Bab 14
Orang-orang gampang banget ganti status di KTP. Gue cuma mentok ganti status di sosmed doang T.T
ーMahasiswa dan skripsiー
Ketika Batman selalu bikin Joker gatal dan Ultraman harus mengurus monster raksasa ngamuk di tengah kota, aku terjepit di keduanya. Aku lagi bareng Bunda yang sewaktu-waktu bisa bertransformasi jadi monster raksasa pemarah saat aku melihat sosok Ken.
Spontan, Aku menarik Bunda ke Narumi. Bunda melotot, enggak terima ditarik kasar begitu.
"Maaf, Bun. Aku mau..." duh sebut apa aja. "Punya tea set dari Narumi."
"Buat apa?" bunda enggak percaya tapi mengikutiku memutari toko.
"Aku butuh buat minum teh bareng teman di kosan." Alasan geblek. Biar deh, yang penting bunda enggak komen dan malah bantu pilih-pilih sekalian jepret-jepret cantik buat bahan jastipnya.
Kami beli satu tea set Narumi dan satu box piring cantik yang isinya empat buah. Aku mendesah, campuran lega dan ngenes. Hidupku begini banget. Terpaksa bohong dan beli benda enggak berguna.
"Kita perlu beli TWG buat kamu stok di kosan," kata Bunda yang pimpin jalan ke lantai bawah.
"Enggak usah. Beli Sariwangi aja," tolakku yang sudah kepikiran tea set ini mentok aku pakai bersama Mbak Leha, Genta, dan Oca. Pipit dan Tita juga selera lidahnya lebih milih Chatime dibanding yang lain.
"Enggak boleh. Cangkir dan tekonya udah cantik. Sekalian dong minumannya selevel tea house."
"Aku enggak mau ke TWG," rengekku yang sudah capek gotong belanjaan dari Narumi. Pak Mul juga enggak mungkin dipanggil karena baru saja disuruh bawa belanjaan kami ke mobil sebelum aku lihat sosok Ken.
Eh, bisa aja yang tadi bukan Ken. Ye, kan? Fatamorgana bisa terjadi di tengah mal, dugaku.
"Kita ke Kemchick, sekalian kamu beli cake."
"Mau, Bunda!" gini yang bikin aku senang belanja sama bunda. Walau resek, dia oke-oke saja sama camilanku.
Kemudian petir menyambarku. JEGEEER!
"Hai, Ayang." Ken berjalan seringan bulu. Tangannya terangkat melambai. Senyumannya merekah semanis marshmallow. Dia lebih mirip malaikat dibanding manusia. Malaikat pencabut nyawa.
Aku dorong bunda menjauh. Ke mana aja asal Ken enggak ketemu bunda.
"Yang, mau kemana?"
Aku menoleh dan melempar tatapan lo.enggak.liat.ada.emak.gue?
Bunda enggak bodoh. Dia berhenti dan terang-terangan ngomong ke aku. "Dia siapa kamu?"
"Itu-"
"Halo, Tante. Maaf saya enggak memperhatikan. Saya Ken." Ken maju dan menawarkan tangan. Bunda ragu-ragu membiarkan tangannya dicium Ken.
Bunda tarik tangannya cepat. "Kamu panggil Yellow ayang. Kalian..."
"Teman."
"Pacar!"
Bunda menatapku dan Ken bolak-balik. Kalau begini, jelas akan ada investigasi setajam silet.
Aku belum siap.
Aku enggak SIAP!
AKU enggak PERNAH SIAP!!
Sepuluh menit berikutnya, rohku sudah dalam kondisi siap lepas dari raga. Bunda mengajak Ken ngeteh di Paul.
Bunda.ngajak.Ken.ngeteh.
De-mi-a-pa?
"Gimana kamu kenal Yellow?" Bunda memulai investigasinya.
"Kami satu kampus. Saya senior Yellow di jurusan bisnis," jawab Ken lancar.
"Hubungan kalian kayak gimana?" bunda enggak pakai ancang-ancang segera menyerang Ken. Aku menundukan kepala, ngeri mendengar jawaban Ken.
"Kami pacaran sejak tiga minggu lalu." Ken (lagi-lagi) menjawab tanpa dosa dan bikin aku merinding.
Aku ingin mengoreksi jawabannya jadi 'Kami pacaran bohongan sejak tiga minggu lalu'. Satu kata ketinggalan, salah paham jutaan umat manusia.
"Siapa yang nembak duluan?" bunda mulai bersikap dingin. Aku mengintip gestur bunda yang tampak kesal.
"Saya." Ken berbicara dengan mantap.
Aku ingin menambahkan, Ken nembak pake ngancam. Terus aku kena cekik Bunda karena mau-maunya jadi cewek dibegoin dan Ken disuruh mutusin aku. Tersisanya pertanyaan, emang aku berani ngomong begitu?
Ya jelas enggaklah.
"Kamu suka Yellow?" bunda lebih terdengar membuat pernyataan meremehkan dibanding melempar pertanyaan.
Aku makin menciut. Nyawaku benar-benar di ujung pecutan setan dan serudukan banteng betina. Keduanya sama-sama enggak ada yang lebih gampang mati.
"Kenapa saya enggak suka Yellow? putri Tante baik dan menarik. Siapa pun bisa mudah suka dengan Yellow." Ken membalas dalam suara lembut dan sikap sangat amat terlalu sopan.
Aku yakin nyawaku tinggal hitungan detik meninggalkan medan perang ini. Ken mingkem sebentar susah banget. Bunda hanya cukup setuju atau oke, pasti dia enggak akan mencecar ocehan yang aneh-aneh.
"Duduk yang tegak," perintah bunda tiba-tiba.
Aku menegakan badan dan duduk dengan kaku. Nyawaku tinggal sesenti dari jurang tanpa dasar.
"Minum ini." Ken menyodorkan cangkir teh padaku.
Siluman satu ini susah banget nahan diri buat pencitraan. Bunda enggak gampang terpengaruh.
"Makasih," desisku rada ngeri lihat tatapan dingin Bunda.
"Nama panjang kamu siapa?"
"Saya Kendrick Kartohadiprodjo. Anak pertama dari tiga bersaudara. Adik-adik saya tinggal bareng orang tua," cerocos Ken.
"Orang tua kerja apa?"
"Papa jualan dan Mama buka toko baju."
"Jualan apa?"
Ken melirikku, lalu senyum ke Bunda sebelum melanjutkan, "Jual mobil."
Jangan-jangan mobil Ken enggak boleh disentuh karena itu mobil jualan papanya. Nah, ketahuan.
"Mama kamu buka toko dimana?"
"Butik Esmee di Pondok Indah."
"Butik Esmee?" bunda berubah ekspresi. "Bunda pernah ke sana. Bajunya bagus dan harganya oke. Kamu anak yang punya berarti kamu anaknya Diana Karti."
"Tante kenal mama?" Ken menanggapi antusias.
Ini twist plot? Ini prank? Drama macam apa ini?
"Enggak kenal banget. Waktu itu Bunda dapat jastip pas sale akhir tahun butik Diana. Kita sempat ngobrol sebentar. Gimana kabar mama kamu?"
Aku menganga. Bunda yang dingin berganti dengan bunda bawel yang super ramah. Aku ingin berdiri sambil tepuk tangan. Bravo! Aku nyerah! Sini keluarin kameranya! Mana Uya Kuya? apa ini aksi Youtube Atta Geledek?
"Alhamdulillah sehat, Tante. Biasanya Mama memang bikin sale di akhir tahun dan aku bantu sedikit di butik. Kok enggak pernah ketemu Tante ya?"
Ken yang keagamaannya abu-abu seketika memanjatkan syukur yang terdengar soleh. Telingaku langsung gatal dan butuh obat tetes telinga.
"Bunda bukan pelanggan tetap. Sesekali aja ke sana. Oya, Ken panggil Bunda aja."
Aku meringis. Pada Pipit dan Tita yang jelas-jelas tahu borokku saja bunda enggak minta dipanggil bunda. Lah sama Ken yang baru kenal kurang dari setengah jam malah nyuruh panggil bunda.
Apa mungkin bunda ini bukan bunda aku? Bundaku yang asli bisa saja masih bergentayangan membombardir pertokoan di Korea.
Ken tertawa kecil. "Saya boleh panggil Bunda?" Ken mengonfirmasi sembari pasang wajah malu-malu yang mendorongku mencubit pahanya di kolong meja. Dia mendelik tapi tetap pasang senyum tiga jari.
"Iya. Kan kamu pacar Yellow. Santai aja sama Bunda. Omong-omong hasil UAS kamu gimana?"
Aku menggeleng ke Ken. Jangan kasih unjuk Bunda! pesan dari ekspresiku.
Ken mengangguk sekali. Aku tersenyum lega. Cuma kita lagi bahas siluman ular si biang kerok berkedok malaikat baik hati. Dia mengeluarkan hape dan menunjukan hasil UASnya ke Bunda.
Otomatis wajah Bunda langsung berbinar. Aku enggak perlu tahu hasil ujian Ken, yang pasti dia termasuk mahasiswa kesayangan segenap jajaran dosen. Sekarang Bunda ikutan menjadikan dia tampak spesial.
"Bunda titip bantu Yellow belajar ya, Ken. Sekalian jagain Yellow," kata Bunda mendayu-dayu.
"Tentu aja, Bun. Aku akan bantu Yellow belajar dan jagain dia." Balasan Ken melempar jiwaku terbang ke black hole.
Sandiwara ini kelewatan!
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro