Chào các bạn! Vì nhiều lý do từ nay Truyen2U chính thức đổi tên là Truyen247.Pro. Mong các bạn tiếp tục ủng hộ truy cập tên miền mới này nhé! Mãi yêu... ♥

🌻12🌻

Hari Sabtu pun tiba. Mengingat-ingat bagaimana Lea tiba-tiba saja menanyakan 'apa mereka akan kencan?' tiga hari lalu membuat Lea malu. Namun, apa yang sedang ia lakukan sekarang?

Satu jam sebelum jam kantor selesai, yang artinya juga satu jam sebelum jam magang Lea selesai, ia pergi ke kamar mandi kantor dengan menenteng sebuah dompet kecil di salah satu tangannya.

Di dalam kamar mandi kantor terdapat cermin gantung bundar yang sebenarnya sudah setengah buram. Lea terpaksa membersihkannya sejenak walaupun itu justru membuat beberapa butir-butir air makin menempel di permukaan cermin.

Gadis itu lantas membersihkan butir-butir keringat dan minyak di wajahnya lalu menyapukan riasan tipis. Lea sejujurnya tidak pernah memakai riasan, dalam hal ini yang terlalu tebal dan mencolok, paling pol ya hanya bedak dan pelembab bibir.

Setelah selesai melapisi bibirnya dengan pelembab, Lea tersenyum, lalu meringis.

Ini kan, bukan kencan, ya? Cuman ngelus kucing, tok!

Lea mendesah pelan dan tertawa aneh. Tentu saja ia menertawakan dirinya sendiri, bisa-bisanya dia bertindak seolah-olah hari ini kencan, seolah-olah setiap keluar di hari Sabtu itu kencan, seperti rutinitasnya dua tahun yang lalu ….

Gadis itu menggeleng pelan lalu menarik napas dalam-dalam, kemudian tersenyum.

Benar, seperti ini, setiap mengingat dia memang senyum ini harus dipaksakan.

Bagaimana pun juga, Lea hanya tidak ingin harinya kacau hanya karena satu entitas yang tidak layak untuk dihargai kehadirannya.

Gadis itu keluar dari kamar mandi kantor dan kembali ke tempatnya, disambut dengan pertanyaan teman gadis satu tim magangnya yang heran kenapa Lea memperbaiki riasan wajahnya lagi.

"Kelihatan, ya?" tanya Lea.

"Kalau dilihat sama cewek kaya aku, sih, iya. Kalau cowok yang lihat, yah…." Temannya itu menjawab sambil tersenyum iseng.

"Ih, apa sih?!" Lea memekik tertahan dan memukul bahu temannya itu. "Nggak jelas!"

Bel dari mesin absen berbunyi, Lea dan teman-temannya beranjak dari ruangan mereka.

*

Pandu sudah menunggu di depan motornya, ia melihat Lea baru saja keluar kantor. Berbeda dengannya yang merupakan pegawai di kantor tersebut, Lea yang cuma anak magang tidak perlu absen sidik jari.

Lelaki itu tersenyum tipis dan mengangkat tangannya sedikit, sementara Lea membalas senyumnya dengan cerah seperti biasa. Memang benar, menurut Pandu, Lea memang seperti matahari, pribadi yang cerah, bersemangat dan selalu terikat untuk mewujudkan apa yang ia mau.

"Yuk, kita ngelus kucing!" celetuk Pandu.

"Astaga," Lea terkekeh, "semangat banget, ya."

"Ngelusin kucing lebih enak daripada belajar sejujurnya." Pandu menjawab.

"Iya-iya, lagian itung-itung refreshing juga, bosen kali, ah, liat angka melulu."

"Seabrek pula." Pandu mengaitkan helmnya dan memutar kunci kontak, begitu juga Lea yang sekarang selalu membawa helm sendiri karena waktunya dihabiskan untuk belajar dan selalu diantar oleh Pandu untuk pulang.

"Btw, pet shop-nya di mana emang?" tanya Lea.

"Deket banget sama kafenya kakaknya Hani."

"Lah? Tahu gitu setiap abis belajar kita bisa mampir, 'kan?"

"Kalau udah jam 8 malem, dianya udah persiapan mau tutup. Nah, kita selalu selesai jam 8 atau setengah 9 malem, udah kemaleman itu."

Lea segera naik ke jok belakang dan Pandu memandu motornya keluar–sebagai info tambahan, masih disertai dengan siulan-siulan para pegawai yang juga bersiap pulang.

"Udah dua minggu kita tuh kaya gini, tapi orang-orang masih suka siul-siul. Apa nggak capek gitu, maksudku?" tanya Lea heran.

"Aku juga heran," jawab Pandu singkat. Keduanya mendesah pelan bersama-sama di atas motor.

Sekarang jam setengah satu siang, matahari masih bersinar begitu terik, dan karena ini hari Sabtu, Pandu harus butuh kesabaran esktra kalau-kalau di jalan nanti bakal tiba-tiba melambat karena kemacetan yang entah disebabkan oleh apa, atau pengemudi yang ugal-ugalan demi ke sebuah tempat hiburan untuk menghabiskan akhir minggu.

Lea pun juga paham kalau Kediri sekarang adalah sebuah kota yang ramai, rasanya dulu, saat ia SD atau SMP tidak seramai ini jalanan. Namun, sekarang justru padat oleh–kebanyakan–kendaraan motor roda dua.

Mereka sudah melewati kafe milik Kakak Hani yang mulai rame, mungkin bahkan nanti saat mereka mulai belajar kelompok jam 3 sore, bisa lebih ramai lagi.

Motor yang mereka tumpangi masih berjalan lurus melewati Stadion Brawijaya, sampai di pertigaan mereka berbelok ke arah kanan. Menyusuri sisi lain dari Stadion Brawijaya yang melingkar, melewati sebuah taman memorial yang berhadapan langsung dengan Taman Makam Pahlawan.

Jarak beberapa meter, motor Pandu berhenti di sebuah ruko tiga lantai. Mereka segera masuk dan Pandu menyambut seorang lelaki seumuran dirinya di belakang meja kasir.

"Wih, pacar nih?" tanyanya.

"Ngawur!" Pandu membentak Dhafin. "Ini adik kelas kita, jarak tiga tahun sih. Nah kebetulan dia magang di kantorku."

Dhafin ber-oh ria sambil terus memasang senyum yang iseng dan tampak penuh dengan agenda. Pandu mengabaikannya dengan meminta ijin untuk mengajak Lea ke belakang.

Lea mengekor di belakang Pandu sampai mereka membuka pintu kaca buram di bagian paling belakang toko, melewati taman di tengah bangunan, di ujung lain terdapat sebuah dinding yang tersusun dari blok angin-angin yang ditumpuk.

Di sana ada ruangan berukuran empat kali empat meter dengan kandang kucing bertingkat tiga di dua sisi dinding ruangan, menyisakan ruangan super lega di tengahnya. Lea terkesima, karena ruangannya cukup untuk menampung lebih dari 10 kucing.

Sementara Lea yang masih mengagumi banyaknya kucing di situ, Pandu sudah membuka satu per satu kandang dan mengambil banyak wadah makanan di satu tangan dan menggotong sekarung makanan karung dengan salah satu tangannya.

Gadis itu melihat Pandu yang tersenyum sangat lebar, ia sepertinya sedang super ceria.

"Kucing di sini banyak ya?" Lea bertanya dan mengambil duduk di seberang Pandu yang tengah telaten mengelus kepala seekor kucing calico yang sedang asik menyantap makanannya.

"Iya," jawab Pandu. "Ada yang ras elit kaya persian gitu, ragdoll, maine coon, siamese." Ia menjelaskan sambil sibuk menunjuk mana saja kucing yang dimaksud.

"Tapi selain itu ada juga ya ras kucing umm … lokal? Pokoknya yang sering kita temui di jalan, ini kita pungut dari jalanan emang. Ada yang keadaannya sehat, ada yang udah luka-luka," jelas Pandu sambil memasang ekspresi sedih.

"Kalau aku nggak salah hitung,  masih ada lima kucing lainnya yang kita titipin di dokter hewan, lagi dirawat."

"Kakak, kenapa suka banget sama kucing?" tanya Lea.

Pandu tersenyum, dan matanya menerawang jauh. "Gara-gara mamaku. Duli waktu kami main ke pasar malam, ada kucing yang selalu lengket dan ngelusin badannya ke kakiku. Tapi bulunya jelek dan kotor, aku jijik, tapi mamaku bilang kita ngga boleh takut dan jijik. Paling nggak, kita kudu bantu sebisanya. Waktu itu sama mamaku dikasih satu butir pentol gitu, dan aku disuruh ngasih juga, dan sempat disuruh ngelus." Pandu tertawa, suaranya seperti ombak yang berdebur, Lea merasa nyaman saat mendengarnya.

"Kakak pegang juga?"

Pandu mengangguk. "Awalnya takut, lebih ke jijik sih, tapi kata Mama nanti bisa cuci tangan, dan harus segera cuci tangan. Setelah itu, Mamaku sering ngajak aku ke temennya yang punya pet shop kaya gini, terus Mamanua temenku juga sering hunting kucing jalanan, dan kadang dipungut juga buat dirawat. Gitu makanya aku semakin suka sama kucing dan semakin pengin buat ngasih perhatian ke kucing."

Pandu beranjak, ia mengambil dua mainan berupa tongkat panjang berbulu yang bisa berbunyi karena dipasang sebuah lonceng kecil. Lelaki itu menyerahkannya ke Lea, bersama-sama mereka mulai mengganggu sesi santai-santai para kucing dengan menggoda mereka, agar kucing-kucing itu saling berebut bulu-bulu yang mereka sodorkan.

Derau tawa pecah di ruangan tersebut, Pandu dan Lea semakin larut dalam rutinitas mereka, tak sadar kalau ada seseorang yang memotret keakraban mereka di ujung ruangan

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro