Chào các bạn! Vì nhiều lý do từ nay Truyen2U chính thức đổi tên là Truyen247.Pro. Mong các bạn tiếp tục ủng hộ truy cập tên miền mới này nhé! Mãi yêu... ♥

2. another two dots

Kamu benar, Sabiru. Aku tak ingin mengungkapkannya dengan sederhana, sebab walau tak mendekati sempurna, kamu adalah bukti nyata dari sesuatu yang kunamai bahagia.

Aku akan duduk berlama-lama sampai menemukan diksi yang tepat, aksara yang sesuai untuk menjabarkan teduhnya sorot matamu. Dan ketika kamu bilang tulisanku berhasil membuatmu terpana, aku senang bukan main dibuatnya. Apalagi saat tahu kamu masih suka membaca tulisan-tulisanku yang terbit dengan nama pena baru.

Tetaplah menjadi pembaca setiaku, Sabiru. Kisah tentang kita tak akan pernah rampung aku ketik, sebagaimana perasaan ini tak kunjung bertemu titik.

"Re, puisi-puisi yang gue kirim ke email lo jangan lupa dikurasi, ya."

Dia Miranti, atasanku di kantor yang terkenal tidak suka basa-basi. Di divisiku, dia adalah salah satu orang yang paling aku segani. Kendati demikian, kamu tahu, Sabiru? Ada sedikit tentangnya yang mengingatkanku padamu.

"Iyaaa, Mbak Mira."

Di antara banyaknya karya sastra yang bisa diselami, Mbak Miranti lebih senang berkutat dengan buku-buku kiri. Ia tahu banyak sastrawan Indonesia, cukup banyak untuk bisa mengobrol denganmu dalam waktu yang sangat lama.

Denganku yang banyak bedanya saja kita bisa berbincang ngalor-ngidul tanpa merasa bosan, apalagi dengan seseorang yang memiliki banyak kesamaan. Tak jarang aku merasa kalian cocok, kadang berpikir aku akan baik-baik saja kalau kamu bersama Mbak Mira.

Aku tidak mau kamu salah memilih pengganti, setidaknya jangan seperti si Nesa rekan kerjaku yang paling suka bergosip, atau si Naya yang tak tahu tentang patriarki, atau jangan seperti Kinan yang dulu naksir kamu setengah mati.

Namun, kurasa kamu tahu kalau sebenarnya aku hanya tidak ingin melihatmu ada dalam hubungan baru. Aku tidak suka saat mendengar tentang kabar yang satu itu. Kamu belum boleh melupakanku, Sabiru. Jangan....

***

3 bulan 3 hari 13 jam dan aku masih belum bisa menerima Natamael sebagai seseorang yang harus aku cintai. Aku belum bisa membiarkannya duduk di singgasanamu. Sosoknya masih menjadi sesuatu yang begitu asing, begitu sulit kupahami. Namun, kamu benar, Sabiru. Natamael tahu betul cara memperlakukan perempuan, bahkan bukan hanya kepadaku, tetapi juga perempuan-perempuan yang lain. Saking pandainya, dia lebih sering dicap playboy dan beberapa julukan jelek lain. Entah dari siapa kamu mendapat julukan yang cukup bagus untuk disematkan padanya.

Kamu tahu, Sabiru? Aku tidak pernah merasa yakin tentang keseriusan Natamael pada hubungan kami. Boleh jadi, itu sebabnya aku sering menyelipkan namamu di setiap perbincangan. Kukira tak satu pun tentangmu akan menyakitinya. Akan tetapi, hari ini, dengan sorot sendu ia mengajukan sebuah tanya, "Kamu udah sayang sama aku, Re?"

Dalam beberapa dentingan jarum jam, aku hanya terdiam. Aku teringat padamu, Sabiru. Aku masih mencintaimu dan merasa ragu apakah masih ada ruang untuk nama yang lain.

"Maaf, ya, Nat."

Hanya kalimat itu yang bisa kuberikan pada Natamael. Aku tidak berharap ia akan mengerti, toh sedari awal aku sudah mengatakannya. Tentangmu dan tentang usahanya yang berkemungkinan gagal.

Dia tidak menangis sepertimu, Sabiru, matanya malah menyipit selagi tersenyum ke arahku. Kurasa dia hanya berusaha menutupi rasa sakitnya, tetapi bahkan aku tidak yakin ia sakit hati. Dia terlalu pandai berpura-pura, dia tidak akan membuat dirinya terlihat semenyedihkan kamu kalaupun memang benar mencintaiku.

"Gapapa. Aku masih punya dua bulan dua puluh tujuh hari lagi, kan?"

Aku mengangguk dan membiarkannya tersenyum jauh lebih lebar. Enam bulan. Enam bulan adalah waktu yang dimintanya untuk merebut posisimu, Sabiru. Dengan gaya amat percaya diri, dia bilang bisa membuatku melupakanmu hanya dalam kurun waktu tersebut. Kalaupun aku tidak sampai melupakanmu, dia yakin aku akan mencintainya.

Sorot sendunya yang tadi, menghilangkan sedikit kepercayaan dirinya, dan mungkin tidak akan lama lagi, aku akan benar-benar merenggutnya.

Namun, sesekali, terkadang, hanya sesaat, aku pikir dia akan berhasil. Sebab kami berdoa pada Tuhan yang sama.

Tak berselang lama Natamael kembali bersuara, "Selain kencan terakhir kalian, kencan yang kayak gimana yang menurutmu paling berkesan?"

"Jangan tiru Sabiru, kamu enggak akan berhasil kalau begitu."

Selagi tangannya sibuk mengupas udang untukku, dia terkekeh kecil. "Kamu sok tau. Kalau aku tanya buat menghindari dan bukan buat niru kencanmu bareng Sabiru gimana?"

Aku ikut tergelak mendengar penuturannya. "Aku tetep enggak mau jawab."

"Emm, gimana kalau buat kencan kita sendiri?"

"Ini kan kita lagi kencan, Nat." Mulutku penuh dengan makanan berbagai macam olahan seafood, hingga barangkali jawabanku terdengar tidak jelas.

Namun, agaknya masih dapat dimengerti Natamael, terbukti ia masih membalas, "Entah, makanya aku tanya kamu."

"Bukannya kamu lebih jago dari aku? Masalah kencan mah perkara sepele. Mantan kamu banyak, pengalamannya juga pasti banyak."

"Kan gak ada yang kayak kamu, Re."

"Aku yakin kamu pernah ngomong begitu ke mantan-mantanmu."

Aku baru saja menyindirnya, tetapi lelaki bermata sipit itu malah tertawa geli. Mungkin lelucon seperti itu sudah biasa baginya. "Justru karena pengalamannya banyak, aku mau yang sedikit berbeda."

"Sedikit berbeda?" tanyaku yang langsung dijawab anggukan kepala olehnya.

Di mataku, hubungan kami memang sudah sedikit berbeda. Caranya mengajakku berpacaran sudah tidak biasa. Kamu mungkin akan mengiara ia memaksaku atau bermodal tampang menyedihkan, tetapi Natamael tidak seperti itu, Sabiru.

Aku akui dia memang sedikit berbeda.

"Sedikit berbeda dan yang enggak pernah aku lakuin sama Sabiru?" Aku bertanya lagi, memastikan, dan segera dijawab anggukan kepala.

"Ke gereja, Nat," lirihku dengan suara pelan. Tentu saja hal itu adalah hal yang tidak pernah kita lakukan, kamu tidak mungkin mau menginjakkan kaki di rumah Tuhanku.

Sementara Natamael membalas dengan penuh antusias. "Ayo, besok, ya?"

"Kamu serius?"

"Aku selalu keliatan main-main ya di matamu?"

Dia berhasil membuatku tergelak dengan kalimat itu, dan hanya butuh satu kedipan mata untuknya ikut tertawa bersamaku.

Seperti itulah kamu melihat kami, Sabiru. Di sebuah restoran seafood, di meja paling pojok, duduk sepasang kekasih yang tertawa penuh sukacita. Hanya selang beberapa detik kemudian, pandangan kita bertemu. Tak jauh dari tempatku, kamu duduk bersama orang yang aku segani, Mbak Miranti.

***

934 words

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro