Chào các bạn! Vì nhiều lý do từ nay Truyen2U chính thức đổi tên là Truyen247.Pro. Mong các bạn tiếp tục ủng hộ truy cập tên miền mới này nhé! Mãi yêu... ♥

Bab 6

Semua itu cuma topeng. Lo enggak akan tahu seseorang itu manusia atau siluman sebelum dia ngasih izin lo lihat watak aslinya.
—Yellow—

Aku berjalan menghentak. Kesal bukan main sama siluman ular itu. Dia mengeluh harus berjalan kaki ke POM bensin yang jaraknya kurang dari seratus meter dari gerbang kampus, padahal dia yang butuh ke mini market. Dia pula yang menyuruh aku beli obat dan bayar sendiri, sementara siluman itu asik merokok di parkiran motor.

"Nih." Aku mengangsurkan kantong belanjaan. Wajahku kusut karena terpaksa merogoh uang jajan untuk yang bukan kebutuhanku.

"Lo beli Fungiderm?" Ken mengangkat salep itu dengan ekspresi ngeri.

"Kita bisa eksperimen kemampuan Fungiderm buat luka lo, Bang," balasku iseng. Aku menahan tawa karena sukses bikin Ken mengabsen nama hewan.

"Bantuin!" Ken mendorong Betadine dan aku tepis seketika. "Pacar enggak mau ngobatin aku?" Ken mulai akting menjijikan.

"Tangan lo enggak patah, Bang." Aku melirik sinis pada batang rokok di jepitan jarinya. "Rokok aja lo bisa. Jangan alasan enggak bisa ngoles Betadine deh. Udah gue beliin kapas juga tuh."

"Facial cotton banget?" Ken tersenyum mengejek. "Lo beneran bego caranya mengobati luka ya. Pinjam cermin."

Mana ada cermin dalam tasku. Tampang Ken mulai siap menghujat begitu sadar aku enggak punya cermin, tapi aku tangkis dengan mengambil kapas dan Betadine dari tangannya.

"Auw!" Ken menjerit di saat aku sedang menotolkan kapas yang dituang Betadine ke sudut bibirnya. "Pelan-pelan," perintahnya.

"Udah, Bang," kataku cuek. Aku merapikan kantong belanjaan yang nangkring di atas jok motor entah punya siapa. Ken mengembuskan asap putih, membentuk gumpalan yang perlahan lenyap ditiup angin sore.

"Kenapa?" Ken mendelik. Ini sosok aslinya, sejuta persen beda dari pencitraan di hadapan orang-orang.

"Lo ngerokok," kataku rada takut. Dia itu kalo melotot kayak kucing bunting yang siap mencabik mukaku.

"Ada masalah?"

Aku menggaruk tengkuk. Awkward banget situasi kami. Enggak dekat tapi malah berdua di parkiran. "Ya, kan enggak baik buat kesehatan."

"Mana yang lebih berbahaya, merokok atau malas olahraga?"

"Ya merokok lah," jawabku mantap. "Iklan rokok aja enggak boleh ngasih tunjuk orang yang merokok, terus peringatan dampak merokok ada di tiap kotaknya."

Ken tertawa kecil. "Bocah, bocah," gumamnya sambil menggeleng. "Lo cari tahu sendiri mana yang lebih bahaya antara merokok dan malas olahraga. Ada penelitiannya tersebar di internet."

"Walau lo enggak terang-terangan ngomongin, lo mau bilang malas olahraga lebih berbahaya buat badan?"

Ken mengedikkan bahu, lalu membuang pandangan ke Senayan City yang menjulang di seberang. Aku mengamati siluet wajah Ken. Hidungnya enggak seindah milik Jeno NCT, tapi bentuknya lebih baik dari rata-rata cowok yang aku kenal. Bibirnya tipis dan berwarna merah muda, enggak cocok untuk orang yang hobi ngebul. Rahang Ken tampak tegas dari samping. Aku akan menemukan lebih banyak alasan yang membuat para pengguna pembalut berpikir kalau aku layaknya kodok yang disandingkan pangeran saat ini. Dan hanya aku yang tahu pangeran satu ini aslinya siluman ular.

"Udah puas ngeliatin gue." Ken menoleh dengan gaya nauzubillah nyebelin. "Lo pasti mikir enggak nyesel jadian sama gue karena gue cakep."

Nah, sekarang aku ingin mengumpat oink oink. Sudah manipulatif, narsis lagi.

"Terserah lo aja, Bang. Gue cuma minta lo benerin gosip yang bilang gue ngerebut lo dari Kara. Palsu sih palsu, tapi jangan merusak karakter gue dong." Aku manyun teringat gimana dahsyat gosip itu merasuki kepala Pipit dan Tita. Bisa juga karena Pipit dan Tita yang gampang terhasut. Au ah, yang penting aku enggak mau disalahkan buat apa yang enggak aku perbuat.

"Gosip itu pasti mereda. Sabar dikit."

"Lo sabar karena lo enggak dianggap murahan," gumamku.

"Lo enggak murahan."

Aku tersentak pada ucapan Ken. Tumben nada bicaranya ada manis-manisnya kayak Le *ineral.

"Cuma rada bego aja." Ken terbahak, puas membuat aku mematung lalu retak dan pecah.

"Temen lo cuma Pipit dan Tita doang?"

"Nanya random banget," keluhku.

"Gue liat lo berkeliaran kampus ngebuntutin mereka. enggak punya temen lain? Apa enggak ada yang mau temenan ama lo?"

Rasanya JLEB. "Lo perhatian banget sampe tahu siapa-siapa aja temen gue," candaku sarkas.

"Karena lo selalu di pantat mereka, jadi gue notice keberadaan lo." Ken melirik pantatku. "Kalo lo enggak ada di dekat mereka, gue enggak akan sadar ada cewek rata begini. Di kosan makan kan?"

Dia berusaha membunuh karakterku. Tipe manusia yang pantas disebut racun dan buah simalakama. "Gue pulang," kataku tanpa minat memperburuk kesehatan jiwa.

"Ngambek?" Ken tidak patut dideskripsikan sebagai sedang bertanya ketika senyum mengejeknya terukir sempurna.

"Gue harus packing buat pulang ke rumah."

"Rumah lo dimana?"

Aku berhak curiga. Senior yang sering menganggapku bak cicak di dinding, tiba-tiba kepo pada profilku. Jelas banget ada rawit dalam takoyaki. "Jauh," jawabku.

"Oke, jauh. Tapi dimana?" Gelagat Ken enggak sabaran mulai naik ke permukaan. Andai aku cukup berani untuk merekam ekspresi jahatnya lewat hape dan disebarkan ke seantero kampus. Masalahnya, siapa yang bisa jamin Ken enggak akan merebut hapeku selama merekam hanya untuk dibuat home run.

"Bogor." Aku enggak ikhlas memberi tahu.

"Mau gue antar?"

Aku ingin terbahak. Sejak kapan siluman ular bermutasi jadi serigala berbulu domba?

"Enggak usah, Bang. Bokap gue jemput gue kok."

"Lo manja banget pake dijemput. Enggak bisa pulang sendiri? Naik kereta udah aman."

Naik kereta dengkul lo! Sentul woii Sentul! Dipikir Bogor seluas Senayan kali. Aku memutar bola mata. Enggak salah juga kalau dia beranggapan aku tinggal di Bogor yang nyerempet stasiun.

"Enggak apa-apa, Bang. Yang jemput gue masih bokap sendiri, bukan bokap tetangga." Cheesy dikit lah. Ken tertawa mengejek. Aku siap memanggul tas dan memutar tumit, yuk kabur dari jeratan setan.

"Eh, mau kemana?" Ken menahan pergelanganku.

"Pulang!" Aku merengek. Susah banget bebas. Aku janji bakal rajin sholat lima waktu, asal bisa kabur dari dia.

"Sini gue pesan taksi online buat lo." Ken menarikku ke dekat mini market, mematikan rokok pada tempat sampah, lalu merogoh hape di saku celana. "Apa nama kos lo?"

"Rumah Pelangi," jawabku penuh antisipasi.

"Dekat juga dari sini. Lo tunggu di sini dulu. Kalo mobilnya datang, jangan masuk sebelum gue balik."

Yang bego di sini siapa sih? Mana mungkin aku naik ke taksi online pesanan dia sementara aku enggak tahu dia pesan di aplikasi apa, gimana mobilnya, berapa nopolnya, dan siapa pengemudinya. Marah juga percuma, Ken sudah ngeloyor masuk minimarket. Aku mendesah, mungkin aku perlu lebih sering ibadah malam, mempertebal keimanan agar hasutan siluman enggak membuatku mati sebelum ada gelar sarjana dan nonton NCT dan punya pacar sungguhan dan pacaran di kota London sambil keliling naik bus dua tingkat terus menikah di Legoland dan punya anak dan melihat cucu menikah. Ya, itu aja.

"Taksinya mau nyampe. Nih." Ken muncul mendadak. Dia menyodorkan kantong belanjaan. Jiwa bos banget. Bawa kantong enteng begini, masih butuh tenagaku.

"Nah itu." Sebuah taksi berhenti enggak jauh dari tempat kami berdiri. Ken berjalan duluan, membuka pintu penumpang depan, dan berbicara sesuatu ke pengemudinya. "Naik sana. Ngapain bengong di situ? Jangan berharap gue bukain pintu buat lo."

Asyeeeeem!

"Gue bisa sendiri," kataku dongkol. "Ini belanjaan lo."

"Buat lo. Makan yang banyak di kosan." Ken menutup pintu penumpang depan. "Sekalian minum yang manis."

"Buat apa?" Antena waspadaku tegang. "Lo mau bikin gue diabetes?"

Ken tertawa kecil sambil mendorongku masuk mobil. Dia menjawab, "Lo keseringan jajanin Bambam tapi minumnya air putih atau teh tawar. Sesekali bikin senang lidah lo. Jalan, Pak."

"Eh, eh, eh." Aku panik. Dompetku cuma simpan cash dua puluh ribu. Gimana bayarnya? "Pak, ongkosnya berapa?"

"Udah dibayar sama pacarnya, Mbak," jawab Pak pengemudi sembari melajukan taksi.

Aku menoleh pada sosok Ken yang makin mengecil. Pandanganku turun ke kantong plastik. Aku membuka isinya dan menemukan beragam roti, jus, susu, marshmallow, cokelat, dan biskuit. Apa dia pikir aku missqueen people banget?

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro