🍂| two wife :: XII
Play: In My Heart - Lim Yeon
Ost Flower of Evil
“Kecuali kalau oppa menikahi wanita lain, mungkin keinginan ibu akan terwujud."
Perkataan Tzuyu barusan kontan membuat Jungkook langsung menatapnya tajam. "Apa maksudmu? Bagaimana bisa aku melakukannya?"
Tzuyu menggigit bibir bawahnya gamang. Tentu, ada rasa tak rela dalam dirinya, tapi ia tak bisa egois meminta lelaki itu untuk tetep setia disisinya sementara ia tidak bisa memenuhi keinginan mertuanya.
“Ya … pilihanya hanya ada dua. Oppa bilang pada ibu terkait keadaanku supaya dia mau menunggu lebih sabar untuk mendapatkan cucu setelah aku melakukan operasi atau … oppa bisa menceraikan aku dan mencari wanita lain yang bisa mengabulkan keinginan ibu untuk memiliki cucu tahun ini.”
“Kau sudah gila!” Jungkook bangkit dari ranjangnya seraya memijat pelipisnya yang berdenyut. “Aku tidak bisa melakukannya!”
“Pilihan pertama pun, oppa tidak bisa melakukannya? apa sesusah itu memberitahu ibu terkait keadaanku?” Tzuyu menahan air matanya yang lagi-lagi mendesak ingin keluar. “Aku sudah benar-benar lelah oppa, aku sangat tertekan dengan semua ini.”
“Bukan hanya kau! Aku juga sangat tertekan!” Jungkook memunggungi Tzuyu yang kini menatapnya miris. Walau sudah tiga tahun berlalu, tapi Tzuyu sepertinya tidak begitu paham dengan jalan pikiran Jungkook. Cinta yang mereka agung-agungkan sejak dulu rasanya semakin terkikis seiring berjalannya waktu.
“Aku … aku tidak bisa memberitahu ibu terkait kondisimu karena tidak ingin kau semakin dibenci oleh ibu. Tidak ingin.” Jungkook menundukan kepalanya, ia merasa beban yang dipikulnya semakin lama semakin bertambah berat saja. “Apalagi … ibu bilang kalau aku hanya akan mendapat warisan dari ayah jika kita bisa memberinya cucu dalam satu tahun. Waktunya tidak akan cukup kalau menunggu kau selesai operasi.” Jungkook sebenarnya tidak ingin mengatakan ini, tapi ia juga sama frustasinya. Apalagi saham perusahaan semakin menurun, bagaimana bisa ia hidup jika terus seperti ini.
“Geureso, apa yang akan oppa lakukan?” Jungkook menoleh, mendapati Tzuyu yang menatapnya dengan mata yang sembab karena air mata. Wanita itu langsung menepisnya kasar, tidak mau terlihat menyedihkan walau hatinya telah hancur.
“Entahlah … apa kita harus kabur dan meninggalkan segalanya yang ada di sini?”
“Ani … kau harus memilih salah satu oppa. Ceraikan aku atau relakan warisan itu,” balas Tzuyu mantap, membuat Jungkook kembali menatapnya kaget. “Ya, Jeon Tzuyu, kau—“
“Sudahlah oppa, aku benar-benar lelah.” Tzuyu membalikan tubuhnya, tidak mau lagi melihat wajah Jungkook karena hal itu malah semakin membuat hatinya sakit. “Aku ingin tidur sendiri, jebal.”
Tangan Jungkook yang sempat terangkat untuk menyentuh bahu Tzuyu langsung urung. Lelaki itu mengepalkan tangannya lalu membuang napas kasar. “Baiklah, lakukan semaumu. Aku akan keluar.”
Jungkook beranjak dan keluar dari kamar itu. Menutup pintunya hingga menimbulkan suara bedebum cukup keras, sementara tangis Tzuyu pecah. Ia memeluk kedua lututnya dengan erat dan menelungkupkan kepalanya pada lipatan lututnya dengan terisak. “Eomma … beogoshipo—hiks.”
Malam itu, langit sangat sepi, hanya tersisa bulan purnama yang tampak lebih besar dari biasanya. Dengan piyama tidurnya yang dipakai dengan asal, Dahyun ke luar dari penthouse-nya. Dengan airpods yang menempel di telinganya, wanita itu menatap danau yang membiaskan sinar rembulan itu dengan pandangan kosong. Sesekali ia akan meneguk birnya, menikmati rasa kecut yang menyapa lidah dan tenggorokannya.
Di samping penthouse-nya memang ada sebuah danau buatan kecil yang dikelilingi dengan pepohonan berbagai jenis. Agaknya, danau ini membuatnya tidak menyesal membeli penthouse yang berhadapan dengan penthouse Jungkook ini karena tempat ini bisa membuatnya menghabiskan waktu dengan tenang saat insomnianya kambuh. Nyatanya, setelah menghabiskan malam dengan Jimin pun, ia tetap sulit tidur.
Suara batu yang dilemparkan ke danau membuat Dahyun langsung melihat ke arah suara itu berasal. Ia sempat memaku di tempatnya saat melihat Jungkook yang tengah duduk di atas bongkahan batu besar dengan tangannya yang sesekali melemparkan batu ke danau.
“Sedang ada masalah, huh?” celetuk Dahyun yang membuat Jungkook agak terkesiap. Lelaki itu sempat melirik Dahyun sekilas sebelum kembali melemparkan batu ke danau. “Kau sendiri? Sudah selesai menikmati malam panasnya?”
Wanita itu nyaris tersedak birnya sendiri. Ia berdeham seraya membuang pandangan dengan pipi memerah. “Ya … ukhm … begitulah.”
Jungkook melirik Dahyun lewat ekor matanya. “Kenapa kau pindah kemari? Lalu Jimin … apa kalian sudah menikah?” tanyanya.
Dahyun mengernyit samar namun sudut bibirnya langsung terangkat sedikit saat menangkap maksud dari pertanyaan Jungkook barusan. “Kenapa kau ingin tahu? Itu bukan urusanmu.”
Telak. Jungkook kembali membuang pandangannya dan menatap ke danau yang terlihat semu. “Benar, sepertinya kehidupan kita saat ini sudah benar-benar berubah. Rasanya baru kemarin aku memutuskan untuk membatalkan perjodohan kita dan menikahi Tzuyu. Waktu berjalan begitu cepat.”
Dahyun terdiam. perkataan Jungkook barusan seolah kembali membuka luka yang selama ini belum mengering. Saat itu adalah saat yang paling ia benci. Sangat memalukan. Ia bahkan kembali terbayang masa-masa paling buruk dalam hidupnya selama tiga tahun terakhir. Bisa dibilang, hasratnya untuk hidup baru kembali saat ia kembali bertemu dengan Jungkook lagi. Ia begitu hancur hingga tak memedulikan apapun selain pekerjaannya dan Jimjn—ya, biar bagaimana pun, ia masih bisa hidup sampai saat ini juga karenanya. “Yah … aku juga baru ingat kalau sudah tiga tahun berlalu saat-saat yang kelam itu. Charresseo Kim Dahyun.”
Jungkook mengernyit, “Kim? Bukannya Park?”
“Kami belum menikah.” Dahyun meneguk lagi birnya yang sudah agak dingin dengan tenang, sementara Jungkook entah kenapa merasa senang mendengar perkataan Dahyun barusan. “Oh jadi … hanya pacar?”
Dahyun menggeleng, “Ani, kami juga tidak berpacaran.”
Jungkook semakin tidak mengerti, “Lalu?”
Wanita itu menatap lurus ke arah danau, sementara Jungkook menatapnya dari samping. “Geunyang, kami hanya menikmati waktu bersama. Tidak ada alasan khusus. Kami hanya merasa nyaman satu sama lain.” Dahyun lau menoleh, membuat manik mereka kini bertemu, “Lalu kau, kenapa diam di sini seorang diri? Mana istrimu? Kau meninggalkannya sendirian di kamar?” sindirnya telak membuat Jungkook kembali memalingkan pandangannya seraya menghela napas panjang.
“Hah … mwola. Kami bertengkar hebat.”
“Sudah kuduga.” Dahyun kembali meminum birnya hingga habis. Ia lalu membuangnya dan menyodorkan bir lain yang masih belum dibuka pada Jungkook. “Tolong bukakan untukku. Tanganku sakit.”
Jungkook berdecak samar, tapi ia tetap membukakan kaleng itu untuk Dahyun. “Kupikir kau akan memberikannya untukku. Aku juga sedang ingin mabuk sekarang.”
“Jangan, kalau kau mabuk, itu bahaya.” Dahyun langsung meminum birnya lagi. “Bisa-bisa kita berakhir tidur di sini semalaman.”
Jungkook berdecih geli, agak membenarkan ucapan Dahyun barusan. “Hah … andai saja aku tidak menikah dengan Tzuyu, apa yang akan terjadi sekarang? apa mungkin … kita sudah menjadi keluarga yang bahagia?” perkataan itu muncul begitu saja dari benak Jungkook membuat Dahyun menjauhkan kaleng bir di bibirnya.
“Kenapa? kau menyesali keputusanmu sendiri?”
Lelaki itu terdiam cukup lama sebelum menjawab, “Sedikit.” Jungkook menggeser duduknya, lalu menepuk tempat di sampingnya supaya Dahyun duduk di sampingnya. “Duduklah di sini, kau tidak pegal?”
Dahyun menurut, ia mendaratkan bokongnya di atas bongkahan batu datar yang agak hangat bekas duduk Jungkook tadi. Beberapa saat, keduanya terdiam. Hanya ada suara binatang malam yang mengisi gendang telinga. Bulan purnama diatas pun tidak begitu membantu malam yang dingin ini sampai sebuah mantel tiba-tiba saja tersampir dibahu Dahyun.
“Apa-apaan ini? aku tidak membutuhkannya,” sinis Dahyun. Ia tidak suka dengan sikap sok perhatian Jungkook yang satu ini. Terlalu merepotkan, dan sangat berpotensi membuatnya hilang akal. Ia tidak mau kalau rencana balas dendamnya itu harus kandas hanya karena ia kembali menyukai lelaki yang telah menghancurkan hidupnya ini.
“Pakaianmu tidak terkancing dengan benar. Gunakan itu untuk menutupinya,” terang Jungkook dengan telinga memerah. Ia sudah tidak tahan karena sejak tadi selalu tidak fokus saat melihat penampilan Dahyun yang sangat sexy dengan beberapa kancing piyamanya yang terlepas.
Sementara Dahyun hanya berdecak malas, “Sudahlah, aku bukannya tidak mau mengancingkannya tapi kancingnya lepas. Sepertinya aku harus meminta Jimin membelikan piyama baru lagi.”
Medengar nama Jimin membuat Jungkook menggeram kesal. Ia lalu teringat dengan perkataan Dahyun yang selalu menghantuinya tempo lalu. “Oh ya, maksud perkataanmu waktu itu … apa?”
“Yang mana?” Dahyun melempar kaleng birnya yang sudah kosong ke tempat sampah.
“Yang itu … kau menawariku bantuan soal … anak.”
“Oh … soal itu. Wae? Kau menginginkannya?”
“Uhm … ibuku sudah mendesakku. Aku tidak akan mendapat—“
“Kau tidak akan mendapat warisan jika tidak memberinya cucu?”
Jungkook menatap Dahyun kaget, “Darimana kau tahu?”
Dahyun menoleh, balas menatap Jungkook sembari tersenyum lebar. “Itu rahasia. Jadi … kapan kita mulai membuatnya?”
Jungkook terdiam di tempatnya, lidahnya terlalu kelu untuk sekedar membalas ucapan yang penuh godaan itu. Sementara Dahyun tertawa sangat kencang di balik benaknya yang tertutup rapat oleh senyum manisnya. “Well, selamat datang di duniaku Jungkook-ssi. Aku tak akan pernah membiarkanmu lepas begitu kau memasukkinya.”
Btw, aku nulis ini pas lagi jamkos matkul, jadi maaf kalo makin aneh T^T
Jujur, aku males revisi dari awal, jadi kalo ada sesuatu yg belum aku ceritain dan ngebuat kalian penasaran, bisa ditanya aja disini. Biar aku perbaiki yg kedepannya aja buat nambal plot holenya :")
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro