4. 2 months 26 days left
Rasa bersalah menggerogotiku hingga ke ulu hati. Aku pernah bersumpah tidak akan melibatkan orang ketiga dalam proses penerimaanku, dan sudah seharusnya tetap begitu.
Satu-satunya orang yang bisa disalahkan dalam keadaan seperti ini adalah aku. Seandainya aku tidak pernah menerima Natamael dalam hidupku, seandainya aku tetap bersikeras menolaknya, aku tidak akan pernah mengais rasa bersalah. Aku akan dengan lantang mengusir Natamael karena telah berani mengganggu kencan kita, Sabiru.
Namun, akulah yang salah waktu itu. Kencan kita adalah sebuah pengkhianatan pada hubunganku dengan Natamael.
Saat Natamael berjalan mendekat, kamu mengambil posisi siaga, persis seperti yang biasa dilakukan orang-orang saat ingin melindungi orang terkasihnya. Aku maklumi gerakan refleksmu, kamu tidak mengenal Natamael seperti aku mengenalnya.
Dia bukan orang yang seperti itu, Sabiru.
Yang dilakukan Natamael saat tiba di hadapan kita adalah mengambil tanganku dari genggamanmu. Nada bicaranya terbilang biasa saja saat berujar, "Aku yang anter kamu pulang, Mama taunya kamu keluar sama aku."
Kala itu, Natamael sama sekali tidak menghiraukanmu. Dia tak sedikit pun melirik ke arahmu saat melepas helm yang aku kenakan dan menaruhnya di atas jok motor milikmu.
Aku mengekor seperti bebek yang mengikuti induknya ketika Natamael menarik lenganku. Dia membuka pintu mobil dan memastikanku masuk tanpa terantuk, dia memakaikanku sabuk pengaman sebelum menyalakan mesin mobil dan membawaku menjauh darimu.
Kamu masih berdiri di tempat dan dengan posisi yang sama tatkala sosokmu semakin mengabur dari kaca spion, begitu pun dari penglihatanku. Aku ingat aku belum berpamitan padamu.
Aku berharap cahaya remang-remang dalam mobil dapat membuatku bertemu kantuk, dan menanggalkan segala perasaan bersalah. Toh, aku tidak mencintainya, Natamael tahu aku tidak mencintainya.
Namun, memang sial nasibku, Sayang. Aku tidak pernah terbiasa dengan rasa bersalah.
"Maaf, Nat, tapi aku rasa aku enggak bisa. Kita udahan aja, ya?" Suaraku setipis gambaran rembulan malam itu, tetapi cukup yakin gendang telinga Natamael menerimanya dengan baik.
"Aku enggak marah, kok, cuma cemburu ... sedikit." Natamael sama sekali tidak terlihat seperti orang sedang fokus menyetir saat mengatakannya, dia lebih terlihat seperti orang yang enggan menatapku.
"Aku enggak mau jadi orang jahat, Nat. Kita udahan aja, ya?"
Sekali lagi, aku meminta. Aku ragu dia akan mengiyakannya.
"Sisa 2 bulan 26 hari doang kok, Re. Kita jalanin dulu, ya?"
"Nat...."
"....masalahnya aku enggak pernah berencana lupain Sabiru."
"Aku juga enggak pernah berencana jadiin kamu milikku," timpal Natamael, terdengar seperti orang putus asa.
"Terus kamu maunya apa, Natamael?"
Aku sedikit memberi penekanan ketika melafalkan namanya. Dia laki-laki paling peka yang aku tahu, dia pasti tahu aku marah. Dan dia tahu aku merasa bersalah.
"Kamu enggak perlu merasa bersalah gitu, Re. Kamu udah bilang sedari awal kalau kamu belum selesai sama Sabiru, aku yang bersikeras jalanin hubungan ini. Dan alasannya tetap sama, Re, karena aku sayang sama kamu."
"Ck, Nat!" Aku berdecak kesal. Ada banyak bagian dari Natamael yang tidak bisa aku mengerti. Tentang mengapa sebegitunya ia mencintaiku, tentang mengapa ia mau menyakiti dirinya sendiri hanya demi aku.
"2 bulann 26 hari lagi ya, Re?"
Aku balas menatap Natamael. Dia berpaling lebih dulu karena harus fokus mengemudi, sementara aku menelisik wajahnya semakin dalam.
Aku juga punya alasan tersendiri untuk menerimanya dalam hidupku, Sabiru. Aku punya alasan yang tidak seorang pun tahu. Jadi, aku menganguk samar. "2 bulan 26 hari lagi."
Natamael mengangguk sembari mengukir senyum. "Aku boleh minta sesuatu?"
"Apa?"
"Bisa tolong jangan temui Sabiru selama kurun waktu tersebut?"
•••
"Kadang kala aku ingin kembali ke sana, ke tempat wajah ibuku tak pernah mengenal luka."
— Natamael
•••
Malam itu, setelah sampai rumah kurang lebih pukul sepuluh, aku tidak dapat menemukan siapa pun. Tak kulihat mobil Papa di garasi, tak ada Mama yang memarahiku karena pulang larut malam. Sebelum aku diserang panik, Natamael lebih dulu memberi penjelasan.
"Mama bilang mau ke rumah Oma. Tadi di telepon minta kamu cepet-cepet pulang, tapi karena aku enggak tau kamu di mana, jadi kubilang paling lambat jam sebelas. Aku bilangnya kita lagi di luar kota, kalaupun pulang sekarang bakal kejebak macet. Mama kayaknya lagi buru-buru, jadi langsung berangkat. Besok, aku anter kamu ke rumah Oma."
"Papa?"
"Kalau Papa Kamu aku enggak tau."
"Ada apa di rumah Oma? Oma sakit?"
Aku rasa Natamael pun tak tahu lebih banyak dari yang telah diceritakannya padaku, dia hanya menggeleng sebelum menuntunku ke dalam rumah.
"Kamu mau di sini atau nginep di rumahku?"
Sebelum memberiku waktu untuk menjawab, Natamael kembali melanjutkan, "Di rumahku banyak orang, kok, nanti kamu bisa tidur sama Leca. Aku bawa kamu ke sini soalnya ada barang yang harus diambil, kata Mama ada di bawah bantal kuromi. Kamu bisa sekalian bawa baju buat dibawa ke rumah Oma."
Leca adalah nama adik perempuanya Natamael, aku sudah mengenalnya cukup baik, sebaik aku mengenal adik-adikmu, Sabiru.
Aku sama sekali tidak meragukannya saat dia bilang di rumahnya ada banyak orang, tetapi kurasa kamu yang akan meragukannya saat membaca bagian ini. Sejak usia lima belas tahun, Natamael menjadi yatim-piatu, kemudian ia dan adik yang sangat dicintainya itu diasuh oleh Kakek-Neneknya. Juga seorang perempuan yang sebentar lagi menginjak usia kepala empat yang ia panggil tante.
"Aku di sini aja deh, Nat."
Kulihat Natamael hendak membantahku, jelas sekali dia merasa keberatan, dia juga tahu aku penakut, Sabiru. Dia mulai tahu aku sebaik kamu.
Sebelum apa-apa yang akan keluar dari bibirnya, aku lebih dulu menyela, "Aku berani, kok."
"Aku yang enggak berani, Re. Mama titip kamu sama aku, aku harus jagain kamu, pastiin kamu baik-baik aja."
"Aku enggak akan kenapa-kenapa, Nat."
"Di rumah aku aja, ya? Kamu banyak yang jagain kalo di sana."
Banyak yang dikatakan Natamael kali ini benar-benar dalam artian banyak. Ada banyak pekerja di rumahnya yang akan ikut menjagaku juga, tetapi menjagaku dari apa?
"Nat...."
"Re...."
Aku menghela napas pelan. "Kamu aja yang nginep di sini, ya? Jagain aku."
"Nanti Mama mikirnya macem-macem, Re."
"Ada CCTV kan, Nat. Nanti kamu tidurnya di kamar tamu, eh jangan-jangan, kejauhan dari kamarku. Di ruang keluarga deket kamarku mau? Sofanya empuk, kok."
Aku ingin tertawa sendiri karena usahaku menahan Natamael di sini, seperti sedang menahanmu agar mau mempertahankan hubungan mustahil kita. Akan tetapi, aku tidak terlibat perdebatan yang alot dengannya. Natamael segera menyetujui permintaanku dan mulai sibuk memilah-milah stasiun televisi yang akan menemaninya tidur.
Aku terbangun setelah beberapa jam terlelap dan langsung merasa haus. Ketika melewati ruang keluarga, aku mendapatinya masih terjaga dengan tatapan kosong juga segelas kopi. Dia tidak menyadari kehadiranku sampai aku mengambil alih tempat kosong di sampingnya.
"Loh, Re? Kamu kenapa? Mimpi buruk?"
Natamael menyampirkan beberapa anak rambutku ke belakang telinga, berusaha melihat wajahku dengan jelas sembari mencari-cari gurat gelisah bekas mimpi buruk. Namun, aku tidak mimpi buruk. Kenyataan yang lebih buruk.
"Kamu kok belum tidur?" tanyaku sambil menguap dan masih merasa haus, tetapi malas sekali rasanya untuk kembali beranjak hanya demi segelas air.
"Belum ngantuk."
"Gimana mau ngantuk kalau minum kopi."
Dia terkekeh mendengar penuturanku. Bermodal cahaya televisi, aku menemukan jejak air mata di pipinya. Hatiku mencelus, rasa bersalah itu kembali bertandang. Apa mungkin dia baru saja menangisi perbuatanku? Apa dia sebegitu cemburunya?
"Kamu kenapa, Nat?"
Lalu, seperti perbincangan-perbincangan dini hari orang-orang pada umumnya, kami terlibat sebuah pembicaraan yang cukup berat. Untuk pertama kalinya, Natamael membahas tentang mendiang sang Ibu dan satu nama yang terdengar sangat familier di telingaku.
"Namanya Abraham, dia ayah tiriku, yang pertama kali dan terakhir kali memberi lebam pada wajah Ibuku."
Aku ingat pernah mendengar nama itu dalam kalimat yang kurang lebih sama.
"Namanya Abraham, dia ayahku, yang setiap malam membuat wajahku biru-biru. Mungkin itu sebabnya namaku Sabiru."
***
1235 words
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro