🌻13🌻
Dhafin sebenarnya sempat mengajak mereka untuk hunting kucing jalanan, tapi karena waktu yang dimiliki Pandu dan Lea hanya satu jam, rasanya terlalu pendek, jadi mereka terpaksa menolak dan diganti oleh Dhafin dan Pandu yang menerangkan ras-ras kucing yang ada di sana.
Lea menyimak setiap detiknya, menyimak setiap kata dan perubahan ekspresi milik Pandu saat mengenalkan kucing-kucing tersebut. Ia banyak tersenyum, tidak banyak terlalu murung dan merenung serta terlarut dalam suasana.
Ia menoleh, mengambil salah satu kucing yang sedang tertidur pulas–yang kini terbangun karena diangkat oleh Lea–dan menaruh hewan berbulu lembut itu di atas pahanya, kemudian mengelus-elus dan sedikit memijat kepala kucing itu sampai ia tertidur lagi dalam hitungan detik–dan mengeluarkan suara, purr-purr.
Lea terkekeh, dasar hewan-hewan pemalas, batinnya.
"Aku sama Dhafin punya prinsip yang sama soal kucing. Paling nggak, mereka juga harus dilindungi, nggak ada makhluk hidup yang layak disakiti cuman buat hiburan semata," ujar Pandu. Setelah lelah menjelaskan dan tertawa terbahak-bahak karena tingkah laku kucing-kucing yang mengejar tongkat bulunya, sementara Dhafin sudah kembali ke meja kasir dan melayani pelanggan yang sewaktu-waktu datang.
"Kucing-kucing di sini juga dijual?" tanya Lea.
Pandu menggeleng, "Nggak dijual, tapi diberikan, cuma ya orang-orang kudu bayar buat jasa pemeliharaan, jadi bukan bayar kucingnya."
Lea membulatkan mulutnya dan mengelus kucing lain berwarna abu-abu yang tidur di sebelahnya.
Pandu dan Lea keluar sepuluh menit sebelum pukul tiga sore, mereka mengambil jalan memutar yang paling tidak minim kendaraan dan tidak sampai lima menit, mereka sudah sampai di kafe milik Kakaknya Hani. Hari itu, rutinitas belajar berlangsung seperti biasanya, kali ini dengan penambahan jumlah soal yang dikerjakan dilipatkan jadi dua soal.
Malamnya, Pandu geger sendiri di kamar sampai Ayah dan Ibunya terheran-heran melihat anak semata wayangnya panik dan mukanya memerah malu.
"Enek opo, to?"* Ayahnya bertanya dari ambang pintu.
"Haa …," Pandu berpikir sekejap, "Nggak apa-apa, ini cuman temen-temenku di grup, biasa, guyon."
Ayahnya mencebik dan menganggukkan kepalanya sambil lalu, kemudian berbisik ke istrinya yang sedang memasak di dapur, yang diakhiri juga dengan mengangguk-anggukkan kepalanya sambil mengaduk tumisan cabe dan tomat.
Tidak disangka ternyata Dhafin justru memotretnya saat bermain dengan kucing bersama Lea di pet shop-nya hari itu. Yang terjadi kemudian bisa ditebak, lantaran fotonya terlalu mesra–eh benarkah? Apa ini terlalu mesra?!–dan terlalu romantis, rumor Pandu pacaran pun segera membanjiri ruang obrolan, disertai ucapan selamat karena murid baik-baik yang hidupnya selama sekolah lempeng aja akhirnya pacaran juga.
Itu yang membuat Pandu panik dan memekik tertahan selama beberapa waktu, pekikan yang membuat Ayah dan Ibunya heran. Tentu saja Pandu jadi kepayahan meluruskan berita-berita miring itu, dan berkali-kali mengatakan kalau Lea hanya teman yang membantunya buat tes UTBK untuk keperluan SBMPTN nanti.
Ya tentu saja, teman-temannya itu tetap menggodanya.
*
Waktu tetap berjalan, awalnya sudah dua minggu awal terlewati, lalu sudah sebulan mereka mengulangi kegiatan yang sama, yakni belajar di sore hari sampai tembus malam hari. Sebisa mungkin mereka sepakat bahwa tidak akan ada detik yang terbuang sia-sia, bahkan di hari Minggu pun mereka tetap belajar. Tentunya kesadaran untuk ini juga dibarengi kesadaran bahwa akan ada saat-saat mereka stres atau sakit, maka dari itu, termasuk Pandu dan Lea sebisa mungkin menjaga fisik agar tidak terlalu capek dan psikologis agar tidak terlalu terbebani.
Sebulan belajar bersama sudah lewat, artinya berarti dua bulan waktu magang Lea juga hampir selesai.
Sabtu itu mereka mengusulkan kalau waktu belajar akan dimulai jam setengah lima sore saja. Rina dan Hani menyetujui usulan itu dan memanfaatkan waktu yang ada untuk bersantai, bagaimana pun juga ini adalah cara terbaik yang mereka dapat untuk mengelola stres sampai hari H datang. Sementara Pandu dan Lea, sambil membawa banyak cemilan dan makanan kucing, melaju ke sebuah tempat.
Tempat awal mereka bertemu, Gunung Klotok.
Pandu memarkirkan motornya di area parkir museum. Lalu mereka berjalan kaki dan Pandu yang membawa sekantong kresek penuh satu pak makanan kucing.
"Ini nggak apa-apa ambil sebanyak itu?" tanya Lea.
"Nanti yang diitung tetep yang abis," jawab Pandu sambil tersenyum tipis.
Lea berjalan di sampingnya–agak sedikit di belakang–dan memerhatikan bahwa langkah kaki lelaki di depannya kini terlihat tegas tetapi ringan. Memang, kekuatan kucing bisa menggerakkan Pandu jadi pribadi yang menurutnya sangat berbeda dan berenergi.
"Omong-omong, jadi inget awal kita ketemu nggak sih?" tanya Lea. Kini mereka berjalan turun menuju ke taman bunga matahari yang tadi sempat mereka lewati.
"Oh, yang tiba-tiba ada adik kelas narik tanganku buat lari itu ya? Yang nggak ada sopan santunnya?"
Muka Lea memerah. "Ih maaf! Lagian aku panik!"
Pandu tertawa. "Yaelah, minta maafnya pas udah sebulan."
"Ya lagian, masih jaman sidak Satpol PP begitu, kukira cuman ada di sinetron."
Sepanjang perjalanan, mereka paling tidak sudah memberi makan lima kucing jalanan. Lea cukup kesusahan memberi makan, tapi Pandu sudah ahli untuk tidak langsung mendekati para kucing agar kucing-kucing itu tidak ketakutan–yang berimbas, tidak jadi diberi makan karena lari duluan. Lea terpaksa menunggu dari seberang jalan sembari Pandu menarik para kucing keluar dari tempat persembunyian dan berjalan mendekat untuk makan cemilan yang diberikan.
Hari itu panas matahari sangat terik, tapi Pandu dan Lea menikmati waktu mereka bersama. Sesampainya mereka di taman, Pandu bahkan bersukarela–dan diam-diam–telah mengambil foto Lea yang tersenyum memegangi bunga matahari. Atau saat gadis itu menahan rambut panjangnya yang dikibarkan oleh angin.
"Aaaa! Enak banget!" teriak Lea di tengah taman bunga matahari sambil merentangkan kedua tangan, membiarkan angin menerpa rambut panjangnya yang terurai.
Cekrik! Momen itu pun berhasil diabadikan, Pandu tersenyum memandangi Lea yang tengah menikmati waktunya. Pandu sendiri? Ia pun juga merasa bahwa saat ini adalah saat yang paling menyenangkan, dan ia bersyukur masih ada waktu untuk membuatnya kembali bersemangat.
*
Dua bulan pertama telah berlalu, artinya sudah genap tiga bulan juga Lea dan timnya melangsungkan magang di kantor Pandu. Saat ia berpamitan pun, para pegawai di kantor masih suka menggoda mereka, Pandu dan Lea hanya menarik salah satu sisi mereka lantaran sudah terlalu kenyang dengan godaan mereka.
"Selamat ya! Semangat buat UTBK sama UN!" ujar Pandu. "Oh, kita selama ini belajar UTBK terus, tapi kamu udah belajar buat UN?"
"Iya malemnya belajar buat UN, tapi ya nggak terlalu serius, kan bukan tolok ukur kelulusan sekarang," jawab Lea.
"Oh iya," Pandu tersenyum. "Oke sampai ketemu besok sampai empat bulan ke depan!" ujar Pandu sambil tertawa bersamaan dengan Lea.
Faktanya memang demikian, meski waktu magang Lea telah selesai, hari-hari berikutnya memang masih dihabiskan dengan belajar seusai pulang kerja. Khusus Lea, Hani, dan Rina, sebelum belajar UTBK bersama Pandu, mereka sudah belajar buat UN atau mencicil tugas akhir bahkan sampai malam tiba.
Pandu berniat menawarkan bantuan kepada Lea tapi Lea menolak, katanya biar dia sendiri yang menyelesaikan 20 lebih gambar untuk tugas akhir tersebut. Ia pun hanya bisa memberikan elusan di kepala Lea yang membuat Lea berhenti menggambar sebentar dan sebisa mungkin mengontrol ekspresi mukanya, meski Pandu tidak melihatnya saat melakukan itu, melainkan fokus terhadap soal UTBK.
Tiga bulan, empat bulan, lima bulan telah terlewati, sekarang adalah bulan keenam. Sekarang saatnya menunggu hari H tiba dan mereka secara berkala mengurangi porsi belajar, agar tidak terlalu stres saat ujian nanti. Hani sesuai janji, ia juga kerap memberikan waktu luang untuk sekadar berbagi cerita dan menguatkan diri.
"Udah bulan keenam, UTBK tinggal ngitung hari. Tahu nggak sih, awal-awal dulu aku sempat ragu, bahkan sampai sekarang, tapi setiap aku ragu," Pandu menyeruput coffee latte ekstra boba (menu baru yang akhirnya disambut baik oleh Pandu dan Lea) yang ia pesan, "sekarang aku selalu ngomong ke dirimu sendiri kalau no turning back this time. Aku pengin untuk terus maju dan nyari apa yang ada di sana, jalur putar balik lain, atau persimpangan."
Pandu melirik ke arah Lea dan tersenyum tipis, Lea juga menjawabnya dengan melirik dan tersenyum. Hani dan Rina juga saling tersenyum dan berpandangan.
"UN juga baru selesai, jadi pundak agak sedikit ringan, tinggal UTBK." Rina menyahut.
"H-7 kita beli tiket bareng-bareng, yuk!" usul Lea tiba-tiba, mengingat pemesanan KA jarak dekat harus dilakukan paling tidak tujuh hari sebelum keberangkatan.
Semua orang setuju, tetapi Rina dan Hani tampaknya sedang merencanakan sesuatu.
*
Glosarium:
1. Enek opo, toh? : Ada apa, sih?
2. Guyon: Bercanda
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro