5. benang merah
Awalnya, aku berniat tidak menulis bagian ini karena takut menyakitimu, tetapi setelah melewati proses berpikir yang panjang, aku memutuskan untuk menulisnya.
Malam itu, Natamael bercerita banyak tentang orang tuanya, termasuk Abraham, ayah kandungmu, Sabiru. Ketika usia Natamael sembilan tahun, ayahnya berpulang, dan selang tiga tahun kemudian Ibunya menikah dengan Ayahmu. Saat itulah hari-hari buruknya dimulai, karena seperti yang dilakukan Abraham padamu, dia juga sering membuat wajah istri barunya biru-biru.
Di tengah perbincangan, Natamael mengutarakan perasaan rindunya pada sang Ibu. Dulu, ketika keluarganya masih lengkap, sebelum sang Ayah absen dari kehidupannya, mereka sering main tentara-tentaraan. Ibunya akan membangun tempat persembunyian di antara dua sofa menggunakan kain panjang. Natamael bersembunyi di sana selagi sang ayah berpura-pura memburunya.
Di lain hari, mereka akan bermain petak umpet bersama, dan Natamael selalu berhasil menemukan kedua orang tuanya. Sekilas, aku bisa melibat binar kebahagiaan pada netra Natamael saat bercerita demikian. Dia pasti sangat bahagia kala itu. Sayang, dewasa ini, ia tidak tahu ke mana harus mencari mereka, dan untuk beberapa saat aku mendapatinya bak orang linglung.
Aku menangis jauh lebih parah daripada Natamael sendiri, aku memang mudah menangis karena hal-hal begini, tetapi yang kali ini berbeda. Aku menemukan benang merah yang cukup rumit di antara kalian.
Bukan hanya tentang Abraham. Namun, juga tentang mendiang ibu kalian yang memiliki banyak kesamaan. Selagi Natamael bercerita, diam-diam aku mencari-cari gurat wajahmu di wajahnya, Sabiru.
Tiba-tiba aku merasa menjadi manusia paling dungu, bagaimana mungkin aku tidak menyadari bentuk bibir kalian yang sama persis? Serta bagian-bagian lain di wajahnya, mengingatkanku pada wajahmu. Hanya mata serta warna kulit kalian yang berbeda, Natamael memiliki bentuk mata yang sipit.
Kendati demikian, aku tidak mau terlalu cepat menyimpulkan. Jadi, aku tidak mengatakan apa-apa kepada kekasih baruku itu, aku hanya membiarkannya menangis di dadaku. Mengelus helai-helai rambutnya sampai sedu sedan itu mereda.
Kita sudah sampai di bagian yang tidak ingin aku tulis, Sabiru.
Dini hari itu, ketika usai tangisannya, dia mengucap terima kasih sembari mengecup keningku. Biasanya dia akan berhenti di sana, tetapi waktu itu tidak, kecupan hangatnya semakin menurun dari dahi hingga ke ujung bibirku.
Darahku berdesir, sekejap aku teringat padamu. Pada bibirmu yang selalu ingin aku kecup, tetapi selalu kamu tolak. Aku tidak tahu siapa yang ada di kepalaku saat menerima ciumannya. Hanya dalam beberapa saat, aku sudah bisa turut andil dalam permainan lidah Natamael, meski belum cukup mahir untuk mengimbanginya.
Detik-detik berikutnya, aku masih diam saja. Tidak sedikit pun mendorongnya menjauh, aku membiarkannya menyentuhku, Sabiru. Aku mengizinkannya menjamah bagian-bagian yang dulu aku ingin kamu jamah.
Dan ketika mengetik ini, aku masih berharap kamu yang melakukannya. Mungkin dengan begitu aku tidak akan menyesalinya.
***
442 words
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro