiketnya.
"Jangan-jangan ketinggalan di restoran?!" Lea Panik.
Pandu dan Lea segera beranjak dan berlari ke luar stasiun, meninggalkan Rina dan Hani yang juga sama paniknya, kebingungan kenapa tiba-tiba mereka lari.
Hani segera mengetik di ponselnya, pesannya segera dibalas oleh Pandu bahwa mereka menuju restoran masakan Jepang yang tadi mereka kunjungi untuk menyantap makan siang.
"Gimana?" tanya Rani yang ikut panik sambil sesekali melirik jam yang digantung di dinding peron.
"Katanya mau ke restoran tempat kita makan tadi, duh, moga cepet ketemu dan bisa nyusul kita."
Sementara di luar stasiun, Pandu berlari sedikit di belakang Lea yang berlari secepat kilat menuju restoran tempat mereka makan tadi. Sejak pertama bertemu sampai sekarang, Pandu diam-diam memuji kemampuan lari Lea yang membuat napasnya pendek-pendek dan bulir-bulir keringat mengucur.
Sesampainya di restoran, Lea segera menggeser pintu dan masuk sementara Pandu mengetik pesan dengan cepat ke grup belajar.
Pandu: "kalau sampai nanti belum ketemu dan waktunya mepet banget, kalian bisa berangkat dulu, nanti kita ketemu di sby."
Ia pun mengunci ponselnya tanpa menunggu balasan dari teman-temannya, tangannya menggeser pintu dan menyusul Lea yang sudah berdiri di depan kasir.
"Gimana?" tanya Pandu.
"Masih dicek dulu ada nggak barang penting yang tadi ketinggalan," jawab Lea. Kedua pundaknya sudah sedikit bergetar.
"Nggak ada, Mbak," jawab pegawai restoran beberapa saat kemudian.
Lea menggigit kuku jari jempolnya dan memaksa otaknya untuk berpikir. Tadi dia makan di restoran ini, dan tiketnya ada di dalam dompet. Satu-satunya waktu saat dompetnya terbuka hanyalah saat Lea akan membayar pesanan … tunggu.
Gadis itu kembali merogoh dompetnya, dan benar saja, dompetnya terlalu tipis dan bersih, padahal banyak sekali nota-nota atau kertas-kertas yang ia tidak tahu apa itu. Saat membayar tadi, Lea kesulitan mencari uang karena banyaknya kertas-kertas yang bejubel, jadi dia menarik seluruh kertas dan meremasnya, lalu membuangnya ke ….
"Tempat sampah!" Lea terpekik sambil menunjuk ke tabung besi di dekat kasir.
"Kamu nggak sengaja buang?" tanya Pandu. "Eh sebentar!" Ia menahan tangan Lea saat gadis itu hendak membuka tutup tempat sampah.
"Kamu mau ubek-ubek tempat sampah?" Pandu menaikkan intonasi suaranya.
"Ya iya!" Lea tak kalah memekik.
Tidak ada jalan lain memang, mau tak mau Pandu juga akhirnya bergerak dan membuka tutup tempat sampah saat pegawai yang tadi membantu mereka memberikan sepasang sarung tangan lateks.
Karena sarung tangannya hanya satu dan Pandu yang berinisiatif mengambilnya, ia melarang Lea untuk ikut mengaduk-aduk isi tempat sampah–yang isinya sebenarnya sampah-sampah kering berisi kertas-kertas atau beberapa plastik.
Ia dengan sigap segera mengambil dan membuka kertas-kertas yang sudah diremas, ia tidak mau jika ada yang terlewat dicek. Sementara itu, waktu terus berlalu walaupun Pandu dan Lea tidak melihat jam dinding yang tergantung di sana.
"Ketemu!" ujar Pandu sambil menyerahkan tiketnya.
Ia melepas sarung tangan sementara pegawai tadi menawarkan diri untuk membereskan sampah-sampahnya dan menyuruh mereka berdua untuk segera pergi daripada ketinggalan jadwal.
Pandu mengangguk, bersama Lea ia mengucapkan terima kasih sebelum kembali berlari ke stasiun.
Sesampainya di sana, bel kereta telah berbunyi dan kereta sudah berangkat. Pandu mengecek ponsel sambil mengatur napasnya, dan betul saja, kereta yang baru berangkat tadi adalah kereta mereka.
"Itu tadi kereta kita?" tanya Lea setelah berhasil mengatur napas.
Pandu mengangguk, Lea mendesah dan memasang muka kecewa bercampur dengan kebingungan.
"Duh, gimana ini?!" Lea mengetukkkan kakinya ke lantai tegel stasiun, bahunya bergetar, kepalanya menoleh ke kanan dan kiri.
Lea panik.
Pandu berdiri dari posisinya yang tadi membungkuk untuk mengatur napas dan menyambar tubuh kecil Lea, membawanya mendekat. Sambil menahan malu, Pandu menepuk-nepuk dan mengelus puncak kepala Lea, sementara satu tangannya lagi memegang pundak gadis itu dengan tegas, tidak terlalu kencang, tapi cukup untuk setidaknya mengantarkan kenyamanan.
Benteng pertahanan Lea pun runtuh, ia menangis terisak.
*
Setelah cukup–selain karena tidak enak jadi pusat perhatian juga–Pandu menarik Lea untuk di luar stasiun sementara ia pergi ke loket tiket untuk mengecek sesuatu.
Lea menurut saja, ia sudah berhasil mengendalikan dirinya sendiri sambil meminum es teh kotak yang dibeli dari vending machine. Tak lama, Pandu pun kembali.
"Masih ada satu kereta lagi yang berangkat hari ini ke Surabaya dan masih bisa dipesan, aku udah dapet nomor antrean, ayo!" Tangan Pandu terulur.
Gadis itu menyambut uluran tangan Pandu dan berjalan mengekor ke loket tiket.
"Nomor antreannya jauh, 150-an, sekarang masih 90-an," ujar Pandu sambil mendudukkan Lea di tempat duduk terdekat. "Aku masih bisa beliin tiketnya, PP, isi dulu, ya." Pandu menyodorkan formulir pemesanan dan Lea lagi-lagi menurut.
Pandu menyapukan senyum tipis di wajahnya. Ia lega melihat Lea sudah tenang dan ia lega kalau masih ada kereta yang sesuai dengan tujuan mereka. Namun, melihat Lea panik dan akhirnya menangia tadi membuat dadanya sesak, ia bingung kenapa, apa memang sahabat bisa merasakan hal-hal seperti ini? Tidak tahu … rasa sakitnya terasa berbeda. Biasaya dia hanya merasa sedih dan suasana menjadi suram ketika melihat temannya sedang bersedih atau kesusahan, tapi melihat Lea seperti tadi, membiat dadanya sesak dan punggungnya serasa ditekan oleh beban yang berat.
"Maaf," ujar Lea sambil menyodorkan formulir kembali ke Pandu.
"Nggak apa-apa," balas Pandu, masih dengan senyum tipisnya. "Maaf juga tadi sembarangan meluk." Pandu menggaruk tengkuk belakangnya dengan ujung bolpen dan mulai menulis data diri di form pemesanan.
Sementara Lea hanya tersenyum tipis mendengar itu.
"Keretanya jam 3, kalau laper lagi kita bisa makan dulu, waktunya masih banyak."
Tidak ada obrolan selama beberapa menit di antara mereka. Pandu hanya fokus ke nomor-nomor antrean yang berganti konstan setiap lima menit. Meski mepet, tapi pada akhirnya, Pandu dan Lea berhasil mendapatkan tiket on the spot, bahkan masih dengan tempat duduk, padahal tadi ia benar-benar sudah bersiap-siap untuk berdiri selama tiga jam perjalanan Kediri-Surabaya kalau-kalau sudah tidak ada kursi yang tersisa.
"Jam setengah satu, waktunya masih lama, kalau ngantuk tidur aja nggak apa-apa," ujar Pandu.
Lea menggeleng, matanya masih menerawang, sesekali melihat ponsel dan mengetikkan sesuatu, mungkin di grup belajar? Pandu jadi mendapat ide bahwa ia akan memanfaatkan waktunya juga untuk membaca novel di ponselnya.
Tak berapa lama, kepala Lea jatuh ke bahunya.
"Tidur bentar boleh?" tanya Lea.
Pandu tersenyum. "Boleh, maaf bantalnya keras," jawabnya dengan penuh candaan.
Napas Lea segera bergerak teratur, sementara stasiun semakin ramai dan angka-angka antrean terus bergerak. Pandu larut dalam bacaannya, sementara di pundaknya, Lea telah tertidur lelap, yang entah kenapa membawa kenyamanan tersendiri untuk lelaki itu.
*
ASHSHSHDJDJDSHJDFKDLDLSLDJSJS AKU TUH BAPER GENGS INI PART FAVORIT AKU SEJAUH INI!!! AKU SUKA BANGET TENSINYA, DEG-DEGAN PAS NYARI TIKET, TERUS DIHAJAR SAMA MOMEN AAAAA
KALO MENURUT PENDAPAT KALIAN GIMANA??!!
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro