Chào các bạn! Vì nhiều lý do từ nay Truyen2U chính thức đổi tên là Truyen247.Pro. Mong các bạn tiếp tục ủng hộ truy cập tên miền mới này nhé! Mãi yêu... ♥

18: Little Spark

Soyeon menghembuskan napas panjang untuk kesekian kalinya. Duduk di meja belajarnya, dia terus menatap buku skenario yang terbuka di depannya. Festival sekolah akan dimulai besok, dan dia harus tampil di depan banyak orang. Pikiran itu saja sudah cukup membuat hatinya bergemuruh.

"Kenapa aku segugup ini?" gumamnya sambil meminum susu hangat yang diberikan mamanya. Namun, bahkan susu hangat pun tidak mampu menenangkan rasa cemasnya. Dia mencoba mengalihkan perhatian dengan membuka kembali buku skenarionya, tetapi ponselnya tiba-tiba bergetar.

Nama Dohoon muncul di layar.

"Kenapa dia menelepon malam-malam begini?" pikir Soyeon.

Sambil menekan tombol jawab, Soyeon menjawab, "Halo?"

"Apa ini? Aku salah sambung nih," suara Dohoon terdengar di seberang.

"Hah? Salah sambung?" Soyeon mengernyit. Perasaan yang semula senang mendengar suara Dohoon langsung merosot. "Kalau begitu, aku matikan saja, ya."

"Ani, ani, ani! Jangan dimatikan! Aku hanya bercanda!" Suara Dohoon terdengar sedikit panik, membuat Soyeon terkekeh kecil. "Kau marah ya? Maaf, aku cuma bercanda. Kalau kau mau aku melakukan sesuatu, bilang saja. Akan kulakukan."

"Aku tidak marah kok. Santai saja. Tapi, ada apa menelepon malam-malam begini?"

"Ah, benar juga. Noona, tolong keluar ke pekarangan rumahmu sebentar. Aku ada di depan rumahmu."

Soyeon langsung terkejut. Dia berdiri dari kursinya, berlari ke jendela kamarnya, dan mengintip keluar. Benar saja, Dohoon ada di sana, berdiri sambil melambaikan tangan dengan senyum lebarnya.

"Tunggu sebentar," katanya cepat sebelum menutup telepon. Tanpa pikir panjang, Soyeon berlari turun dari kamarnya, membuka pintu depan, dan mendapati Dohoon yang masih berdiri di sana.

"Ada apa datang malam-malam begini?" tanyanya, napasnya sedikit tersengal.

Dohoon masih dengan senyumnya yang manis, mengulurkan sebuah kotak kecil ke arahnya. "Ini cheesecake. Makanlah. Setelah itu sikat gigi dan tidur. Kau harus cukup tidur, Noona. Jangan gugup."

Soyeon menerima kotak itu, hatinya terasa hangat. "Bagaimana kau tahu kalau aku tidak bisa tidur karena gugup?"

"Awal aku bertanding basket juga begitu. Malam sebelumnya aku takut membuat kesalahan. Jadi, aku bisa menebak kau merasakan hal yang sama. Geokjeongma, Noona. Kau pasti akan tampil bagus besok. Ingat apa yang kukatakan saat latihan, oke?"

Soyeon mengangguk pelan, perasaan gelisahnya mulai mereda. Bagaimana dia bisa tidak menyukai Dohoon? Dia terlalu manis untuk diabaikan.

"Kau juga harus istirahat yang cukup, ya," kata Soyeon lembut.

Dohoon mengangguk. "Sudah, masuklah. Sampai besok, Noona. Jalja."

Soyeon tersenyum, "Jalja, Dohoon-ah."

***

Pagi-pagi, Hanjin sudah berdiri di depan rumah Aeri, menunggu gadis itu keluar. Sejak Hanjin mengungkapkan perasaannya beberapa hari yang lalu, Aeri terlihat menghindarinya. Dia tidak berbicara banyak, bahkan sengaja menjauh setiap kali Hanjin mendekat.

Aeri keluar dari rumahnya dengan jaket tipis melindungi tubuhnya dari udara pagi. Matanya membelalak kecil saat melihat Hanjin berdiri di sana. "Hanjin? Kau sedang apa di sini sepagi ini?" tanyanya bingung, sambil sibuk mengunci pintu rumah.

Hanjin mendorong tubuhnya dari tembok, mendekati Aeri dengan langkah pelan. "Aku menunggumu," jawabnya singkat, senyum kecil muncul di bibirnya.

Aeri berhenti sejenak, menatap Hanjin dengan ragu. "Menungguku? Untuk apa?" Nada suaranya datar, meskipun di dalam hatinya, jantungnya berdetak lebih cepat dari biasanya.

Hanjin memperhatikan wajah Aeri dengan seksama, lalu bertanya langsung, "Kau menghindariku, ya?"

Pertanyaan itu membuat Aeri terdiam. Matanya menghindari pandangan Hanjin, berusaha tetap terlihat tenang. "Aku? Tidak kok."

Hanjin mengangkat alis. "Geojitmal," ujarnya tegas, namun tetap lembut. "Aku tahu kau menghindariku. Bahkan sekarang kau tidak mau melihatku saat menjawab."

Ketahuan. Aeri menggigit bibir bawahnya pelan, tahu bahwa kebohongannya tidak akan berhasil di depan Hanjin. "Baiklah," ia mengakui, suaranya hampir seperti bisikan. "Aku memang sedikit menghindarimu."

Hanjin menghela napas ringan, meskipun hatinya terasa sedikit lega karena Aeri akhirnya jujur. "Wae?" tanyanya. "Karena aku bilang ingin berpacaran denganmu?"

Aeri mengangguk pelan, tanpa berani menatap Hanjin. "Eo..." Ia menjawab lirih, perasaan campur aduk memenuhi pikirannya. Dia menyukai Hanjin, tapi rasa takut membuatnya ragu. Bagaimana jika Hanjin hanya menganggapnya main-main? Bagaimana jika hubungan mereka nanti berakhir buruk? Banyak pikiran mengganggunya sejak Hanjin menyatakan perasaan.

Hanjin menatap Aeri yang terlihat canggung di depannya. Perlahan, dia memanggil, "Lim Aeri..." Suaranya lembut, hampir seperti bisikan, namun cukup kuat untuk membuat Aeri mendongak dan menatapnya.

Mata mereka bertemu, dan Hanjin melanjutkan, "Aku benar-benar serius saat mengatakan aku punya perasaan padamu."

Aeri mencoba membaca ekspresi wajah Hanjin. Tidak ada tanda-tanda dia sedang bercanda atau main-main. "Kau tidak salah?" tanyanya ragu. "Mungkin perasaanmu padaku sama dengan perasaanmu terhadap teman-teman lainnya?"

Hanjin menggeleng tegas. "Tidak. Perasaanku padamu berbeda. Aku tidak pernah merasa seperti ini pada teman-teman yang lain." Ia menatap mata Aeri dalam-dalam, berharap gadis itu percaya pada ketulusannya. "Dan aku juga tidak memaksamu untuk memberikan jawaban sekarang. Aku hanya ingin satu hal."

"Apa itu?" Aeri bertanya pelan, suaranya masih penuh keraguan.

"Jangan menghindariku," jawab Hanjin lembut namun penuh ketegasan. "Aku tidak ingin kehilanganmu, meskipun hanya sebagai teman."

Aeri menggigit bibir bawahnya lagi, hatinya bergemuruh mendengar kata-kata Hanjin. Lelaki di depannya ini selalu berhasil membuatnya merasa istimewa, membuatnya percaya diri, meski saat ini dia masih diliputi keraguan. Tapi... bagaimana jika dia memberanikan diri untuk mencoba?

"Hanjin-ah," panggil Aeri akhirnya, setelah keheningan yang terasa begitu panjang. Ia mengangkat pandangannya, menatap Hanjin dengan tatapan penuh tekad. "Uri... sagwija. Nado neo joha."

Hanjin terpaku sesaat, tidak percaya dengan apa yang baru saja didengarnya. Matanya membulat, dan senyum perlahan muncul di wajahnya. "Jinjja? Geureom oneulbuteo uri sagwineun geoda?" tanyanya dengan antusias, seperti anak kecil yang baru saja mendapatkan hadiah.

Aeri tersenyum kecil, tidak bisa menahan diri melihat wajah bahagia Hanjin. Dia mengangguk pelan sebagai jawaban. "Eo... mulai hari ini."

Senyum Hanjin semakin lebar. Tanpa pikir panjang, dia mengulurkan tangannya dan menggenggam tangan Aeri dengan lembut. "Aku janji tidak akan membuatmu sedih, Aeri-ya. Terima kasih karena mau memberi kesempatan."

Aeri merasa pipinya memanas mendengar kata-kata Hanjin. "Jangan terlalu percaya diri dulu," jawabnya, mencoba terdengar santai meskipun hatinya melompat-lompat. Tapi genggaman tangan Hanjin membuatnya merasa nyaman, membuat semua keraguan perlahan sirna.

Hanjin tertawa kecil. "Kalau begitu, sebagai pacar barumu, aku akan mengantar kau ke sekolah hari ini. Setuju?"

Aeri pura-pura mendesah, namun tidak bisa menyembunyikan senyum kecil di wajahnya. "Baiklah... tapi jangan lupa, kita harus tetap hati-hati di sekolah. Aku tidak mau semua orang langsung tahu."

"Arasseo," jawab Hanjin sambil mengangguk. "Tapi aku tidak janji kalau aku bisa berhenti tersenyum sepanjang hari."

Aeri tertawa pelan, merasa hatinya lebih ringan daripada sebelumnya. Mungkin, menjalani hubungan ini tidak akan seburuk yang ia bayangkan. Dengan Hanjin di sisinya, dia merasa semuanya akan baik-baik saja.

[TBC]

-----------

10 Januari 2025

NEW CHAPTER YEYYYYY. uda menuju akhir ges:) tinggal beberapa chapter lagi wkwkwk

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro