Chào các bạn! Vì nhiều lý do từ nay Truyen2U chính thức đổi tên là Truyen247.Pro. Mong các bạn tiếp tục ủng hộ truy cập tên miền mới này nhé! Mãi yêu... ♥

6. aku takut dan ingin hilang, Sabiru

Hidupku hancur, Sabiru.

Segera setelah aku sampai di kediaman Oma, aku mendapati Mama dengan mata sembabnya. Memerlukan banyak putaran jam sampai akhirnya Mama mau membicarakan permasalahannya denganku, yang dalam kedipan mata menjadi masalahku juga.

Aku lahir dan tumbuh di keluarga harmonis. Mama dan Papa memang sering adu mulut, tetapi tidak pernah benar-benar serius, perdebatan mereka selalu diselingi gurauan. Rasanya tak pernah sekalipun aku menemukan mereka dalam badai rumah tangga. Namun, ternyata, aku hidup di sisi lain kapal, Sabiru. Di bagian paling indah dan paling nyaman, sehingga aku tidak akan melihat badai, sehingga aku tidak ikut terombang-ambing di tengah lautan.

Sekarang mereka gagal, mereka mengajakku menghadapi prahara rumah tangganya. Aku bukan lagi anak kecil yang menjadi alasan mereka bertahan. Aku sudah dewasa, aku sudah bisa mengerti. Begitu Papa bilang selagi mengunjungiku di rumah Oma.

"Natamael enggak nemenin kamu nginep di rumah Oma?"

Pertanyaan itu keluar dari bibir Papa dan sukses membuatku membisu. Mati-matian aku menahan air mata yang dengan gerakan cepat langsung bergumul di ujung-ujung kelopak mataku. Aku bersusah payah menghindari tatapan Papa dengan gerak-gerik yang tidak mencurigakan. Namun, diamku tetap membuatnya penasaran.

"Kalian lagi berantem?"

Aku memberi anggukan singkat, sudah tidak mungkin berbohong pada Papa. Sekarang aku hanya bisa sedikit mengubah alur ceritanya. Sebuah alur yang akan tetap terdengar masuk akal.

"Kalau aku sama Natamael enggak lanjut gapapa 'kan, Pah?"

Papa terdiam untuk beberapa saat, sebelum akhirnya mengelus puncak kepalaku sambil bernada bicara lembut. "Karena Sabiru?"

Aku menganguk. "Aku mau lupain Sabiru sendirian aja, Pah, enggak mau ajak orang lain susah."

Papa membalas tatapanku dengan sorot yang beribu-ribu kali sangat meneduhkan, yang hangatnya sampai di tempat paling gelap di dalam diriku.

"Enggak apa-apa, kamu selalu berhak memutuskan, Sayang."

Lalu entah bagaimana kalimat itu berhasil merangsek pertahananku. Aku menangis sejadi-jadinya di pelukan Papa.

Aku selalu berhak memutuskan, katanya. Akan tetapi, hidup tidak pernah semudah bait-bait yang diucap motivator.

Papa berbohong mengenai hubungannya dengan Mama, kini giliran aku yang membohongi Papa tentang hubunganku. Papa benar, aku sudah bukan anak kecil lagi. Sedikit demi sedikit aku pun mencecap apa yang dirasakan orang dewasa.

***

"Natamael enggak ke sini, Ci?"

Kali kesekian Oma menanyakan keberadaan Natamael dan aku masih merespons dengan cara yang sama. Aku bilang, "Nanti Oma, sibuk kerja dia."

Padahal aku sendiri tidak yakin dia akan kembali. Setelah hubungan intim kami kala itu, sikapnya langsung berubah. Amat sangat berbeda dengan Natamael yang aku kenal, atau lebih tepatnya, amat sangat berbeda dengan citra baik yang ia perlihatkan padaku.

Enam bulan. Dia meminta waktu enam bulan untuk bisa meniduriku, bukan untuk membuatku melupakanmu. Katanya, itu adalah waktu yang paling lama daripada yang dibutuhkan mantan-mantannya. Namun, ujung-ujungnya dia berhasil juga. Berhasil lebih cepat dari dugaan.

Aku tidak semahal itu, katanya.

Tolong jangan tanya kondisiku saat mendengar kalimat itu keluar dari bibirnya. Dia berhasil menghancurkanku, Sabiru. Membuatku hancur-lebur perlahan. Dia berhasil mengirimku ke titik paling rendah dalam hidup.

Namun, lihat, aku masih bisa menahannya. Aku masih bisa terlihat baik-baik saja di depan Oma, Mama, dan anggota keluargaku yang lain. Aku tidak meraung bak anak kecil lagi, dan aku tidak terlihat semenyedihkan kamu.

Entah apa yang dibicarakan Oma dengan Mama, tau-tau saja Oma berkata, "Nanti nikahnya pakai gaun bikinan Tantemu, Ci. Enggak kalah sama designer-designer ternama."

Lalu Mama menimpali, "Nanti ajak Natamael ketemu Tantemu...."

Tidak tahu apa-apa lagi yang mereka bicarakan, aku sudah tidak sanggup mendengarkan. Diam-diam aku melipir ke dalam kamar, menyibukkan diri dengan berbagai pekerjaan kiriman dari Mbak Mira, walau ternyata sudah aku selesaikan sejak matahari belum berada di atas kepala.

Namun, aku masih berusaha keras menyibukkan diri. Dengan apa pun yang bisa mengalihkan pikiranku dari laki-laki bajingan itu. Namun, aku lebih memilih membantu Opa berkebun di halaman belakang rumah alih-alih bermain dengan anak-anak Tante. Aku takut mendengar pembicaraan mengenai Natamael lagi. Lebih baik bersama Opa yang lebih senang mengajariku tentang tanam-menanam daripada membahas yang lainnya.

"Kamu bawa hape, Ci?"

"Ada di kantong, Opa, kenapa?"

"Sini-sini kita foto sama bunga matahari baru Opa, itu keranjang simpan aja, kita panen sayurnya nanti."

Tidak pernah terlintas di benakku bahwa ajakan sederhana itu akan membuat detak jantungku bertalu-talu. Keringat dingin mengalir di punggungku, sementara tanganku mulai tremor.

Aku mencoba menghalau itu semua dengan bersikap riang. Melompat kegirangan sambil sedikit memekik, "Foto kayak Cici masih kecil ya, Opa?"

Opa mengangguk tak kalah antusias, lantas aku menghampirinya yang sudah siap berpose di samping bunga-bunga mataharinya.

"Opa yang pegang hapenya, ya?"

Aku berpose cantik di samping Opa, tetapi selalu memejamkan mata. Aku tidak berani melihat pantulan diriku sendiri, Sabiru. Hal itu menakutiku. Aku tidak paham mengapa perasaan-perasaan aneh itu muncul setiap kali menatap diriku dari balik cermin.

Tiba-tiba aku merasa begitu rendah. Begitu tidak layak dan tidak pantas cintai.

"Kamu ini foto kok merem terus?"

Aku tertawa menimpali pertanyaan Opa. "Tapi cantik, kan?"

"Sekali lagi, ah, buka matanya. Matamu tu cantik loh, Ci."

"Itu kan udah banyak fotonya, tuhhh...."

"Sekali lagi, sekali lagi."

"Enggak mauuu, Cici lagi jelek Opa, belum mandi."

"Cantik gini, kok."

"Enggak mauuu, nanti memori hapenya penuh."

Perdebatan kecil nan menyenangkan kami berakhir gelak tawa, Opa terus-menerus meledekku dengan ini-itu. Dengan kalimat lucu apa pun yang dapat membuatku tergelak. Sampai akhirnya namamu pun terucap.

"Sabiru apa kabar, Ci?"

"Baik, Opa."

Di antara yang lainnya, Opa adalah orang yang paling menyukaimu, yang paling sering menanyakan kondisimu, dan yang paling sulit menerima perpisahan kita.

"Gimana hubungan kalian?"

Sebelum aku bereaksi, Opa kembali melanjutkan, "Maksud Opa, kalian masih temenan, 'kan? Sabiru itu anak baik lho, Ci. Enggak jadi suami dia masih bisa jadi temenmu. Jangan dilepas kalau bisa."

"Masih temenan kok, tapi kayaknya Sabiru udah ada gandengan baru Opa," ucapku sembari mengingat postingan terbaru Mbak Mira. Kamu tampak sedang tertawa lepas dengannya. Kali pertama setelah perpisahan kita, kamu terlihat begitu hidup.

Aku cemburu, Sabiru. Namun, tak apalah. Agaknya sebentar lagi aku akan terbiasa dengan rasa sakit.

"Kamu juga kan udah ada gandengan, Ci, tapi sebetulnya Opa kurang suka sama gandengan barumu itu."

"Kenapa, Opa?"

"Beda aja sama Sabiru."

"Ya jelas beda dong, cara berdoanya juga beda, hehehe."

Opa menyentilku selepas aku berkata demikian. Lalu, hari itu berlalu jauh lebih lama dari yang aku inginkan.

Aku ingin segera pergi dari rumah Oma, aku ingin pergi ke mana pun di mana takada orang mengenaliku. Takada orang yang akan membahas Natamael, takada orang yang akan menanyakanmu dan bertanya-tanya mengapa aku menangis?

Namun, aku terlalu takut untuk kembali ke rumah maupun ke tempat kerja. Aku takut bertemu Mbak Mira, bertemu kamu, Natamael, dan semua yang mengenal wajahku.

Aku takut dan ingin hilang, Sabiru.

***

1096 words

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro