🍂| two wife :: III
Pagi-pagi sekali, Jungkook sudah berlari di sekitaran komplek perumahannya. Dengan sepasang airpods yang terpasang di telinganya, baju tanpa lengan yang mengekspos tangan berototnya dan celana olahraga di atas lutut. Lelaki itu terus ber-jogging dengan santai, rasanya sudah lama sekali ia tidak menghirup udara pagi yang segar seperti ini.
Untuk sesaat, ia mencoba melupakan persoalan perjodohan itu dan menikmati paginya dengan tenang. Ada beberapa alasan mengapa dirinya tidak dapat langsung mengambil keputusan. Pertama, ia telah melamar Tzuyu yang jelas saja ia akan dicap lelaki brengsek jika tidak menikahinya. Ditambah yang kedua, perjodohan itu melibatkan dirinya dan Dahyun yang telah membina persahabatan sejak lama—apalagi ia juga pernah menyukai Dahyun dulu. Dan yang terakhir, apapun keputusan yang akan ia pilih nanti, pasti akan menimbulkan kekecewaan di salah satu pihak-atau mungkin keduanya.
Jungkook menepi dan memilih untuk mengistirahatkan dirinya di bangku taman setelah membeli sebotol minuman dingin. Lelaki itu menghela napas panjang setelah menghabiskan seperempat botol minuman itu. Ia menengadah ke langit, membiarkan wajah tampannya diterpa sinar matahari pagi. Lima menit berlalu, Jungkook masih belum mau beranjak dari posisinya sampai suara seorang wanita paruh baya terdengar memanggilnya.
"Hey, nak. Sepertinya kau sedang bingung menentukan pilihan ya?"
Jungkook menegakan kepalanya, lantas obsidiannya menangkap presensi wanita paruh baya itu yang tengah berada di sebuah kios tepat di hadapannya. Jungkook mengernyit, rasa-rasanya ia tidak melihat ada sebuah kios di sana tadi. "Ekhm ... jeoseonghamnida, anda bicara pada-saya?"
Wanita paruh baya itu tersenyum, "Kau pasti sedang bingung, ya. Kau telah melamar seorang gadis dan membawanya ke rumahmu, tapi orangtuamu telah menjodohkanmu dengan gadis lain yang merupakan teman masa kecilmu. Sungguh menyedihkan," ujarnya.
Jungkook semakin tidak mengerti, ia berjalan mendekat ke arah wanita paruh baya itu lalu mendudukan dirinya di atas kursi yang disediakan di sana. "Tunggu, darimana anda bisa tahu-" Jungkook berpikir sesaat, "Apa kau seorang peramal?" terkanya.
Wanita itu mengenakan baju berwarna merah dengan penutup kepala yang menutupi sebagian rambut panjangnya, dengan gelang warna-warni di kedua tangannya. Alih-alih mengiyakan, wanita itu hanya tersenyum, "Kalau kau tidak keberatan, biarkan aku melihat garis tanganmu, supaya aku bisa memberimu saran."
"Maaf, tapi saya tidak percaya hal seperti ini." Jungkook menunduk sedikit sebagai tanda hormat pada wanita itu, lalu beranjak dari sana. Ia tidak punya waktu untuk mendengarkan seorang peramal bicara.
"Hah—rupanya peribahasa buah jatuh tak jauh dari pohonnya itu benar, ya? Kau sama persis seperti ayahmu." Perkataan wanita itu lagi-lagi membuat Jungkook menghentikan langkahnya, ia kembali menoleh ke arah wanita itu yang kini melempar senyumnya. "Kau bisa mendengarkan aku lebih dulu, masalah percaya atau tidaknya, semuanya tergantung dari keputusanmu. Aku hanya ingin membantumu."
Jungkook masih ragu, tapi pada akhirnya lelaki itu kembali duduk di kursi itu dan memperlihatkan telapak tangannya. "Apa ayahku-pernah datang kesini?"
"Iya, sekitar tiga puluh tahun yang lalu. Jauh sebelum kau lahir." Wanita itu menghela napas panjang setelah melihat garis tangan Jungkook, "Anak yang malang," lirihnya pelan.
"Nde?" tanya Jungkook bingung.
"Kau! Kau bernasib sama dengan ayahmu. Kalian bertiga telah terikat, kau tidak punya pilihan lain selain menerima keduanya." Manik wanita itu menatap Jungkook dengan tajam. "Kau harus menikahi kedua gadis itu."
"Nde?!" pekik Jungkook tak percaya. "Omong kosong macam apa itu?"
"Sudah kuduga, reaksi kalian sama persis." Wanita itu mengeluarkan sebuah kartu lalu menyerahkannya pada Jungkook. "Ini, ambilah. Kau pasti akan membutuhkannya nanti."
Jungkook meneriamanya, memperhatikan kartu berwarna merah itu sesaat sebelum measukannya ke dalam saku. "Tunggu! Apa kau tidak bisa menjelaskan maksud perkataanmu tadi? Kenapa aku harus menikahi keduanya? Memangnya aku tidak bisa memilih salah satu dari mereka?" tanya Jungkook bersikeras. Ia tidak sepenuhnya percaya, tapi perkataan wanita ini entah kenapa sangat mempengaruhinya.
"Biar aku tanya, memangnya kau sudah menentukan pilihanmu saat ini? kau memilih Tzuyu, gadis yang kau lamar atau justru Dahyun, gadis yang dijodohkan denganmu?" telak. Sudah dapat dipastikan kalau wanita ini memang bukan manusia biasa. Buktinya dia sampai mengetahui semua itu.
Kali ini Jungkook yang kelabakan. Justru itu yang sedang jadi pertanyaannya saat ini. Siapa yang harus ia pilih? Tzuyu? Atau Dahyun? Ia benar-benar bingung. Mengetahui kegelisahan Jungkook, wanita itu lantas mengeluarkan dua buah kartu. "Kalau kau bingung, coba kau pilih salah satu dari kedua kartu ini."
Jungkook menatap kedua kartu itu, lalu menunjuk kartu yang ada di sebelah kanan. "Pilihan yang bagus. Tzuyu benar-benar wanita yang cocok untukmu, kehidupan kalian akan dipenuhi dengan cinta tapi kau akan kehilangan semua yang telah kau punya saat ini." Wanita itu lalu mengangkat kartu yang tidak dipilih Jungkook. "Sedangkan Dahyun, dia mungkin gadis yang keras kepala dan sulit diatur, tapi kehidupan kalian bisa dipastikan akan sejahtera. Dan kau akan mencapai puncak kejayaanmu."
"Kau sebenarnya siapa? Kenapa aku harus mempercayai semua omong kosong ini?" tanya Jungkook. Ia malah jadi semakin bingung untuk menetapkan pilihan. Lagi-lagi, wanita itu tersenyum, "Perlu kukatakan satu hal? Aku bukan berasal dari dunia ini."
"Jadi kau siapa? Dewa? Malaikat? Hah—waktuku jadi terbuang sia-sia," desis Jungkook lantas kembali bangkit berdiri. "Apapun yang kau katakan tadi, aku hanya akan menganggapnya bunga tidur saja. Permisi."
"Tunggu! Kau pasti akan sangat menyesal!" teriak wanita itu. Jungkook mengendik tak peduli, apapun itu, semoga saja apa yang dikatakan wanita tadi itu tidak benar.
"Percaya atau tidak, gadis yang tidak kau pilih akan mengalami hal yang sangat buruk hingga mati, camkan itu!" Langkah Jungkook terhenti. "Kau bisa tanyakan soal nasib wanita yang dulu tidak dipilih oleh ayahmu padanya jika kau tetap tidak mempercayaiku."
Jungkook lantas berbalik namun tak ada apapun di sana. Kios yang tadi dilihatnya telah menghilang, termasuk wanita paruh baya berbaju merah tadi. Jungkook merogoh sakunya dan mengeluarkan kartu berwarna merah yang diberikan wanita tadi. Kartunya ada, itu artinya ia tidak berhalusinasi.
Jungkook kembali memasukan kartu itu ke dalam sakunya lantas melanjutkan jogging paginya. Saat ini sudah ada beberapa orang yang berlalu lalang di taman membuat Jungkook semakin mempercepat laju larinya supaya cepat sampai ke mansionnya.
Sesampainya di mansion, langkah kaki Jungkook sempat terhenti saat melihat mobil merah yang sangat dikenalinya terparkir di depan mansionnya. Itu milik Dahyun, sekalipun warna mobil itu sudah diganti, Jungkook tetap dapat mengenali inisial yang tertempel di belakang mobilnya. J×D, ia tak percaya kalau gadis itu masih menempelkan benda pemberiannya itu di mobilnya, padahal itu sudah empat tahun lalu sebelum ia pergi ke Taiwan untuk melanjutkan pendidikannya.
Jungkook melanjutkan langkahnya, tapi ia kembali berhenti saat netranya bertemu pandang dengan Dahyun yang tengah berada di ambang pintu rumahnya. "Oh—hai?" sapa Jungkook—kelewat refleks hingga lelaki itu mengumpat saking canggungnya, ia tak pernah mengira akan langsung bertemu dengan gadis ini setelah kekacauan yang telah ia perbuat beberapa hari yang lalu.
Sementara Dahyun juga tidak jauh berbeda, gadis itu berusaha menormalkan raut wajahnya seraya berdeham pelan lalu berjalan menghampiri Jungkook. "Kau—habis jogging?" tanya Dahyun basa-basi saat melihat celana sport di atas lutut yang dikenakan Jungkook. Lelaki itu mengangguk lantas mengalungkan lengannya ke bahu Dahyun hingga membuat gadis itu terbatuk, "Hey, apa-apaan tanganmu ini? tubuhmu bau keringat tau!" protes Dahyun.
Jungkook malah terkikik geli, "Kau semakin pendek, ya?"
"Kau mau mati, huh?" Jungkook tertawa melihat wajah marah Dahyun membuat gadis itu pun otomatis ikut tertawa geli. Rasanya seperti kembali ke kebiasaan mereka dulu saat masih remaja. Mereka sudah biasa bersama, jadi rasanya agak aneh jika Jungkook dan Dahyun saling menyapa dengan canggung seperti tadi.
"Kau kenapa tidak bilang kalau kau telah dijodohkan denganku?" tanya Jungkook setelah mereka duduk di bangku halaman yang dikelilingi aneka jenis bunga. Min Jung sangat menyukai bunga, jadi hampir setiap sudut mansion ini dipenuhi oleh bunga dari berbagai jenis dari mulai anggrek, mawar hingga tulip.
"Kau juga tidak bilang kalau kau telah menemukan calon dari Taiwan," sindir Dahyun yang membuat Jungkook terpengkur, telak. Jungkook lupa kalau selain pandai, gadis ini juga pintar memutar balikan fakta. Jungkook menggaruk belakang kepalanya, kebiasaannya disaat ia berpikir atau sedang gugup. "Tadinya aku ingin memberi kejutan, tapi justru aku malah membuat masalah. Kau pasti kaget, ya?"
"Tentu saja! Kau tidak pernah bercerita tenang Tzuyu padaku atau Jimin lalu saat kau pulang tiba-tiba memperkenalkannya sebagai calon istrimu, bagaimana aku tidak kaget?" Dahyun menghela napas, ia jadi menyesal telah menangisi lelaki ini sejak kemarin. "Jadi kau memilih siapa? Aku atau Tzuyu?"
"Eh? Aku—"
"Kalau kau memilih Tzuyu, sebaiknya kau cepat batalkan perjodohan kita. Aku mau kau yang membatalkannya, kau yang harus bertanggung jawab."
"Tunggu! Dengar, aku masih belum bisa memutuskannya saat ini. Aku perlu membicarakan sesuatu terlebih dahulu dengan ayahku."
Dahyun menghela napas, "Terserah! Aku hanya tidak mau kalau hubungan keluarga kita jadi semakin buruk kalau orangtuaku sudah tau dari orang lain sebelum kau sendiri yang membatalkan perjodohannya."
"Oke, tapi—Dahyun-ah, kalau seandainya aku menikahi kalian berdua bagaimana?" tanya Jungkook.
"Mwo? Kau sudah gila?!"
"Sudah kuduga, reaksimu akan seperti itu." Jungkook menunduk, memainkan kartu merah yang sejak tadi dibawanya. "Aku hanya sedang bingung, tadi pagi aku bertemu seorang nenek-nenek, ia bilang kalau aku harus menikahi kalian berdua karena jika aku memilih salah satunya, maka yang tidak kupilih tidak akan selamat."
"Woah, Jeon Jungkook, kupikir kau bukan lelaki yang akan percaya omongan peramal."
"Aku serius Dahyun! Bagaimana jika yang dikatakan nenek tadi benar?" Jungkook terlihat frustasi, membuat Dahyun jadi agak tidak enak karena sempat mengejeknya tadi. Ia melirik kartu merah yang tengah digenggam Jungkook, "Kartu itu—"
"Oh, ini?" Jungkook mengangkat kartu itu lalu menatapnya gamang. "Nenek itu mengatakan kalau suatu saat aku pasti memerlukan kartu ini, tapi aku masih tidak mengerti gunanya untuk apa."
"Kenapa kau tidak menanyakannya?"
"Aku sudah mencarinya berulang kai tadi, tapi nenek itu langsung menghilang, bahkan kiosnya pun sudah tidak ada! Saat aku menanyakan pada petugas keamanan pun, mereka malah tidak tahu kalau ada kios seperti itu di dekat taman," terang Jungkook. Lelaki itu lalu mengusap rambut Dahyun pelan, "Kau tahu, aku tidak ingin menyakitimu. Aku sama sekali tidak pernah membayangkan jika kita akan dihadapkan diposisi seperti ini. Aku sangat menyayangi kalian berdua, apalagi kau. Aku tidak ingin kehilangan sahabat kecilku."
Jungkook membawa Dahyun kedalam pelukannya sementara Dahyun memejamkan matanya erat. Aku juga, aku juga tidak ingin kehilanganmu.
Sementara tak jauh dari mereka, Tzuyu tengah berdiri mematung dengan kedua tangan yang memegang masing-masing satu cangkir cokelat hangat. Tadi ia dan Dahyun sempat akan minum cokelat bersama tapi Dahyun memutuskan untuk menunggunya di luar selagi ia membuatkan cokelat untuk mereka berdua. Namun pemandangan yang ia lihat saat ini malah membuat hatinya perih. Ia membalikan tubuhnya, lantas berjalan menuju mansion. Mereka butuh privasi, dan sebaiknya ia yang pergi dari sana.
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro