🌻11🌻
"Injury time setengah jam," kata Lea di atas jok belakang motor Pandu.
Di balik kaca helmnya yang gelap, Pandu hanya meringis dengan perasaan menyesal.
"Itu tadi udah aku usahain, wis paling cepet."
Lea tersenyum ringan. "Ya udah, nggak apa-apa. Rina sama Hani aku suruh mulai duluan, kalau kita nanti ngejarnya sama sekalian belajar di rumah aja kali ya?"
Pandu mengangguk, Lea mengamati kepalanya naik turun dari jok belakang. Lima menit kemudian mereka sudah sampai di kafe tempat mereka melakukan kegiatan belajar bersama. Lea dan Pandu segera menaiki anak tangga besi dan memasuki ruangan di lantai dua.
Hani menawarkan apakah mereka akan mengurangi waktu dua jam mengerjakan soal atau menggunakan waktu sendiri. Pandu menjawab bahwa ada baiknya ia dan Lea menggunakan waktu sendiri, yang artinya dia jam mengerjakan soal di mulai dari sekarang.
Lelaki itu menarik napas dalam-dalam dan mulai mengerjakan soal latihan.
*
"Ada kemajuan?" tanya Hani ke seluruh orang di dalam ruangan tersebut setelah istirahat bersama tadi.
Rina meringis. "Dikit."
"Tapi buat bahan seleksi keterampilan sama portofolionya, oke, 'kan?" Lea menimbrung.
"Oke banget! Aku udah latihan dan nyiapin portofolio juga!" Rina menjawab dengan semangat.
"Sugoi desu!" Tiga orang selain Hani tiba-tiba melongo mendengar ucapan aneh dari gadis itu.
"Artinya, 'keren'." Setelah Hani menjelaskan arti katanya, semua orang kemudian ber-oh ria. "Lea sama Kak Pandu gimana?"
Lea mengangkat tangannya, bermaksud untuk menjawab lebih dulu dan Hani mengiyakan.
"Aku ada perkembangan yang lumayan banyak buat Matematika sama Fisika, Kimia kayanya cuma berkembang sedikit, kalau Biologi yaaah …." Lia meringis dan melirik Pandu.
"Kenapa?" tanya Pandu.
"Kayanya masih stagnan dan jauh di bawah Kak Pandu." Lea melengkapi laporan belajarnya.
Setelah Lea selesai, Pandu pun menjawab dengn suara lemas dan pasrah kalau ia tidak merasakan adanya perkembangan yang signifikan.
"Sedikit juga enggak masalah," ucap Lea.
"Yah … Biologi? Sama Fisika mungkin, Kimia ada beberapa bab materi yang aku bingung harus ngapain, macam cari sisa reaksi dan kawan-kawannya sehabis itu."
Semua saling berpandangan dan mendesah pelan.
"Jujur, aku jadi ragu buat ikutan, tapi ini kesempatan terakhirku buat ikut tes kuliah jalur non-mandiri." Pandu membuka percakapan setelah hening beberapa detik, meski begitu, ucapannya justru mengantarkan mereka berempat ke keheningan lain.
"Ini udah seminggu …," ucap Lea. "Artinya udah berkurang seminggu juga waktu tunggu kita, dan aku pernah baca kalau masa depan seharusnya nggak perlu dirisaukan, bukan maksudku terus kita bisa leha-leha, ya. Kaya lebih ke … kita harus berusaha semampu kita sampai batas waktu tertentu, sampai 'masa depan' itu sendiri yang menhampiri kita dan menunjukkan kita hasilnya."
"Tapi," Pandu memotong, "justru karena nggak tahu soal masa depan lah yang bikin kita ragu dalam mengambil keputusan, dan pada akhirnya kita justri berhenti memutuskan, berhenti berusaha karena takut kalau di masa depan cuma ada kegagalan." Ia mengeratkan kepalan tangannya di bawah meja.
Itu aku.
"Ya makanya," Lea menggamit kepalan tangan Pandu yang memutih dan bergetar kecil, "kita harus bersiap-siap, menggunakan waktu yang kita punya sebaik mungkin. Kalau berhasil ya syukur, kalau gagal paling nggak ada sesuatu yang bisa kita petik–"
"Pengalaman." Kali ini Pandu mengatakan kata itu dengan nada penuh tekad, bukan dengan nada yang meremehkan seolah-olah ia muak disuguhi dengan motivasi-motivasi basi soal memetik pengalaman.
Bagaimana pun juga, Pandu juga kudu realis, setidaknya 'memetik pengalaman' bisa jadi suatu penghiburan dan mungkin, suatu catatan untuk berubah ke arah yang lebih baik.
Mungkin … pengalaman juga akan menjadi cara-cara Pandu untuk menemukan jalur putar balik lain dalam hidupnya? Jalur putar balik yang lebih nyaman untuk dilewati?
Lea mengeraskan genggaman tangannya, tapi alih-alih merasa kesakitan, Pandu justru bisa mengontrol emosinya dan mengendurkan remasan tangannya sendiri.
"Bener, ini terlalu cepet buat kita menyerah, Gengs!" Hani menepukkkan kedua telapak tangannya tiga kali. "Ayo semangat-semangat! Sampai rumah kita refreshing dulu, jangan sampai kita sendiri kelelahan dan berakhir kaya gini lagi. Kalau perlu nanti di akhir bulan bakal kita bikin sesi konseling kaya gini, gimana?"
"Ide bagus!" Rina menyambut.
Lea dan Pandu pun saling berpandangan dan tersenyum. Tanpa berucap, Lea mengerti bahwa Pandu mengucapkan terima kasih, dan Pandu mengerti bahwa Lea mengirimkan semangat untuknya.
Lalu, entah siapa yang memulai, mereka berdua sadar bahwa mereka telah menggamit tangan masing di bawah meja. Muka Pandu bersemu merah, ia segera menarik tangannya dan mengapitnya di antara kedua paha.
"Maaf," gumam Pandu.
Lea yang merasa tidak enak (dan mukanya juga memanas) juga mengalihkan pandangan tanpa menjawab apapun. Sementara Rina dan Hani sudah heboh dalam percakapan mereka masing-masing untuk mencairkan suasana.
"Ya udah, yuk balik ke pembahasan masing-masing, semoga hasil perkembangannya bener-bener sesuai perkiraan." Hani tertawa.
*
Waktu menunjukkan pukul setengah sembilan malam. Setelah merenggangkan punggung dan berkemas-kemas, bersama-sama mereka menata dan membersihkan ruangan sebelum akhirnya turun dan pulang ke rumah masing-masing.
"Duh, udah malem bener, ya?" tanya Pandu sambil mengecek jam di ponselnya.
"Ya kita emang selalu selesai jam segini." Lea menghampiri. "Kenapa emang?"
Pandu menarik sudut bibirnya ke salah satu arah. "Nggak, tadi mau ngajak stress reliever gitu."
"Ha?" Lea mengernyitkan dahi bingung.
"Stress reliever alias ngelusin kucing," jawab Pandu sambil melihat ke arah Lea dengan mata berkaca-kaca. Sedetik kemudian ia seperti tersadar oleh sesuatu dan mulutnya membentuk huruf O bulat.
"Hari Sabtu, sibuk nggak?" tanya Pandu.
"Mmm … nggak." Lea menjawab.
"Mumpung kita pulang jam setengah satu dan kelompok belajar mulai jam 3 sore, mau ikut aku nggak?" Pandu melanjutkan pertanyannya ke gadis yang berdiri di depannya sekarang.
"Hm? Ke mana? Mau kencan? Up–" Gadis di depannya itu buru-buru menutup mulutnya dengan kedua tangan sambil berharap kedua telapak tangannya cukup untuk menutupi rona pipinya yang semakin memerah.
Selama beberapa detik mereka saling pandang di depan motor, di bawah pohon karsen rimbun yang menaungi tempat diparkirnya motor yang mereka pakai. Setelah hanya suara deru motor yang berdesing di antara mereka, Pandu dan Lea justri tertawa bersama-sama, awalnya hanya kikikan kecil, lalu tertawa terbahak-bahak.
"Apa sih?" tanya Pandu di sela-sela kekehannya.
"Mbuh*." Lea tertawa terbahak-bahak. "Udah ngantuk terus capek ini tanda-tandanya."
"Bukan mau ngajak kencan," lanjut Pandu setelah tawanya mereda, "tapi mau ngajak ke pet shop-nya temenku, sekalian mungkin bisa ikut hunting kucing jalanan? Kalau waktunya cukup, sih."
"Kak Pandu suka kucing, ya?"
"Banget!" Pandu menjawab dengan antusias. "Kamu nggak masalah sama kucing, 'kan? Nggak ada alergi?"
Lea menggeleng. "Sama sekali nggak ada masalah, aku mau ikut!"
Setelah itu mereka keluar dari parkiran motor kafe, dan ikut berkendara dalam arus jalan raya Kota Kediri yang masih belum menyepi.
Tidak ada percakapan di antara Pandu dan Lea, Pandu sendiri memasang wajah tanpa ekspresi, sementara Lea hanya tersenyum tipis sebelum akhirnya menjatuhkan kepalanya ke punggung Pandu.
"Lea?"
"Hm?"
"Nggak ngantuk, 'kan? Jangan tidur, loh."
"Nggak, 'kan tadi udah ngopi. Btw boleh peluk?"
"Hmm …Ha? B-boleh," jawab Pandu, tergeragap.
Lea melingkarkan kedua tangannya memeluk pinggang Pandu. Sementara itu, Pandu sebisa mungkin menahan diri agar tetap stabil mempertahankan laju motornya di tengah rasa geli di dalam perut dan adanya drum band mendadak di dalam dada kirinya. Meski begitu, dipeluk begini rasanya nyaman.
"Ini masih seminggu pertama Kak Pandu belajar, dan juga, Kak Pandu jangan merasa terbebani dan merasa punya kewajiban buat menyamakan ritme belajar dengan kami bertiga, takutnya malah tambah stres. Jadi, kalau Kak Pandu butuh istirahat, bilang, ya? Aku bisa nemenin juga bahkan."
Pandu menggeleng. "Aku nggak mau ngerepotin dan motong jam belajar kamu, t-tapi," Salah satu tangannya melepas setir dan perlahan (dengan ragu-ragu) sampai telapak tangannya bisa menyentuh punggung tangan Lea yang berada di pinggangnya, "t'rims."
Lea sedikit terkejut saat ia merasakan punggung tangannya dipegang dan ditepuk-tepuk lembut, lalu ia kembali tersenyum.
"You're welcome," jawabnya.
Mereka mempertahankan posisi itu, saling memberikan kenyamanan saat membelah jalan raya, di bawah langit penuh bintang di atas sana.
*
Glosarium:
1. Mbuh: 'Nggak tahu
*
TAU GA SIH GENGS INI AKU YG NULIS TP AKU BAPER BANGET IH PENGIN NONJOK TEMBOK
GILAAA GIMANA MENURUT KELEN GENGS? AKU SIH EXCITED DAN PUAS BANGET TERNYATA BISA NULIS KAYA BEGINIAN????!#(#($($)
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro