🍂| two wife :: XVIII
Play: Davichi - sunset
Dahyun memandangi busa yang memenuhi seluruh tubuhnya itu dengan pandangan kosong. Kedua tangannya memeluk tubuhnya sendiri seraya menekuk kedua kakinya. Air di dalam bathub-nya sudah semakin dingin, tapi Dahyun sama sekali tidak dapat merasakannya. Ada begitu banyak hal dalam benaknya saat ini. Akan tetapi, sesuatu dalam dirinya seolah berontak. Melihat Tzuyu yang menangkap basah dirinya dan Jungkook tadi pagi membuatnya senang, namun di satu sisi, ia juga merasa hina. Apalagi, perkataan Jimin saat di mobil tadi begitu menamparnya.
"Kau sudah melewati batas, sebaiknya kau menghentikan rencanamu sebelum semuanya terlambat. Wanita yang baik adalah wanita yang menghargai wanita lain jadi ... berhentilah. Kumohon."
Dahyun memejamkan matanya. Ia menenggelamkan kepalanya dalam bathub dengan mata memejam. Harum semerbak dari sabun semakin memenuhi kamar mandi itu. Sebenarnya, Dahyun bukan tipikal orang yang gampang mempercayai sesuatu, apalagi takhayul yang dikatakan wanita tua itu.
Tapi ia takut. Takut jika perkataan nenek itu menjadi kenyataan. Well, ia tahu kalau umur dan nasib itu telah ditentukan oleh yang maha kuasa tapi-apa ia terdengar serakah jika ingin merasakan sedikit kebahagiaan dalam hidupnya? Dahyun tidak mau terus dihantui rasa takut karena ia selalu merasa ada orang yang tengah mengintainya.
"Aisshh ... aku sudah muak dengan semua ini."
Tzuyu melamun. Sekembalinya ia ke butik, wanita itu hanya mengetuk-ngetuk pulpennya pada meja dengan pandangan kosong. Walaupun Jungkook telah membujuknya dengan segala cara, nyatanya rasa sakit itu masih terasa. Ingatan saat ia memergoki suaminya sendiri yang tengah tidur dengan wanita lain itu masih terbayang sangat jelas. Membuat rasa sakit dalam benaknya semakin menjadi. Andai saja hati bisa berbicara, mungkin saat ini hatinya tengah meraung duka. Benar-benar sakit.
Kenyataan bahwa dirinya tidak bisa mengandung semakin menamparnya. Apa ia bisa mempercayai perkataan Jungkook? apa lelaki itu bisa dipercaya? Tzuyu tidak yakin namun rasanya lebih sulit untuk melepaskan Jungkook. Wanita itu sudah tidak punya siapapun, ia sama sekali tidak memiliki tempat untuk bersandar selain Jungkook.
Seseorang masuk ke dalam ruangannya. Lelaki itu sudah mengetuk pintu lebih dulu, namun Tzuyu masih tak bergeming dari tempatnya, membuat Taehyung berinisiatif untuk menghampirinya. "Tzuyu-ssi, apa kau memiliki waktu untuk ... Tzuyu-ssi? Kau mendengarku?" Taehyung mengibas-ngibaskan tangannya di depan wajah Tzuyu, membuat wanita itu tersadar dari lamunannya.
"Ah, iya? sejak kapan kau ada di sini?" Tzuyu balik bertanya, sementara Taehyung menghela napas kasar. Lelaki itu medudukan dirinya pada kursi seraya memandangnya serius.
"Apa ada sesuatu yang terjadi? Tadinya aku datang kemari untuk menanyakan soal perkembangan bajuku untuk pemotretan minggu depan tapi sepertinya ini bukan saat yang tepat jadi anggap saja aku temanmu saat ini." Taehyung menumpu dagunya dengan sebelah tangan. "Katakan, apa yang sedang kau cemaskan? Siapa tahu aku bisa membantu," lanjutnya.
Tzuyu tersenyum, ia sangat menghargai tawaran lelaki itu namun ia segera menggeleng. "Aniya, tidak ada. Kau sendiri bagaimana? Sepertinya jadwalmu tidak terlalu padat ya hingga bisa menyempatkan waktu dan datang langsung kemari." Wanita itu mengalihkan topik, jelas saja ia tidak bisa menceritakan masalahnya pada Taehyung. Terlalu privasi dan mereka tidak terlalu dekat.
Taehyung menghela napas panjang. Lelaki itu kembali menyandarkan tubuhnya pada kursi, "Baiklah kalau kau tidak mau menceritakan apapun, setidaknya perbaiki raut wajahmu itu supaya tidak membuat orang lain khawatir." Tzuyu hanya menanggapinya dengan senyum tipis. Lelaki itu melanjutkan, "Apa suamimu memang tidak sering kemari? Aku belum pernah melihatnya di sini."
Tzuyu terdiam sesaat. Rasa sakit itu kembali muncul setiap mengingat Jungkook namun sebisa mungkin ia mengatur raut wajahnya untuk tetap tenang. "Ya, suamiku itu sangat sibuk," ujarnya singkat. Wanita itu berdiri seraya menunjukan design yang telah direvisi pada Taehyung.
"Ini design yang terbaru, bagian bahu dan panjang lengannya telah dicocokan sesuai ukuranmu. Warnanya juga sudah disesuaikan dengan konsep," jelasnya. Tzuyu memilih untuk mengalihkan topik, tetap profesional dan fokus pda pekerjaannya.
Taehyung mengamati gambar itu dengan serius. Tangannya mengusap dagu sementara kepalanya beberapa kali mengangguk samar. "Aku suka. Kapan kira-kira baju ini bisa selesai?"
"Bagian dasarnya sudah dirangkai. Mungkin lusa, kau sudah bisa mencobanya."
"Baiklah." Taehyung menutup ipad itu lantas kembali menatap ke arah Tzuyu. "Sekarang sudah waktunya makan siang, mau makan bersama?" tawarnya. Tzuyu sudah akan menolak namun Taehyung kembali menyahut, "Tolong jangan buat aku menawarimu dua kali."
Tzuyu menghela napas dan pada akhirnya ia mengangguk. Baiklah, sepertinya ia juga butuh penyegaran supaya bisa melupakan bayangan menyedihkan itu walaupun hanya sesaat. Dan lagi-lagi, Taehyung selalu datang di saat ia membutuhkan seseorang untuk keluar dari labirin menyakitkan ini.
Suara decapan lidah itu semakin terdengar jelas ketika sampai di ruang tengah penthouse itu. Kedua tangan Dahyun memegang erat kemeja Jimin sementara lelaki itu semakin memperdalam ciumannya. Dahyun mendongak, membiarkan Jimin menyentuhnya semakin jauh. Menghapus jejak yang telah Jungkook tinggalkan di seluruh tubuhnya dua hari yang lalu.
Walaupun bekasnya sudah tidak terlalu terlihat, namun manik Jimin begitu jeli hingga bisa melihat rona keunguan samar di ceruk leher Dahyun. Lelaki itu terdiam sesaat sebelum menjauhkan kepalanya dari leher Dahyun. Beberapa kancing bagian atas baju Dahyun telah terbuka hingga menampilkan branya dan sesuatu dalam diri Jimin semakin nyeri saat melihat beberapa titik rona itu juga terlihat di dada Dahyun.
"Dahyun-ah, apa dua hari yang lalu ... saat aku menjemputmu di perusahaan Jungkook. Kau ... melakukannya dengan Jungkook?" tanyanya. Dahyun yang semula memejamkan matanya langsung membuka maniknya perlahan dan mendapati tatapan tajam Jimin yang mengarah langsung padanya.
"Jawab aku, Kim Dahyun." Nada suara Jimin semakin tinggi. "Kalian melakukannya?"
"Jimin-ah, aku sudah punya rencana-"
"Rencana apa lagi? Kau ingin mengandung anak Jungkook supaya lelaki itu memohon-mohon padamu untuk memberikan anak itu padanya?" terka Jimin. Tak lama, Dahyun mengangguk pelan mambuat kedua tangan lelaki itu mengepal.
Jimin tersenyum miris, "Jadi ... waktu itu kau bukan hanya bermalam tapi tidur juga bersamanya?"
Dahyun kembali mengangguk, "Aku tidak punya pilihan lain. Aku harus mematahkan kutukan-"
"Kutukan! Kutukan! Sampai kapan kau akan membahas itu?!" Jimin meledak, wajahnya bahkan sampai memerah dengan uratnya yang menegang. "Ya! Setiap makhluk hidup pasti akan mati. Bukan hanya kau, aku pun suatu saat nanti akan mati tapi kau kenapa harus melakukan itu semua hanya untuk-"
"Kau tahu apa?"
Jimin terhenyak saat Dahyun memotong perkataannya seraya menatapnya dingin. "Apa kau tahu rasanya hidup tidak tenang dan merasa kosong walaupun sudah mencoba berbagai cara untuk tetap bertahan hidup? Hidup bagaikan berada di dalam cangkang yang kosong, kau pernah merasakannya?"
Air mata Dahyun mengalir, menyusuri pipinya hingga basah. Wanita itu sudah benar-benar putus asa. Ingin mengakhiri hidupnya namun ia tidak mau mati. Setidaknya tidak mati dalam keadaan seperti ini.
Jimin menghela napas. Rasanya sangat sakit melihat Dahyun menangis dihadapannya seperti ini, namun ia tidak bisa terus-terusan mengalah. Tiga tahun sudah lelaki itu habiskan untuk selalu menemani wanita ini, namun ia merasa semua usahanya sia-sia. Dahyun tetap tidak pernah membuka hatinya untuknya.
"Dahyun-ah ... kau tahu, bukan hanya kau yang merasa seperti itu. Aku juga merasakannya. Kau ... aku ingin bertanya apakah kau pernah merasa berdebar saat berada di dekatku?" tanyanya dengan manik berkaca-kaca.
Dahyun terdiam, air matanya kembali keluar tanpa dapat dicegah. Wanita itu semakin terpekur saat tak merasakan getaran apapun ketika Jimin menatapnya sedekat ini. "Ji ... Jimin-ah ... aku-"
"Sekali saja, tidak pernah?"
"Mi ... mianhe. Aku-"
"Wah ... jinjja." Jimin memalingkan wajahnya seraya menghela napas kecewa. Lelaki itu mendengus tak percaya sementara air matanya sudah tak terbendung. Kenyataan itu lebih menyakitkan dari apapun. "Setelah yang aku lakukan padamu selama ini, kau sama sekali tidak pernah ... shit! Apa itu mungkin? Kau sama sekali ... arrgghh! Menyebalkan. Kenapa aku baru sadar sekarang?"
"Jimin-ah aku ..."
"Sejak awal kau melakukannya dengan Jungkook! bahkan saat lelaki itu memerkosamu dalam keadaan mabuk, kau sama sekali tidak pernah mengungkitnya lagi hingga sekarang. Dan aku ... apa aku hanya dijadikan pelampiasan saja?"
"Ani, Jimin-ah-"
"Bahkan saat aku ingin melakukannya, kau tidak pernah memperbolehkanku untuk meninggalkan tanda dan harus memakai pengaman tapi Jungkook-shit! Semakin dipikirkan semakin menyebalkan." Jimin mengerang. Lelaki itu meraih bahu Dahyun, kedua tangannya memegang bahu Dahyun dengan erat membuat wanita itu meringis.
"Apa selama waktu tiga tahun itu ... sama sekali tidak berarti apapun bagimu? Apa ... apa selama ini aku hanya mengharapkan harapan kosong saja? jawab aku Kim Dahyun!" bentak Jimin putus asa sementara Dahyun sudah menangis.
Lelaki itu menjatuhkan kepalanya di bahu Dahyun. Air matanya masih terus keluar sementara rasa sesak itu terasa semakin mencekik tenggorokannya. "Dahyun-ah ... aku sudah lelah. Aku ... tidak bisa terus seperti ini. Ini ... menyakitkan dan menyebalkan diwaktu yang bersamaan." Dahyun memejamkan matanya. Hatinya terasa teriris melihat Jimin yang kacau seperti ini.
"Memangnya, apa yang Jungkook miliki namun tidak kumiliki? Tampan? Kaya? Muda? Pintar? Aku juga memiliki semua itu tapi kenapa-haisshh, ini terlalu menyiksa."
"Jimin-ah ... kau jauh lebih baik daripada Jungkook," lirih Dahyun membuat Jimin kembali mengangkat kepalanya dan menatapnya. "Kalau begitu kenapa kau melakukan ini padaku? kenapa kau tidak mencintaiku setelah apa yang kulakukan padamu selama ini?"
"Jimin-ah, aku sudah bilang kan kalau hatiku sudah mati-"
"Bohong! Kau berbohong!" bentak Jimin tepat di depan wajah Dahyun. Lelaki itu menggeleng seraya menatap Dahyun tidak percaya. "Kau masih belum bisa melupakannya dan lagi, tidak ada wanita bodoh yang merelakan keperawanan dan membiarkan benih suami orang lain tumbuh dalam dirinya. Tidak ada, kau hanya terlalu naif untuk mengakuinya."
Jimin segera menyambar kemejanya, lantas mengenakannya lagi seraya beranjak dari sofa itu. Tanpa mengucapkan sepatah kata perpisahan, lelaki itu ke luar dari penthouse, meninggalkan Dahyun dengan segala penyesalannya.
Wanita itu hanya bisa terdiam dengan pandangan kosong. Isakan tangisnya tidak terdengar namun air matanya terus mengalir. Andai saja ia tahu kalau malam itu adalah kali terakhir ia bertemu dengan Jimin, mungkin ia tidak akan membiarkan lelaki itu pergi. Mungkin ia akan berlari dan memeluk tubuhnya dari belakang seraya berkata, "Kumohon, jangan tinggalkan aku."
Namun semua itu hanya ada dalam bayangannya. Dahyun sendiri tidak tahu, kenapa ia merasa begitu sakit saat melihat Jimin pergi, tapi disatu sisi ia juga tak mau menghentikan semua rencana yang telah ia susun sejak lama.
"Mianhe, Park Jimin."
Sudah lama ya aku gk up cerita ini 😢 kangen gk? Hehe
Tpi kabar baiknya, mulai sekarang aku bakal prioritasin cerita ini dulu sampai tamat, baru lanjut cerita lain. So, kalian gk bakal nunggu lama lagi
Oh ya, jujur, di part ini aku nangis 😭🤣 entah apa feelnya nyampe ke kalian atau engga, yg jelas aku ikut ngerasain sakitnya jadi jimin disini 😢
Jk belum muncul lagi ya, enaknya diapain dia? Wkwk
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro