2. The Beginning
[Pertemuan 1 & 2]
Menara Hutama seperti bangunan epic yang ada di tengah kota. Desainnya bergaya eropa, namun punya tower kembar seperti gaya New York. Masing-masing menara terdiri dari 20 lantai. Lantai satu masih terhubung oleh sebuah lobi panjang. Lantai 2 juga masih terhubung dengan mushola besar di tengah-tengah. Selanjutnya kedua tower terpisah total.
Ada banyak perusahaan yang berkantor di menara ini. Satu lantai pun bisa dipakai oleh beberapa perusahaan dengan sistem coworking space. Lantaiku misalnya. Kurang lebih ada 4 perusahaan yang berbagi ruangan di sana. UrbanPOP hanya menyewa dua meja panjang yang digunakan keroyokan oleh semua orang.
Orang-orang dari kedua menara itu bertemu di jam makan siang, di kantin besar yang terletak di basement yang luas. Meski gedung ini mewah, kantinnya tetap merakyat. Setidaknya itulah yang kurasakan setelah 1,5 tahun bekerja di UrbanPOP. Selain itu, penjual-penjual di kantin juga super kreatif. Terkadang mereka membuat kompetisi yang berhadiah makan gratis seminggu.
Seperti kali ini, penjual mie ayam menggelar lomba makan mie pedas yang berhadiah makan mie ayam gratis seminggu. Aku ikut? Jelas nggak dong. Perutku ini lebih sensitif ketimbang pantat bayi. Bisa diare walau hanya kemasukan cabe satu biji.
Kantin riuh rendah saat aku dan Kikan turun. Sebuah meja besar sudah disiapkan. Di sanalah lima peserta yang semuanya pria sudah mulai mengusap keringat kepedasan. Aku memandang dari kejauhan sambil menunggu pesanan es tehku selesai dibuatkan. Seru juga melihat peserta mulai panik dengan bulir keringat besar-besar di pelipis. Kurasa aku harus memberitahu Anom soal kompetisi ini. Dia bisa makan ayam geprek level 10 dan masih hidup.
"Es tehnya, neng." kata mamang penjual minuman.
Dengan gelas es teh yang hampir meluber aku berjalan hati-hati melewati kerumunan penonton yang berada di sekeliling meja. Namun saat aku melewati meja yang ramai itu, salah seorang peserta bangkit dengan tiba-tiba dengan wajah merah dan keringat bercucuran di dahi, lalu menatapku dengan panik.
"Teh...hh...boleh..hhhauha..."
Meski diucapkan dengan bahasa tarzan begitu, aku paham bahwa dia sedang minta izin untuk minum es teh yang kubawa. Karena tak tega, dan kurasa orang ini bisa mati kepedasan, aku mengangguk dan menyerahkan gelas tehku itu padanya. Randu Anangga, aku membaca ID Card yang menggantung di lehernya, dengan nama perusahaan Fintech yang kutahu kantornya di tower B. Dia menyerah di mangkuk pertama.
"Maaf ya, nanti saya ganti." katanya padaku ditengah-tengah menahan pedas setelah menghabiskan es tehku dalam sekali minum. "Pedes banget sumpah."
Karena nggak tahu harus menjawab apa, toh es teh ku juga sudah punah, aku mengangguk saja dan kembali ke meja tempat aku dan Kikan.
"Lah, lo beli gelasnya doang?" tanya Kikan melihatku membawa gelas kosong.
Aku mengedikkan bahu. "Gue dirampok sama mas-mas yang ikut kompetisi. Males mau pesen lagi. Yuk balik ke atas."
Keesokan harinya saat aku makan sendirian di kantin karena Kikan ada meeting di luar dan anak-anak lain membawa bekal makan sendiri, Randu tiba-tiba menghampiri mejaku. Aku sebenarnya sudah lupa, tapi gelas es teh di tangannya membuatku ingat.
"Sori banget ya kemarin main ambil es teh gitu aja. Seriusan, saya nggak tahan. Lidah rasanya mau kebakar." katanya sambil menaruh segelas es teh itu di hadapanku.
Aku mengangguk dan tersenyum. "Nggak usah diganti lho sebenarnya."
"Yah, nggak bisa gitu dong. Es teh kamu udah nyelametin hidup saya."
Aku tertawa kecil. "Lebay amat, Mas. Nggak sakit perut makan cabai sebanyak itu?"
Randu ikut tertawa. "Semaleman diare. Makasih ya. Anyway, saya Randu."
"Abhi."
"Kamu sendirian aja? Nggak apa-apa kan kalau saya duduk sini? Kebetulan udah pada penuh meja lainnya." kata Randu.
Aku mengangguk. Jika Kikan sedang meeting di luar, aku kehilangan teman makan. Pasalnya, anak-anak sekantorku kebanyakan membawa bekal sendiri atau delivery dan memilih makan di ruangan. Sementara bagiku, jam makan siang bukan sekadar mengisi ulang perut. Tapi juga waktunya menghangatkan badan sejenak dari AC ruangan yang keterlaluan dinginnya, dan mendinginkan otak setelah diajak berpacu sejak pukul 9 pagi. Jadi sendiri atau ada temannya, aku memilih untuk makan siang di kantin.
Sama seperti kemarin, pria ini berpakaian rapi dengan kemeja putih fit body dan blue jeans gelap. Sebuah kostum yang bisa membuatku menebak situasi kantornya: ruangan besar dengan kubikel yang disekat-sekat, sebuah ruang kerja yang kaku dan membosankan.
"Abhi di lantai berapa?" tanya Randu lagi.
"Lantai 6 tower A."
"Oh, Green Lab?" tanyanya lagi menyebut perusahaan obat yang ada di lantai 6 juga.
"Bukan. UrbanPOP."
"Oh...sounds nice. Itu...merek baju?"
Aku tertawa. Ini bukan kali pertama orang bertanya apa itu UrbanPOP. Beginilah nasib menjadi karyawan startup yang kurang populer. Kadang perlu menyiapkan jawaban yang paling mudah dicerna orang-orang awam.
***
[Pertemuan 3 & 4]
Budhe dan Eyang pernah bertanya, apa yang bisa kudapatkan dari sekolah DKV. Maksudnya, apa yang bisa dilakukan dengan skillmenggambar dan mendesain itu? Abang-abang di tukang sablon dan print-printan pun bisa. Bagi mereka, cewek baiknya jadi guru atau PNS saja. Sementara kuliah yang menjanjikan itu hanyalah kedokteran, hukum, ekonomi, mipa, dan pendidikan. Mau jadi apa kalau kuliah di jurusan desain? Mending kalau desainnya desain pakaian sehingga aku bisa buka usaha jahit. Mereka nggak tahu kalau dunia digital semakin maju dan skill desain ini dihargai sangat mahal, baik untuk marketing offline maupun online.
Ibuku sudah cukup moderat sebenarnya. Tapi sebagai anak bungsu di keluarga besar, Ibu sering nggak punya pilihan lain selain mendengarkan kata Eyang dan Budhe. Apalagi Ibu adalah orangtua tunggal yang sering dianggap kurang becus mengurus aku dan adikku, Dara. Bagaimana aku bisa masuk jurusan DKV dan berakhir jadi desainer grafis adalah sebuah perjalanan panjang yang melibatkan kebohongan dan rahasia. Dan entah bagaimana, aku menceritakan ini semua ke pria yang duduk di depanku, yang baru kutemui tiga kali.
"Jadi kamu bohong pas daftar kuliah?" tanya Randu sekali lagi.
"Bukan bohong. Aku disuruh daftar di jurusan pendudikan dan ekonomi. Kan itu baru dua, sementara ada tiga jatah pilihan. Pilihan ketiga aku isi DKV aja. Eh, ternyata dapet yang itu."
"Terus?" Randu terlihat antusias. "Gimana akhirnya? Pasti dimarahin kan?"
Aku masih ingat saat aku kemudian disidang di keluarga. Ibu, Budhe, dan Eyang bingung kenapa aku malah diterima di DKV. Kubilang saja kalau aku memanfaatkan kuota pilihan yang ada. Mereka mengomel. Sangat panjang. Lagi-lagi dengan topik yang sama: suramnya masa depanku kalau jadi kuliah jurusan DKV. Tapi pada akhirnya aku tetap berangkat kuliah DKV. Mereka nggak punya pilihan karena nggak kuliah bagi mereka jauh lebih memalukan ketimbang kuliah jurusan seni.
Setiap tahun Ibu membujukku untuk ikut ujian masuk lagi dan pindah jurusan. Tapi aku mengarang seribu satu alasan, hingga akhirnya aku lulus 3,5 tahun dan Ibu nggak punya alasan untuk membujukku lagi.
"Bravo!" Randu bertepuk tangan. "Padahal seorang desainer grafis itu punya banyak pilihan lho. Kamu bahkan nggak harus kerja kantoran kayak saya buat dapat penghasilan besar, aren't you?"
Aku tertawa kecil. "Ya kalau sekarang sih enggak. Dan Ibu masih terus maksa buat ikut tes cpns tiap tahun."
"Yaah...daya tarik abdi negara emang nggak pernah pudar. Eh, ponselmu kenapa? Dari tadi begitu terus."
Aku menatap ponselku yang tergeletak di atas meja. Layarnya dalam kondisi menyala, dengan layar putih dan logo merek smartphone kecil. Sudah begitu sejak setengah jam yang lalu.
"Nggak tahu nih, dari tadi nggak bisa booting. Nggak tahu kenapa. Awalnya lemot banget, terus kumatikan, eh malah nggak bisa booting. Udah tua HPnya, sering ngambek."
"Coba lihat,"
Randu meraih ponselku lalu menekan tombol on/offnya. Sebenarnya aku ingin bilang bahwa itu percuma karena aku sudah beberapa kali melakulan atraksi matiin-nyalain-matiin-nyalain dan nggak berhasil. Namun aku pilih diam saja dan membiarkan Randu mencoba membantu.
Ngomong-ngomong, bagaimana aku bisa berakhir dengan Randu, itu melibatkan pertemuan nggak sengaja di coffee shop kecil di lobi gedung tempatku melarikan diri saat butuh konsentrasi. Anom sudah tahu bahwa aku butuh suasana yang mendukung untuk bekerja. Jadi dia tak bingung mencari saat aku nggak di meja kerja.
Saat aku sedang asyik mendesain materi postingan IG untuk besok ditemani cafe americano, Randu mendadak muncul dan bergabung. Katanya, beberapa kali dia melihatku bekerja di coffee shop ini namun baru punya alasan yang cukup kuat untuk menyapa. Lantas kami terjebak dalam obrolan ringan tentang banyak hal, membuatku sedikit mengabaikan pekerjaan.
"Kayaknya saya tahu solusinya." Randu menggulir layar ponselnya sendiri. "Tapi data kamu bakal ilang. Nggak apa-apa?"
Ternyata Randu sudah mendapati fakta bahwa ponselku nggak bisa booting meski direstart berkali-kali. Lalu dia mencari solusinya di Google dengan mengetikkan tipe HPku dan menuliskan problematikanya. Kenapa aku nggak terpikir untuk Googling di laptop ya?
"Nggak apa-apa. Itu ada auto-backup kok. Tinggal didownload aja kan."
"MiCloud ya?" Randu tersenyum.
Aku mengangguk. Lantas dengan izinku, Randu melakukan apa yang disebutnya sebagai Hard Reset-dengan mengikuti instruksi di Google tentu. Dalam waktu lima menit, ponselku kembali menyala. Rapi, bersih, formal, sama seperti aku membelinya kali pertama tiga tahun lalu.
Dengan antusiasme berlebih aku berterimakasih padanya, dan Randu hanya bilang "Don't mention it". Lantas kami kembali ngobrol panjang lebar sampai anak socmed menelepon menanyakan soal kerjaan. Dan aku kelabakan mencari alasan.
Yang membuatku sedikit bingung adalah logika dan algoritma alam semesta. Setelah perkenalan hari itu, sepertinya aku melihat Randu di mana-mana. Saat aku mengantre di kasir minimarket kantor sambil menonton trailer film The Crimes of Grindelwald di YouTube, Randu tiba-tiba saja sudah di belakangku.
"Katanya bagus. Mau nonton bareng?"
Hari itu kami bertukar nomor telepon, cukup sering ngobrol selama sepekan, dan janjian nonton film The Crimes of Grindelwald di hari Sabtunya. Minggu depannya kami janjian lagi nonton Bohemian Rhapsody. Pulang nonton Randu menyatakan cinta. Oke, ada 5 pertemuan, bukan tiga. Tapi sampai sekarang aku masih bingung memikirkan kenapa aku mengatakan "ya".
***
Waktu aku bilang bahwa aku akan mencari tahu soal Randu lewat akun linkedinnya, Messy langsung murka. Kata Messy, "Stalker macam apa yang ngepoin orang lewat linkedin? Emangnya lo HRD perusahaan?? Pake Instagram baby, instagram!"
Lalu aku lagi-lagi ingin mengutuk diri sendiri saat sore itu membuka instagram untuk mencari tahu soal Randu, dan mendapati notifikasi "randuanangga started following you".
Normalnya orang akan saling follow media sosial saat pedekate. Untuk menstalk dan mencari-cari info penting, soal status atau sudah move on atau belum. Tapi aku lupa kalau di dunia ini ada media sosial bernama Instagram. Meski punya akun aku memang nggak sering main instagram sih. Posting foto sebulan sekali saja sudah bagus. Tapi kan untuk senormalnya orang pedekate, aku harusnya memfollow dan mengecek IG Randu sejak sebelum jadian!
Pacaran macam apa yang baru saling follow akun IG setelah jadian?
Randu meninggalkan "love" di semua postinganku yang cuma 15, dan juga mengirimkan DM sekitar 3 jam yang lalu.
I am thinking of you. Lagi sibuk banget?
Balas chat aku bisa kali
Refleks aku menscroll tap notification di ponselku. Memang ada beberpaa chat dari Randu yang masuk sejak pagi tadi. Tapi aku belum mood untuk membacanya. Apalagi membalasnya.
Lagipula aku memang cukup sibuk seharian ini. Pagi tadi aku harus menemani Ibu belanja kain di mayestik untuk seragam keluarga saat lebaran nanti. Lalu siangnya aku sibuk membereskan kamarku yang kayak kapal pecah. Sore sedikit, aku mulai membuka laptop dan menyelesaikan janji deadline bannerku pada Anom. Aku baru sempat membuka chat Randu sekarang.
Tapi nanti dulu. Aku sedang semangat-semangatnya mencari tahu soal Randu. Jadi kubuka akun IG Randu dan refleks aku berdecak "wow!".
Dia punya 3000-an followers dan sekitar 80 posts. Kebanyakan foto-foto dirinya sedang traveling dan seekor gingercat besar yang tampangnya cukup songong meski tetap lucu. Ah, kurasa Randu sempat bercerita soal kucingnya yang bernama Cuan--tanpa bertanya aku sudah tahu apa arti nama itu. Ada juga foto Randu bersama keluarganya: orangtua dan kedua adiknya.
Namun pada dasarnya aku nggak bakat untuk urusan seperti ini. Aku nggak tahu apa yang harus kutemukan di akun Randu. Jadi aku mengirimkan link profilnya kepada Messy. Aku yakin dia lebih tahu apa yang harus dicari di sana. Dengan cepat, Messy menjawab: will get back to you asap! Ha-ha, macam email ke klien saja.
Sementara menunggu info Messy, aku membuka chat Randu dan menghela napas panjang. Sebelum mengetik balasan pelan-pelan.
G. Abhinanda: Miss me? ;)
Hanya berselang lima menit, Randu membalas.
Randu Anangga: wdyt?
G. Abhinanda: HAHA
G. Abhinanda: Sorry
G. Abhinanda: Km ngapain aja weekend ini?
Randu Anangga: Nothing just chilling with Neftlix. You?
G. Abhinanda: Bantu Ibu, beberes rumah, kerja. Gak menarik banget
G. Abhinanda: Km gak pergi2 kmn gitu?
Randu Anangga: Weekend tetep kerja?
Randu Anangga: Hmmmmmmm
Randu Anangga: I keep my schedule open for today
Randu Anangga: In case kamu tiba2 mau diajak jalan gitu
G. Abhinanda: Wow. Seniat itu?
Randu Anangga: Hahahaha
Randu Anangga: Biar ada bedanya waktu jomblo sama punya pacar
G. Abhinanda: Ternyata punya pacar ga lebih bahagia ya? ;p
Randu Anangga: Hahaha
Randu Anangga: Jadi kapan kamu punya waktunya?
G. Abhinanda: I don't know. Can't we make it tomorrow? After office hours maybe?
Randu Anangga: :(((
Aku belum sempat membalas emot sedih dari Randu saat Messy mengirim chat.
Messiana Aprilia: Gebetan Randu sebelumnya namanya Alia?
Lalu Messy mengirimkan link profil akun IG dengan nama Alia Riyadi.
Messiana Aprilia: Dia komen nyaris di setiap foto Randu, dan Randu juga komen di setiap postingan dia.
Tanpa menunggu info lanjutan dari Messy, aku segera membuka akun Alia-Alia itu. Rasanya waktu itu memang nama Alia yang kudengar di kantin. Kata "wow!" kedua langsung keluar dari bibirku saat melihat foto dam followers si Alia. Dari mana sih orang-orang bisa mendapatkan followers sampai ribuan begitu? Yah, 12.000 followers memang cukup dini untuk dibilang selebgram. Tapi feeds Alia ini sangat artsy nggak kalah sama Awkarin. Rambutnya panjang sepinggang, super lurus dan super hitam. Cantik adalah kata yang tepat untuk mendeskripsikannya. Anggun, adalah kata keterangan yang harus ditambahkan. Walau bisa saja foto itu editan dengan berbagai efek, tapi rasanya mustahil Alia yang asli nggak cantik.
Aku membuka postingan terbaru. Foto candid Alia sedang memangku gitar, entah dimainkan entah tidak yanh jelas foto itu indah. Lalu dengan segera aku menemukan nama randu di bagian komen berbunyi: "Mencoba indie?". Messy benar. Aku mendapati nama Randu nyaria di semua postingan Alia. Komen-komen receh dan sebenarnya biasa saja, yang justru menunjukkan betapa akrabnya mereka. Kuhela napas panjang-panjang.
Di postingan yang lain di mana Alia berjalan beriringan dengan seorang pria berambut sepundak dan captionnya bicara soal lamaran, Randu menulis komentar: "Good luck for you guys :)". Waktunya kira-kira sebulan yang lalu. Lalu seminggu kemudian kami berkenalan di kantin. Bagaimana caranya agar aku bisa melihat hal ini tanpa merasa janggal?
Notifikasi chat WhatsApp dari Randu muncul lagi.
Randu Anangga: Btw, ngapain kamu ngepoin Linkedinku?
Randu Anangga: Mau nawarin kerjaan? Hahaha
Aku mengerutkan dahi. Rasanya aku punya ide lain. Mungkin perlu kubuat akun IG palsu untuk mengecek interaksi Randu - Alia ini. Dengan begitu, rencana dan strategiku akan berjalan dengan cepat dan tepat seperti penanggulangan wabah penyakit menular.
***
Miss me, guys? ;p
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro