Chào các bạn! Vì nhiều lý do từ nay Truyen2U chính thức đổi tên là Truyen247.Pro. Mong các bạn tiếp tục ủng hộ truy cập tên miền mới này nhé! Mãi yêu... ♥

Bab 10

Untung itu harga jual dikurangi harga beli.Buntung itu harga diri dikurangi kamu yang milih lari.
—mahasiswa bimbingan skripsi—

"Innalillahi!"

Aku tergesa menutup gorden. Sembarangan aku ambil jaket dan berlari keluar kamar. Aku enggak memedulikan keramaian ruang makan di lantai bawah. Aku hanya tahu harus cepat menuju ke sana.

"Hai, Ayang!"

Hari Sabtuku yang tenang lenyap. Terima kasih untuk malaikat pembunuh kecintaanku pada kasur kosan.

"Lo ngapain ke sini?" aku menarik Ken ke mobilnya yang nangkring depan pagar kosan.

Rumah Pelangi banyak ditempati mahasiswa dan mahasiswi kampus Satria. Aku ogah harus melihat interaksi siluman dengan mereka.

"Bang Ken!"

Aku melirik ke mobil yang berhenti di seberang kos. Seorang pemuda turun dan melambai lebay.

Lalu korban lain guna-guna siluman pun bertambah.

"Lo tinggal di sini?" Ken bertanya setelah lepas dari tarikanku.

"Main doang ke kosan Oca." Pemuda itu melirikku melalui bahu Ken. "Selamat pagi, pacar baru Bang Ken."

Aku merengut. Namaku kalah pamor dari gelar 'pacar baru Ken'.

"Lo kenal Gio?" Ken bergeser, membuatku bisa melihat teman Oca itu tanpa penghalang punggungnya.

"Temennya Kak Oca," jawabku jujur. Gio tampak kaget dan Ken menyeringai.

"Lo cuma kenal gue temennya Oca? Gue senior lo di jurusan. Yakin pengetahuan lo tentang gue mentok di situ? Kita pernah papasan di kantin. Lo juga demen makan bubur Bang Nas, kan? Gue tahu soalnya gue juga penggemar bubur Bang Nas." Gio mulai nyerocos aneh.

Mungkin inilah alasan Gio akrab dengan Oca. Mereka sama-sama enggak sampai di frekuensiku.

Ken menepuk bahu Gio. "Ntar lagi kenalan dan mengakrabkan hubungan kalian. Katanya lo mau main sama Oca. Sana, temuin guguk lo."

Gio nyengir lebar buat ungkapan Ken soal Oca. Aku memicingkan mata saking enggak paham kode apa yang lagi mereka buat sampai mesem-mesem enggak jelas gini.

Gio pamit masuk ke dalam kosan. Kemudian Ken menggiringku ke dalam mobil putihnya yang PANTANG TERKENA SENTUHANKU. Suwombong banget siluman ini. Kelayapan bawa Range Rover aja sampai enggak mengizinkan aku colek mobilnya.

Tipe apa sih nih mobil?

"Lo kenapa?" Ken mendelik saat aku meneliti dashboard. Barangkali ada tulisan saitik tipe mobil ini.

"Mobil gue sensitif dipelototin gitu," kata Ken lagi.

"Mobilnya, apa orang yang punya?" balasku yang kadung dongkol.

"Dua-duanya."

Aku berdecih. "Mobil lo tipe apa sih? Kayaknya berharga banget."

"Jangan sok-sok nanya kalo enggak sanggup beli," serang Ken.

Aku ingin berkata BATMAN, GUKGUK, OINK OINK, sekalian jambak mulutnya. Bisa banget siluman ini eksis di kampus dan dianggap orang baik.

"Mobil bagus enggak mencerminkan yang punya sama bagusnya," serangku balik.

Ken memutar mobilnya di bundaran Senayan menuju Jalan Pattimura. Dia enggak terpancing omonganku dan cuma terkekeh pelan.

Ini mencurigakan!

"Lo mau culik gue kemana lagi?" tanyaku penuh antisipasi.

"Temenin sebentar, tapi ...." Ken menoleh sambil melempar senyuman kecil. "Sekali ini gue minta tolong."

Ketika siluman bilang tolong pakai senyum, boleh dong aku cemas. Benar saja. Kecemasanku terbukti saat mobil Ken merapat di sebuah ruko cantik daerah Senopati. Kemudian dia menyerahkanku ke seorang pria cantik gemulai yang maksa aku coba baju ini itu terus 'mereparasi' leherku ke atas. Itu si mas setengah mbak yang menggunakan kata reparasi untuk aktivitas tangannya di kepalaku.

"Kayaknya kemarin ada yang bilang enggak butuh mengubah gue karena baju gue enggak terlalu gembel dan muka gue masih bisa diterima." Aku mendelik pada Ken. Kami sudah kembali duduk di dalam mobilnya. "Terus ini apa?"

Ken menjilat bibir bawah sebelum menjawab, "Kita mau ketemu Kara. Sekali ini, gue minta lo dandan. Gue janji. Lo cukup ngikutin gue aja."

Sudah putus, tapi masih mau ketemuan. Aku merasa ada bau amis di sini. Meski gatal ingin bertanya, aku menahan diri karena ingin lihat sendiri ada apa di sana.

"Lo mau akting ayang-ayangan?" Sejak dipaksa punya status pacar baru Ken, aku lebih berani mau ngomong apa saja ke dia. Ngomong maupun enggak ngomong, ujung-ujungnya aku tetap kena jajah.

"Semacam itu." Ken tersenyum kecil dengan fokus tetap ke jalan.

Aku memerhatikan dress biru selutut yang aku kenakan. Kemudian melirik pantulan diriku di spion. Bertanya-tanya kenapa Ken enggak menilai penampilanku, malah pasang wajah tegang.

Setengah jam kemudian, aku mendapatkan satu penilaian pasca pakai baju yang enggak Yellow banget dan dandanan yang lebih diterima masyarakat. Tapi sumbernya itu yang menohok.

"Hai, Yellow. Kamu berbeda banget," kata Kara saat aku dan Ken masuk Odysseia.

Aku meringis malu. "Tambah jelek, ya?"

"Apa? enggak kok! Kamu malah tambah cantik. Aku sampai enggak ngenalin kalo bukan dilihat dari dekat gini." Kara yang super flawless dan wangi memuji aku. Ini aku loh!

"Meja kita di sana. Ayo." Kara menggamit lenganku menuju meja yang berada di area outdoor.

Aku melirik Ken waspada begitu sadar meja yang diarahkan Kara sudah ditempati orang lain. Bukan orang lain juga sih. Ada Adit di situ. Adit yang waktu itu main polisi dan penjahat bareng Ken di kampus. Adit yang kayaknya punya masalah jadi ngasih bogem ke muka Ken.

Duh, jangan-jangan mereka mau berantem lagi di sini. Gimana nih? Kabur pakai alasan apa, ya?

"Dit, lo udah kenal Yellow?" Kara mengenalkanku ke Adit yang langsung berdiri dan menyodorkan tangan.

Aku ngeri-ngeri sedep membayangkan jabat tangan kami bakal berujung patah tulang atau encok telapak tanganku. Tapi Adit menjabatku lembut. Tangannya juga hangat, besar, dan agak kasar.

Aku gatal ingin membandingkan perlakuan Adit ke seseorang di sini. Apalagi pas Adit bantu menarikan kursi buat Kara. Duh, lembut banget. Aku mendelik ke samping dan mendapati Ken sedang melamun.

"Duduk, Bangke," bisikku yang sukses menarik kesadaran Ken. Sekali ini dia enggak berani macam-macam, cuma menarik kursi buatku lalu mendorongnya kasar.

Balas dendam nih siluman.

"Kami sudah pesankan makanan kamu. Kata Ken, kamu makan apa yang biasa Ken pesan," kata Kara lembut.

Aku mengangguk-angguk padahal enggak tahu apa yang biasa Ken pesan. Perutku lapar. Karena aksi penculikan Ken, aku enggak dapat jatah nasi goreng Mpok Leha.

Makanan kami pun datang. Aku dapat pasta dan wonton. Lidahku gatal ingin mencicipi kedua makanan ini. Aku melilit pasta ke garpu, bersiap menerima serangan nikmat cream chicken. Belum sempat mulutku melahap, mataku terpapar pemandangan Adit yang mengiris makanan milik Kara. Aku menoleh spontan ke samping. Ken duduk tegak, tampak santai memegang segelas mocktail. Tapi aku bisa merasakan sesuatu yang salah.

Pandanganku kembali ke depan. Kara mengucap makasih dan Adit tersenyum. Aku melirik piring Kara.

Demi apa, daging ikan aja pake dipotongin.

Aku melirik Ken yang matanya nggak lepas dari gelas di tangannya, lalu dugaanku muncul. Adit sedang memanas-manasi Ken sebagai kelanjutan permainan polisi dan penjahat tempo hari. Karena aku ada di pihak Ken siang ini, aku harus membantu polisi siluman berani menegakan kepalanya. Aku angkat garpu dan menyodorkan ke depan mulut Ken. Dia membelalak. Aku cukup berkata, "Cobain deh, Yang. Aa!"

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro