Chào các bạn! Vì nhiều lý do từ nay Truyen2U chính thức đổi tên là Truyen247.Pro. Mong các bạn tiếp tục ủng hộ truy cập tên miền mới này nhé! Mãi yêu... ♥

3. di bangsal yang sama

Semesta memang bekerja dengan cara paling menyebalkan dan paling sulit diprediksi. Kita tidak pernah tahu apa maksud semesta terus mempertemukan kita di kebetulan-kebetulan selanjutnya. Di pemberhentian-pemberhentian berikutnya.

Hari ini, harusnya aku sedang kencan bersama kekasih baruku, Natamael, tetapi malah berakhir di bangsal rumah sakit bersamamu.

"Kamu enggak papa, Re?"

Aku memeriksa beberapa lebam di tanganku sebelum menggelengkan kepala. Rasanya memang sedikit sakit, tetapi tidak setelah dokter mengobati lukaku, tetapi tidak ketika ada kamu di sisiku.

Bahkan, kalau boleh bersikap hiperbolis, rasanya kecelakaan kecil pagi ini adalah anugerah besar bagiku. Aku senang berada dekat denganmu, tak peduli permainan macam apa yang tengah digelar semesta.

Aku akan tetap mencintaimu seperti anak kecil.

"Luka kamu lebih parah, Sabiru," tuturku seraya memiringkan kepala, menoleh ke ranjang di sebelahku. Ke tempatmu berada.

Kamu tersenyum manis, manis sekali, Sayang. "Ini luka kecil. Minggu depan juga sembuh."

Setelah itu, kita kompak membiarkan keheningan bertakhta. Kita berbaring selagi membiarkan sepasang mata milik satu sama lain berbicara.

Kamu adalah yang pertama kali mengulurkan tangan, tetapi aku yang menggenggam tanganmu paling kuat. Baik aku ataupun kamu sama sekali takmau beranjak, padahal dokter yang mengobati luka kita sudah memberi izin untuk pulang.

Namun, ada luka lain yang tak bisa diobatinya, yang membuat kita enggan meninggalkan bangsal. Sebab rasanya, dibatasi nakas rumah sakit jauh lebih baik daripada dihalangi takdir. Kita sama-sama tidak mau kembali ke dunia itu, bukan begitu, Sabiru?

Kenyataan sangat mengerikan.

"Kamu ada hubungan apa sama Mbak Mira?"

Akhirnya aku memiliki nyali untuk menanyakan hal ini.

"Kamu kenal Mbak Mira?"

Aku menganguk. "Dia atasanku di kantor."

"Oh, aku ada urusan kerjaan sama dia, baru kenal beberapa hari yang lalu."

"Ohhh."

Aku sungguh tidak tahu harus menanggapi seperti apa, interaksimu dengan Mbak Mira memang tidak sedekat aku dan Natamael. Akan tetapi, aku cukup yakin cepat atau lambat kalian akan mengakrabkan diri. Tiba-tiba saja aku juga tidak mau kamu bersama Mbak Mira, atau dengan perempuan mana pun juga.

"Sabiru." Aku memanggilmu dengan suara pelan, dengan upaya menekan rasa tidak percaya diri.

"Kenapa, Re?"

"Aku cemburu."

Senyum tipis terukir di wajahmu, sedangkan jari-jarimu sibuk mengelus punggung tanganku. Aku tahu kamu pasti mengalami hal yang lebih menyesakkan, kamu pantas merasa lebih cemburu, tetapi aku tidak bisa menahan diri. Aku bahkan ingin bermanja-manja padamu, aku ingin terus bilang kalau aku cemburu. Lalu kamu akan menenangkanku, kamu akan berkata bahwa hanya ada aku dan akan selalu seperti itu.

"Pulang yuk, Re."

Aku berhasil menahan genggaman tangan kita saat kamu berusaha beranjak dari tempat tidurmu. "Aku belum mau pulang."

"Kita ke bengkel, benerin motor kita. Aku liat motormu cukup parah tadi, kalau motorku kayaknya masih bisa dip—"

"Boncengin aku, ya?" aku menyela ucapanmu tanpa malu-malu, lantas tersenyum girang saat kamu menganggukkan kepala.

Aku akan memelukmu lagi, Sabiru. Akhirnya.

***

Aku tidak begitu peduli dengan kondisi motorku, semakin lama waktu yang dibutuhkan untuk memperbaikinya, maka semakin banyak pula waktu yang bisa kita habiskan bersama.

Seperti katamu, motormu tidak rusak parah. Tidak butuh waktu lebih dari setengah jam untuk memperbaikinya. Dengan begitu, selagi menunggu motorku diperbaiki, aku bisa mengulur waktu dengan cara yang sama yang pernah kulakukan di Dieng.

Kubilang, aku lapar dan ingin segera memberi cacing-cacingku makan. Layaknya seorang pacar sungguhan, dengan sigap kamu membawaku ke sebuah warteg.

"Rasanya enggak kalah enak sama makanan di restoran kemarin."

Aku menganguk-ngangguk antusias. "Bakal jauh lebih enak. Kamu liat, tuh, sambelnya. Aku jadi makin laper."

Elusan kecil hinggap di kepalaku, membuatku semakin ingin menempel padamu. Dan aku melakukannya. Benar-benar melakukannya.

"Kamu enggak lagi diet, kan?"

Aku tak henti-hentinya tersenyum bak orang sinting. "Enggak, mana pernah sih aku diet?"

Menu makan siang kita cukup sederhana, telur dadar, perkedel, lalapan, dan sambal ulek kesukaanmu. Akan tetapi, rasanya berkali-kali lipat jauh lebih enak daripada olahan seafood yang kemarin.

"Aku pernah belajar bikin sambal kayak gini." Aku berujar sembari menuangkan sesendok sambalnya lagi.

"Sekarang udah bisa?"

"Emh—iii aku mau bumbu ayamnya."

"Ini?"

"Em-hem."

Kamu menuangkan bumbu ayam kecap ke piringku dengan telaten, sambil menawariku menu-menu yang lain.

"Udah bisa, tapi aku enggak yakin kamu bakal suka rasanya."

"Loh, sejak kapan aku enggak suka masakan kamu?"

"Kalau begitu kamu mau cobain?"

"Emangnya boleh?"

"Boleh, nanti aku antar ke kost kamu, aku bikinin ayam kecap juga."

Tidak ada jawaban ataupun anggukan kepala yang aku dapatkan, kamu pura-pura sibuk dengan makanan di piringmu. Aku memiliki firasat buruk tentang ini. Kurasa kamu sedang menolakku.

"Sa?" panggilku berusaha mendapat jawaban darimu.

"Jangan, ya, Re. Kita ketemu di kebetulan yang berikutnya aja."

***

746 words

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro