Chào các bạn! Vì nhiều lý do từ nay Truyen2U chính thức đổi tên là Truyen247.Pro. Mong các bạn tiếp tục ủng hộ truy cập tên miền mới này nhé! Mãi yêu... ♥

7. bak orang dungu

Aku sedikit berharap---terlalu banyak berharap---kamu akan mencariku, atau mengada-adakan sebuah kebetulan untuk bisa bertemu denganku. Namun, kulihat kamu sudah hampir sembuh. Kamu tidak semenyedihkan dulu dan binar di matamu kembali hidup.

Aku turut bahagia, karena mau bagaimanapun, aku pernah menjadi alasan binar itu meredup.

Sabiru, aku masih sedih, masih kesulitan untuk fokus, masih sering mendadak takut. Tremor di tanganku suka datang tanpa tahu tempat. Oksigen bisa tiba-tiba sulit sekali dihirup. Aku butuh kamu.

"Re!"

Seruan itu membuatku menoleh dan kudapati Mbak Mira tengah berjalan ke arahku. Dia tersenyum, Sabiru, selebar tempo hari saat kulihat dia sedang bersamamu.

"Kenapa, Mbak?"

Tidak mudah untuk mengucapkannya dengan nada bicara yang normal, ketika kehadirannya saja sudah mampu membuat tenggorokanku tercekat.

"Kamu ngapain di sini?"

"Nunggu dijemput, Mbak."

Mbak Mira tampak mengulum senyum. Tumben sekali. Ah, dia memang banyak berubah sejak semakin akrab denganmu. Anak-anak kantor bahkan menjadi lebih leluasa saat menyapanya. Dia terlihat sangat bahagia, Sabiru. Kamu yang membuatnya begitu.

"Kamu saking keseringan dijemput sampe lupa kalo hari ini bawa mobil sendiri ya, Re?"

"Eh?"

Aku yakin aku terlihat bak orang bodoh di depan Mbak Mira. Rasanya malu dan kikuk sendiri, aku benar-benar lupa akan hal itu. Kendati demikian, aku tidak sedang menunggu Natamael yang biasa menjemputku. Aku hanya tidak ingat telah membawa mobil dan malah berdiri di depan lobi entah menunggu siapa.

"Hehehe, lupa, Mbak," balasku masih bertingkah bak orang linglung dan memang demikian.

"Masih pengen liburan nih kayaknya," ledek Mbak Mira.

Tidak ada kalimat yang mampu aku keluarkan untuk menimpali perkataan Mbak Mira. Kemeja kotak-kotak yang dikenakan Mbak Mira malah yang menarik perhatianku. Warnanya bagus, terlihat cocok dengannya, pas, sesuai, dan oh kamu ingat, Sabiru? Ada satu kencan impian kita yang belum sempat terlaksanakan, crochet date, alias kencan merajut. Aku penasaran apakah kamu masih ingin merajut earmuffs untukku? Dulu kamu bilang begitu.

"Re?"

"Eh? Iya? Mbak?"

"Kamu gapapa?"

"Enggak papa," ujarku seraya menganggukkan kepala. Lalu, asal kamu tahu, aku sudah bisa merajut sekarang, aku sudah paham teknik-teknik dasar dan ... dan ... aku lupa apakah aku sudah berpamitan pada Opa sebelum meninggalkan rumah Oma. Ah, bagaimana kalau—

"Re?"

"Ha?"

"Kamu kayaknya gaboleh nyetir sendiri, deh, Re. Kamu kayak orang linglung dari tadi, kamu juga gak dengerin saya ngomong, kan?"

Aku tidak mengerti apa yang dimaksud Mbak Mira, memangnya sejak kapan ia mengajakku berbicara?

"Maaf, Mbak."

"It's okay. Kamu saya antar pulang, ya?"

"Enggak usah, Mbak. Bentar lagi dijemput."

Mbak Mira menampilkan tampang terheran-heran ke arahku, mimik muka yang khas sekali dengannya. Jauh sebelum kedekatan kalian.

"Kamu bawa mobil, Re. Saya lihat tadi pagi kamu bawa mobil."

"Ahhh," aku menggaruk tengkuk yang sama sekali tidak gatal, "aku kayaknya kecapean deh, Mbak."

Mbak Mira tersenyum maklum sambil termangut-mangut, itu terjadi hanya beberapa saat sebelum motormu tiba, Sabiru. Kamu menginterupsi perbincangan tidak seru kami dan membuatku mendadak kosong. Apa-apa saja yang tadi ada di kepalaku hilang, aku terpaku dengan kehadiranmu. Di depanku. Menjemput Mbak Mira.

"Maaf lama, Ran," ucapmu pada Mbak Mira. Jelas padanya karena kamu tidak sedang menatapku. Kamu sedang memandangi Mbak Mira seraya menunggunya mengambil helm yang kamu sodorkan.

"Kenalin, Sa, ini Re---"

"Kami udah saling kenal, Ran. Mantanan malah, iya kan, Re?"

Aku terhenyak, tidak menduga kamu akan mengajakku bicara seluwes itu.

"Loh, kalian pernah pacaran?" Mbak Mira melontarkan tatapan penuh tanda tanya ke kamu dan aku secara bergantian.

Kamu menjawab lebih dulu. "Iyaaa."

"Ohhh, dia yang kamu ceritain, Sa?"

"Ceritain apa, sih, Ran?"

"Itu lho yang kata kamu---"

"Nggak-nggak ada, ayo pulang. Kita pulang duluan ya, Re?"

Aku belum siap memberi reaksi apa pun, aku masih membatu melihat interaksi kalian sambil berusaha memikirkan sesuatu. Ada yang harus kupikirkan, tetapi aku lupa tentang apa.

"Dia gabisa pulang sendiri, Sa."

"Loh, kenapa?"

Mbak Mira tampak ragu-ragu untuk menyuarakan yang ada di kepalanya, aku pun memutuskan untuk menyela, "Bisa, kok. Aku enggak papa, Mbak."

"Jangan, Re, nanti-nanti kenapa-kenapa di jalan."

"Emangnya kenapa? Kamu sakit, Re?"

Aku menatap wajahmu dan wajah Mbak Mira bergantian, tidak tahu harus membalas apa, tidak tahu apa yang kalian bahas, tidak tahu, tidak tahu....

"Ayo aku anter pulang, Re."

Tiba-tiba saja kamu sudah memakaikan helm ke kepalaku, berdiri dalam jarak beberapa senti di depanku.

"Mobil kamu dibawa Mbak Mira, ya? Mana kuncinya?"

Aku menurut bak orang dungu. Kesadaran baru sepenuhnya hadir dalam diriku tatkala aku mendekapmu. Tatkala cahaya senja mengubah warna langit.

Saat itu, aku tidak tahu kapan aku akan kembali linglung, mungkin dalam beberapa menit kemudian aku akan benar-benar menjadi orang sinting. Maka aku memelukmu erat-erat, menempel ke punggungmu seolah itu adalah sandaran paling nyaman, hingga air mata sialan itu tiba-tiba keluar dari peraduannya.

Aku terisak kecil di balik punggungmu, barangkali aku sedikit mengganggu konsentrasimu, oleh sebab itu tanganmu yang sedang tidak memegang gas tiba-tiba mengelus punggung tanganku. Yang entah mengapa malah mengirimkan sinyal bahaya ke otakku, sampai-sampai aku melepas pelukan dengan gerakan cepat yang mendadak.

Motormu hampir oleng, tetapi kamu tidak mengajukan satu pertanyaan pun.

Di belakangmu, aku tengah bersusah payah menghentikan tremor di tangan.

***

"Makasih," tukasku sesaat setelah turun dari motormu.

Tak lama kemudian, Mbak Mira tiba dengan mobilku. Kalian berdua memastikan mobil itu terparkir di garasi dengan baik sebelum berpamitan padaku.

"Duluan ya, Re," ucap kalian kompak.

Aku menganguk saja, tetapi karena aku cemburu, aku kembali berkata, "Makasih ya, Mbak Mira. Terima kasih, Biru, hati-hati di jalan."

Kamu terlihat sedikit terkejut saat mendengarku memanggilmu Biru. Aku sengaja melakukannya, Sabiru, aku ingin Mbak Mira tahu bahwa kamu pernah menjadi milikku. Namun, kenapa kamu malah tersenyum seperti itu? Seolah-olah senang bukan kepalang kupanggil demikian.

"Sampai ketemu di kebetulan yang lain, Renjana."

Deru motormu menderu, membawamu pergi dariku secepat yang aku tidak mau. Aneh, aku masih bisa mencium kehadiranmu di sini. Seakan-akan alih-alih bersama Mbak Mira, kamu sedang menemaniku dan akan selalu seperti itu.

Deru mesin mobil membuyarkan lamunanku, meniup hilang baumu dan menggantinya dengan detak jantung yang menggema.

Kusembunyikan tanganku yang kembali bergetar hebat ke dalam saku jaket selagi si pengendara mobil berjalan ke arahku. Di situasi seperti ini, kakiku malah mendadak lumpuh dan berjibaku dengan gravitasi bumi.

"Halo, Renjana."

Seperti biasa, dia tersenyum, senyum yang menghantui malam-malamku sama buruknya dengan malam-malam milikmu. Dia Abraham, Ayahmu, Sabiru.

Awalnya kukira yang akan datang adalah Natamael. Bukan, bukan karena aku mengharapkan kehadirannya apalagi ungkapan maafnya. Dia tidak akan melakukan itu. Melainkan karena Abraham datang dengan mobil yang biasa menjemputku, mobil milik Natamael.

***

1067 words

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro