1. sabiru's point of view
Sayang, dua tahun kita berpisah dan aku menjelma sebagai laki-laki serampangan. Di matamu, barangkali aku terlihat menyedihkan, dan memang menyedihkan. Aku masih payah, Sabirumu yang payah.
Setelah pertemuan kita di kedai kopi beberapa hari lalu, semesta kembali menuntunku padamu. Kali ini, di sebuah toko buku bekas yang kutebak sudah menjadi tempat favoritmu. Kamu menggenggam novel The Poppy War karya R.F. Kuang, membolak-balik halaman. Mungkin sedang memeriksa adanya coretan atau boleh jadi, kamu sedang mencari Altan Trengsin, lelaki yang katamu mengingatkanmu padaku. Sebab, untuk apa kamu mengambil novel itu padahal sudah pernah membacanya kalau bukan karena Altan?
"Sabiru!" Kamu sedikit memekik saat menemukanku tak jauh dari posisimu berdiri.
Aku tersenyum, meski rasanya sorot mataku berkata jauh lebih lantang. Degup jantungku kehilangan tempo normalnya ketika kamu berjalan mendekat. Beberapa helai anak rambut yang nyaris menusuk matamu tertiup angin, tanganmu meremas tali tas selempang entah untuk alasan apa. Kalau boleh berlagak percaya diri, kurasa karena debar jantungmu pun sama kacaunya dengan milikku.
"Hai," kamu menyapa dengan cara yang kaku.
Dan aku tersenyum dengan cara yang lebih kaku. "Hai."
"Sudah lama di sini?"
Aku menganguk. Sudah sedari tadi aku memperhatikanmu, Sayang. Sudah sedari tadi aku menahan diri untuk tidak lari ke pelukanmu.
"Kamu lagi cari Altan?"
Pertanyaanku sukses membuatmu tertawa, matamu semakin menyipit saja. Aku suka.
"Em-hem, dan ternyata Altanku ada di sini," balasmu setelah tawa cantik itu mereda, sambil menatapku dengan cara yang sama seperti saat kamu tidak mau pulang dari Dieng Culture Festival. Matamu terlihat berkilauan air mata, tetapi kurasa milikku jauh lebih parah. Sebab aku payah menyembunyikannya. Paling payah di antara kita.
"Aku enggak mau jadi Altan," ungkapku sembari mati-matian menahan keinginan untuk mengelus rambutmu.
"Kenapa?"
Aku mengukir senyum tipis, tak mungkin kamu tak tahu, Sayang. "Karena Altan meninggalkan Rin."
Segera setelah aku menyelesaikan ucapanku, kamu memalingkan wajah, menghindari tatapanku dengan cara paling sia-sia.
"Kamu membacanya?" tanyamu setelah beberapa menit berlalu dalam hening.
Aku mengiyakan pertanyaanmu. Dua tahun, Re, dua tahun aku berusaha memenuhi hidupku dengan hal-hal tentangmu. Novel-novel kesukaanmu, es krim stroberi favoritmu, bahkan daftar putar laguku berisi lagu-lagu Stray Kids, boyband yang paling kamu kagumi. Dan yang paling membuatku iri hati.
"Tapi Rin mencintainya," ujarmu dengan suara sedikit serak.
"Jadi apa kamu masih mencintaiku?" Pertanyaan itu keluar begitu saja dari mulutku, membuatku menunggu dengan harap-harap cemas, walau agaknya jawaban yang kucari sudah jelas.
Kamu tidak menjawab, kamu diam saja, kamu memalingkan wajah, dan kamu malah mengalihkan pembicaraan bermodal satu pertanyaan, "Kamu lagi cari buku apa?"
Aku menurut, tidak akan lagi aku ajukan pertanyaan serupa. Aku akan mengikuti ke mana pun kamu mau membawa perbincangan kecil kita.
Yang mengingatkanku padamu.
Aku ingin menjawab seperti itu, tetapi cukup tahu diri untuk tidak melakukannya pada pacar orang lain.
"Beberapa buku karya Eka Kurniawan. Kamu sering ke sini?"
Aku berlagak sesantai mungkin, berjalan menyelami rak demi rak, berakting mencari-cari novel padahal sedang berusaha menetralkan suasana. Menetralkan perasaan yang kadarnya masih sama. Meski aku tidak yakin akan berhasil.
"Em-hem."
Kamu mengekor di belakangku, memperhatikan setiap judul buku yang berhasil menarik tanganku.
"Sendirian?" tanyaku sambil menoleh ke arahmu, ke sorot hampa yang ada di matamu.
Aku tidak bisa menebak apa yang tengah kamu pikirkan, membacamu bukan lagi hal yang bisa aku lakukan. Entah atas sebab apa pertanyaan sederhanaku membutuhkan waktu cukup lama untuk siap kamu jawab.
"Aku ke sini sama Natamael."
Ah, aku mengerti sekarang. Tidak usah sungkan seperti itu, Sayang, tanpa mendengar namanya pun aku sudah sangat menyedihkan. Terkadang aku berusaha ikut bahagia dengan hubungan barumu. Kudengar, Natamael orang yang baik, dia pandai memperlakukan perempuan dengan cara-cara yang menawan. Sayangnya, usahaku ikut bahagia itu selalu berakhir dengan gagasan bahwa aku juga memperlakukanmu dengan baik, aku mencintaimu dengan cara-cara seindah senja. Lantas apa yang membedakanku dengannya?
Ah, aku hampir lupa. Tuhan kita berbeda.
Sebisa mungkin aku terlihat biasa saja, bak tidak terpengaruh dengan nama pacar barumu, aku takut kamu muak melihatku tampak menyedihkan.
Aku menganguk seolah tak peduli. "Sekarang dia di mana?"
Kamu berjalan mendahuluiku, menuju tempat yang lebih sepi pengunjung untuk menjawab, "Beli plester dan sandal buatku, kakiku lecet."
Segera saja aku melihat ke sepasang kakimu yang mengenakan flat shoes hitam, tampaknya sepatu itu kekecilan. Aku ingat sudah lama sekali kamu membelinya, tetapi meski tampilannya tak sebagus dulu kamu masih sering memakainya. Sepatu favoritmu, untuk kencan bersama kekasihmu.
Dengan keberanian yang entah datang dari mana, aku menggenggam tanganmu, menuntunmu ke luar toko buku dan memintamu duduk di bangku panjang yang ada di sana. Kamu tidak protes saat aku melepas sepatumu tanpa izin, kamu diam saja saat aku menempelkan plester di kakimu. Seakan kamu juga rindu atas sentuhan-sentuhan kecilku.
Aku sendiri rindu, ingin sekali mengisi ruas-ruas jarimu sesering dulu.
"Kamu masih suka bawa plester?"
Aku sedang memakaikan sepatumu saat kamu bertanya demikian, hanya anggukan kepala yang aku berikan sebagai jawaban. Kamu pasti masih ingat alasanku selalu membawa plester ke mana pun aku pergi. Ingatanmu masih menyimpan sedikit saja tentangku 'kan, Sayang?
"Untuk siapa?"
Masih dengan posisi berjongkok di hadapanmu, aku mendongak sembari berkata, "Untuk siapa saja yang aku temui dan membutuhkannya."
Kamu menatapku dengan sangsi, aku yakin kamu tidak percaya. Aku yakin kamu lebih suka aku menjawabnya dengan, "Untuk kamu, barangkali kita akan bertemu" dan memang seperti itu jawaban yang ingin aku berikan.
Aku tidak berniat mengubah posisiku sekarang, aku suka melihatmu dari sudut pandang seperti ini.
"Natamael itu seperti apa?" tanyaku selagi berusaha menyelami lautan di matamu.
Kamu tidak langsung mengutarakan jawaban, kamu juga tidak membalas tatapanku. Kepalamu menengadah, sibuk memandang langit biru nan jauh di sana.
Aku kenal arti dari sorot matamu yang satu itu, ternyata aku masih mahir membaca binar netra indah milikmu. Namun, aku harap aku keliru, semoga kamu memang sudah banyak berubah. Semoga senyum tipis di wajahmu hanya ilusiku. Semoga kamu tidak sedang jatuh cinta.
Lama kamu terdiam hanya untuk kemudian berujar, "Dia baik."
Padahal kamu tidak suka mendeskripsikanku sesederhana itu. Kamu bilang, kamu tidak ingin menarasikan rasa cintamu padaku dengan cara sederhana, dan kamu selalu berhasil menemukan diksi-diksi indah yang membuatku terpana. Kamu selalu berhasil membuatku merasa jadi yang paling beruntung.
Namun, kenapa kamu mendeskripsikan Natamael sesederhana itu? Setelah kamu terlihat sangat bahagia saat memikirkannya. Kamu juga tampak sangat mengaguminya. Kenapa, Re? Apa kamu tak menemukan diksi yang cukup indah untuk menggambarkannya? Apa dia memang semenakjubkan itu?
Kini kamu membalas tatapanku, masih dengan binar yang sama dengan senyum yang lebih lebar.
Aku akui aku cemburu.
***
1062 kata
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro