21: Confessions
Sampai sejauh ini, pentas berjalan dengan sangat baik. Gerakan tarian yang telah dilatih berulang kali oleh Jihoon sebagai kepala tim tari berhasil dieksekusi dengan sempurna. Setiap langkah yang dilalui terasa seperti harmonisasi sempurna antara musik dan tubuh para penari. Penonton pun tak ragu memberikan tepuk tangan meriah usai setiap segmen selesai, seolah energi mereka terserap ke dalam pesona yang dipancarkan dari panggung.
Namun, suasana berubah begitu pentas memasuki adegan drama. Jalan cerita mulai membawa penonton ke dalam emosi yang lebih dalam. Adegan-adegan menyentuh hati membuat penonton terpaku, seakan mereka hanyut dalam alur cerita yang dimainkan dengan penuh penghayatan oleh para aktor.
Di belakang panggung, Shinyu dan Hana berdiri berdampingan, memantau dengan jantung yang berdebar. Mereka saling menggigit bibir bawah, tangan Hana bahkan tak sadar meremas ujung bajunya sendiri.
"Aku gak bisa tenang sampai akhir pentas ini," bisik Hana, suaranya tertahan.
Shinyu mengangguk pelan. "Sama. Aku cuma berharap semuanya tetap lancar."
Namun, ketegangan memuncak saat masuk ke adegan terakhir. Adegan yang mereka tahu akan menjadi puncak emosi drama ini—adegan di mana Dohoon harus melepas Soyeon pergi. Sesuai naskah, Soyeon yang diceritakan lulus sekolah harus meninggalkan kelas, sementara Dohoon, siswa yang lebih muda, hanya bisa memandangnya dengan berat hati.
Tapi, tiba-tiba, sesuatu terjadi di luar dugaan.
Dohoon melangkah mendekat, wajahnya menunjukkan emosi yang sangat dalam. Lalu, dia memanggil dengan suara yang menggema di seluruh auditorium. "Noona!"
Shinyu dan Hana terperanjat. Mata mereka melebar bersamaan, kepala mereka serentak menunduk ke naskah di tangan masing-masing. "Ini gak ada di skrip!" bisik Hana panik.
Namun, sebelum mereka sempat bereaksi, Dohoon melanjutkan dengan nada penuh keberanian. "Joahae!"
Penonton terdiam. Hening yang tercipta begitu mencekam, seakan semua orang di ruangan itu menahan napas bersamaan.
Di belakang panggung, Shinyu hanya bisa menepuk keningnya, wajahnya antara frustrasi dan takjub. "Kim Do-- Dohoon.. Jyae mworaneungeoya?" gumamnya. (Apa yang dia lakukan?)
Hana menggeleng pelan, bingung. Tapi Hana juga melihat Dohoon kagum. "Tapi... keberaniannya itu, patut diacungi jempol."
Di panggung, Soyeon membeku. Mata gadis itu membesar, menatap Dohoon dengan kebingungan yang jelas terlihat. Adegan yang seharusnya berakhir dengan kepergian Soyeon malah berubah menjadi improvisasi spontan.
Tirai merah akhirnya ditutup perlahan, mengakhiri pentas dengan aura yang penuh pertanyaan dan kejutan. Di antara penonton, bisikan-bisikan mulai terdengar, membahas apa yang baru saja terjadi. Beberapa bertanya tentang akhir cerita yang tiba-tiba, sementara yang lain memberikan tepuk tangan meriah atas keberanian Dohoon.
Di balik tirai, suasana sama kacaunya. Anggota tim teater saling bertukar pandang, bingung dengan apa yang baru saja terjadi. Tapi di tengah keributan itu, Dohoon hanya punya satu fokus—Soyeon.
Dia melangkah mendekat, melewati rekan-rekan yang sibuk membereskan properti panggung. Wajahnya sedikit merah, campuran dari rasa gugup dan adrenalin yang masih mengalir. Saat akhirnya ia berdiri di depan Soyeon, gadis itu menatapnya dengan alis terangkat, masih bingung dengan adegan terakhir yang tak ada dalam naskah.
"Dohoon-ah, apa-apaan tadi?" tanya Soyeon, suaranya rendah agar tidak menarik perhatian yang lain.
Dohoon menelan ludah, mengatur napasnya sebelum berbicara. "Noona... aku harus jujur sekarang, sebelum aku kehilangan kesempatan."
Soyeon memiringkan kepalanya, bingung dengan nada serius yang tak biasa dari pemuda itu. "Apa maksudmu?"
Dohoon mengangkat matanya, menatap langsung ke arah Soyeon. "Aku menyukaimu, Noona. Dari awal aku masuk klub teater, aku sudah menyukaimu. Anida. Sebenarnya aku masuk klub teater biar bisa lebih mengenalmu."
Kata-kata itu membuat Soyeon tertegun. Matanya membesar, mulutnya sedikit terbuka, tak tahu harus merespons bagaimana.
"Bahkan sebelum aku masuk klub teater," lanjut Dohoon, "Aku sudah menyukaimu sejak aku melihatmu bermain basket di pertandingan sekolah waktu itu. Kau kelihatan keren sekali, dan sejak saat itu aku tidak bisa berhenti memperhatikanmu."
Soyeon terdiam, hatinya berdebar lebih cepat dari biasanya. Namun, sebelum ia sempat menjawab, suara Shinyu memecah momen itu.
"Yoo Soyeon! Kim Dohoon! Ayo ke depan, kita harus pamit pada penonton!" teriak Shinyu dari arah panggung.
Soyeon mengerjapkan mata, menoleh ke arah suara itu. "Aku... kita harus pergi dulu," katanya terbata-bata, mencoba menghindari tatapan Dohoon yang terus terpaku padanya.
Dohoon tersenyum tipis, meskipun kecewa momen itu harus terhenti. "Aku hanya ingin kau tahu, Noona," katanya pelan sebelum melangkah mundur. "Dan aku tidak menyesal sudah mengatakannya."
Soyeon hanya bisa menatapnya dalam diam sebelum akhirnya berbalik, melangkah menuju panggung untuk memberikan salam penutup bersama yang lain. Namun, kata-kata Dohoon terus terngiang di kepalanya, membuatnya sulit untuk fokus pada apa yang terjadi selanjutnya.
***
Segera setelah salam penutup diberikan dan dipersilahkan semua orang untuk turun dari panggung, Dohoon segera menarik tangan Soyeon.
Walaupun begitu, Dohoon menarik tangan Soyeon dengan tegas namun lembut, membawanya keluar dari kerumunan tim teater. Langkah kakinya cepat, tapi penuh keyakinan. "Ikut aku sebentar," katanya singkat. Soyeon hanya mengangguk bingung, membiarkan dirinya dibawa ke ruang dance yang kosong. Dohoon sudah memastikan ruangan itu aman setelah meminta izin kepada Jihoon sebelumnya.
Begitu pintu tertutup, Dohoon menghela napas panjang. Wajahnya yang biasanya penuh canda kini serius, penuh emosi. "Noona," panggilnya, suaranya terdengar dalam dan mantap. Soyeon menatapnya dengan alis berkerut, bingung dengan situasi yang baru saja terjadi di panggung.
"Kau... hanya bercanda, kan?" tanya Soyeon pelan, mencoba membaca ekspresi Dohoon.
Dohoon menggeleng tegas. "Aniya. Jinsimiya. Aku sudah menyukaimu sejak lama, Noona. Bahkan sebelum kau masuk klub teater, saat kau masih bermain basket. Aku menyukai caramu berjuang, caramu tersenyum setiap kali berhasil mencetak skor."
Soyeon membelalakkan matanya. Kata-kata Dohoon seperti angin yang menghempas hatinya. Namun, ia tetap berusaha menahan diri. "Tapi... kita... Aku akan sibuk dengan kuliah, dan kau dengan sekolahmu. Kita tidak akan punya banyak waktu untuk bertemu."
Dohoon tersenyum mendengar kata-kata Soyeon. Karna itu artinya Soyeon mempunyai perasaan yang sama dengannya sampai bisa berpikir seperti itu. "Jadi kita berpacaran ya?" ujar Dohoon yang lalu langsung menarik Soyeon ke dalam pelukannya, memeluknya erat hingga Soyeon menahan napasnya saking terkejutnya. "Aku benar-benar senang sekali! Aku akan mengusahakan untuk menyisihkan waktu untuk bertemu! Yaksokhalge!"
Soyeon tertegun. Ada kehangatan dalam pelukan Dohoon yang membuatnya merasa tenang. Perlahan, ia mengangkat tangannya, membalas pelukan itu dengan erat. "Aku percaya padamu," gumamnya pelan.
***
Seperti yang sudah Kyungmin katakan pada Nari sebelumnya, mereka akan bicara setelah pentas usai. Tapi ingin bicara dengan Nari seakan sulit sekali. Karna Kyungmin diajak bicara oleh orang terus. Semua saling memberikan selamat dan terimakasih.
Setelah berhasil keluar dari balik panggung itu, akhirnya Kyungmin bisa menemukan Nari yang sedang duduk sendirian di depan ruang rias.
Di depan ruang rias, Nari duduk sendirian, memainkan ujung gaunnya dengan gelisah. Ia sudah menunggu cukup lama, tapi Kyungmin selalu dikelilingi banyak orang. Tepukan di pundaknya membuatnya tersentak.
"Kau menungguku di sini?" tanya Kyungmin, duduk di sampingnya. Wajahnya tampak sedikit lelah, tapi senyumnya tetap hangat.
Nari mengangguk pelan. "Iya. Kau terlihat sibuk, jadi aku tidak ingin mengganggu."
Kyungmin menghela napas, menatap Nari dengan mata yang penuh arti. "Seharusnya kau memanggilku. Aku tidak mau membuat orang yang kusukai menunggu."
Kata-kata itu membuat Nari membeku. Otaknya butuh beberapa detik untuk memproses, dan ketika ia akhirnya sadar, matanya membelalak kaget. "Lee Kyungmin... Apa maksudmu?"
Kyungmin tersenyum lebih lebar. "Aku juga menyukaimu, Joo Nari."
"Eh? Kau tahu kalau aku menyukaimu?" balas Nari, suaranya sedikit naik. Pipinya sudah memerah, dan ia memandang Kyungmin dengan tatapan tak percaya.
Kyungmin mengangguk santai. "Eonni-mu memberitahu Shinyu hyung, dan dia memberitahuku."
Nari menutup wajahnya dengan kedua tangan, antara malu dan kesal pada Joo Harin, kakaknya. Namun, rasa malu itu tak bertahan lama karena Kyungmin menambahkan dengan suara lembut, "Jadi... karna kita saling suka, apakah kau keberatan kalau kita pacaran?"
Nari menurunkan tangannya perlahan, menatap Kyungmin dengan mata berbinar. "Tentu saja aku mau."
Kyungmin tampak sedikit terkejut dengan jawaban cepat itu, tapi ia tersenyum lega. "Tapi... ini hubungan pertamaku. Aku mungkin akan banyak tidak tahunya tentang pacaran. Kau mungkin akan kecewa—"
"Gwaenchanha," potong Nari, memberanikan diri menggenggam tangan Kyungmin. "Aku juga tidak terlalu mengerti tentang bagaimana orang berpacaran. Tapi kita bisa belajar bersama, kan? Tak perlu khawatir."
Kata-kata itu membuat Kyungmin tersentuh. Ia ingin memeluk Nari saat itu juga, tapi suara Shinyu memanggil mereka untuk berkumpul. Dengan enggan, Kyungmin berdiri, tetapi ia menggenggam tangan Nari erat, memastikan bahwa perasaan mereka tersampaikan tanpa kata-kata lagi.
[TBC]
---------------------
16 Januari 2025
sejujurnya kayaknya ini adalah part terpanjang dari semua chapter KWKWKWK
dan sudah selesai ges:) tinggal epilognya aja wkwkwkwk sejauh ini, kalian suka ceritanya siapa?? dan berharap cerita siapa yang lebih panjang untuk diceritakan lagi? lemme know yaa, siapa tau aku pas lagi rajin bisa kubuatkan lagi ehehehe
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro