Chào các bạn! Vì nhiều lý do từ nay Truyen2U chính thức đổi tên là Truyen247.Pro. Mong các bạn tiếp tục ủng hộ truy cập tên miền mới này nhé! Mãi yêu... ♥

Bab 5

Cukup Vidi Aldiano yang Status Palsu. Aku ke kamu itu kayak Andmesh. Cinta luar biasa.
—Gombalan pasca UAS—


Pipit dan Tita menarikku ke ujung koridor, lalu memaksaku duduk diapit mereka. Di bawah terpaan sinar matahari sore yang menyerang jendela di atas kami, aku sempurna untuk disebut lecek lahir batin. Kabar hubunganku dan Ken menyebar secepat Millenium Falcon.

"Sejak kapan lo dekat sama Ken?" Pipit bertanya untuk kelima kali.

Aku menghela napas dan kembali memberikan jawaban yang sama. "Gue enggak pernah dekat sama Ken."

"Tapi lo jadian sama dia!" Tita memekik histeris. "Ken enggak mungkin tiba-tiba nembak lo. Emangnya dia kesurupan!"

Memang dia kesurupan, kataku membatin. "Kenapa enggak nanya sama Ken?"

"Buat apa gue nanya Ken kalo gue temenan sama lo. Lagian lo sadar enggak, lo itu jadi trending di kampus? Disebut pelakor. Ada yang bilang lo itu setan di hubungan Ken dan Kara makanya mereka putus," cerocos Pipit menggebu.

Aku sudah dengar semuanya tanpa filter apa pun. Ini memang konsekuensi jadian sama Ken. Trik Ken menjadikan diri sendiri seperti korban pelet yang meninggalkan Julietnya karena aku si Maleficent mengirimkan guna-guna. Padahal aku ini bukan siapa-siapa. Lebih mirip hasil cap cip cup belalang kuncup dan dapat sialnya.

"Gue enggak begitu," desisku sambil memainkan tali sepatu.

"Lo harusnya cerita kalo selama ini suka sama Ken. Kalo kayak gini, kita juga enggak bisa bantu. Lo yang udah ganggu hubungan mereka. Kita cuma berharap lo siap nerima konsekuensi hubungan kalian."

Aku mengangkat kepala, membawa ekspresi tercengang. Tita dan Pipit pasti salah konsumsi obat. "Gue bukan kayak yang kalian pikir," belaku.

"Udahlah, Yel. Kita enggak marah. Cuma kaget dan kecewa aja lo enggak mau cerita sama kita," balas Tita.

"Tunggu. Kayaknya ada salah paham nih."

"Kita udah dengar, Yel."

"Dengar? Dengar apa?" Aku panik pada tatapan iba mereka.

"Lo pernah kaya gini pas SMP." Pipit yang berbicara setelah bertukar pandang dengan Tita.

"Lo rebut pacar kakak kelas lo."

"Bukan!" Aku menjerit. Gosip ini keterlaluan, merambah ke sektor yang enggak relate. Aku enggak bisa bertahan di sini dan mendengar lebih banyak gosip yang menyebar. "Gue enggak kayak gitu," kataku frustasi. Aku berdiri lantas meninggalkan mereka. Kepalaku mumet. Kalau Pipit dan Tita sampai enggak percaya, aku sudah enggak bisa mentoleransi perbuatan Ken.

Dia harus bertanggung jawab.

BUK!

Aku melompat ke belakang pohon. Kaget bukan main melihat dua orang pria saling baku hantam. Aku mengintip takut-takut, mempertimbangkan kabur atau ngumpet yang lebih berisiko. Aku bukan pemain lakon yang tergugah melerai maupun memanggil pihak keamanan untuk menghentikan pergulatan itu. Dahulukan keselamatan diri. Titik.

Di balik semak yang tersembunyi di antara pepohonan, Ken pasrah tidur di rumput dan dihantam bogem pemuda yang duduk di atasnya. Seandainya enggak ada bogem itu, aku pasti mikir mereka sedang main kuda-kudaan yang tanda kutip.

Setelah Ken lemas, pemuda itu bangkit sembari mengatakan sesuatu yang terdengar seperti Kara, berengsek, selingkuh. Aku segera menyembunyikan diri di balik batang pohon. Bibirku komat-kamit merapal doa, "Selametin aku dari setan, Ya Allah."

"Heh, ngapain lo di situ? Sini!"

Sayang sekali, nasib Yellow masih di status siaga bencana. Aku mengintip, memastikan siapa yang dipanggil Ken.

"Pacar baruku. Sini. Bantuin Ayang," kata Ken. Telunjuknya menginstruksikanku agar keluar dari persembunyian.

"Lagi piknik, Bang?" Aku bertanya absurd.

"Anj-" Ken berdehem. "Sayang, aku abis main penjahat dan polisi. Aku sakit nih dihajar penjahat. Tolongin aku dong."

Aku tersenyum sinis. Taman kosong begini, masih saja pencitraan. Siluman ular banget cowok ini. "Kenapa main penjahat dan polisinya enggak total sih?" Aku berani songong. Dipikir-pikir, buat apa sopan toh Ken bakal memanfaatkan aku tanpa keuntungan balik.

"Kurang asem." Ken berusaha berdiri. Dia meringis sembari meletakan tangan di perut. "Lo pengen lihat gue tewas di tangan Adit?"

Jadi cowok tadi Adit. Aku merasa familiar dengan tampang cowok itu tapi enggak kenal. Bisa jadi karena dia beda jurusan. Yang satu jurusan saja enggak aku hafal, apa kabar yang beda jurusan? Kita sebut saja Miss Mawar dan Mister A.

"Akh, bibir gue sakit banget," keluh Ken. Dia meludah darah dan mengabsen nama hewan. "Lo punya obat?"

"Ada."

"Sini."

Aku merogoh kantong depan tas dan mengangsurkan simpanan obat. Ken melotot.

"Lo ngasih gue Tolak Angin sirup?!"

"Dan Bodrex," balasku enggak terima.

Ken hendak tertawa, lalu meringis dan memegang sudut bibirnya yang berdarah. "Gue baru abis kena pukul, lo kasih Tolak Angin dan Bodrex. enggak sekalian olesin luka gue pake Fungiderm?" Ken berteriak, enggak lagi nampak kesakitan.

"Emang Fungiderm bagus buat orang babak belur?" Aku enggak tahu ada kasiat lain Fungiderm.

"Akh!" Ken menjerit. "Lo pura-pura apa beneran goblok sih?"

Aku berdecih. Bikin nyesal, harusnya aku bantu menghajar Ken tadi. Aku kan bisa saja timpuk kepalanya pakai batu pas lagi dihajar Adit. Barangkali tindakanku malah membebaskan semua kesialan ini. Aku putar badan, mending pergi.

"Tunggu." Ken mencekal pergelanganku. "Lo mau kemana?"

"Pulang," jawabku datar.

"Gue sekarat gini, lo malah pulang?" Ken bertingkah hiperbolis. Jelas-jelas dia sanggup teriak-teriakan. Pakai ngaku sekarat? Dasar siluman ular! Tukang manipulasi!

"Lo masih napas, bisa ngomelin gue, dan bohong kalo lo sekarat. Itu tiga tanda gue bisa ninggalin lo."

Ken memicing enggak suka. "Gue enggak bisa nyetir balik. Bantu gue cari obat."

"Ayo ke klinik."

"Enggak!" Ken menjerit panik. "Gue enggak mau narik perhatian orang."

Aku ingin tertawa miris. Dia bilang enggak mau menarik perhatian orang? Siapa makhluk astral yang kemarin mengumumkan perasaannya kepadaku di kantin dan membuat seisi fakultas mencapku sebagai setan pelakor?

"Ya udah, kantin deh." Aku ingat ada warung yang jual obat merah.

"Dibilang jangan narik perhatian. Cari toko di luar kampus."

"Mini market di POM bensin sebelah deh. Waktu itu gue liat ada Hansaplast di sana."

"Oke. Mana mobil lo?"

Aku menggaruk kepala sambil menjawab, "Gue enggak ada mobil, Bang."

Ken mendesah sedih. "Ya udah mana motor lo?"

Aku nyengir. "Enggak ada."

Kali ini, Ken mendelik. "Lo ke kampus naik apa? Ojek?"

Aku mengangguk kecil. Aku yakin ke kampus naik ojek itu enggak salah, tapi sikap Ken yang menatap horor membuatku tampak seperti pelaku kejahatan paling mengerikan sedunia.

"Lo enggak punya kendaraan?" Ken mengacungkan telunjuk. "Rambut berantakan." Jari tengahnya yang panjang bergabung. "Pakaian ngasal." Jari manisnya ikut menudingku. "Nilai pas-pasan." Kelingkingnya turut menghujatku. Aku menunggu jempolnya mengabsen kejelekanku berikutnya.

"Lo... ngekos?" Ken bertanya hati-hati. Alisnya mengerut.

Aku mengangguk ragu. Kayaknya aku punya kesan jelek banget.

Ken bertepuk tangan dan tertawa bahagia. Aku yang enggak paham apa-apa cuma melongo.

"Gue tepat milih lo," Ken memegang bahuku, "lo bukan tipe gue."

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro