When the Glorious Sun has Set
Ruangan sederhana itu hanya memiliki satu tikar dari lipat berwarna merah putih. Namun disitulah kebanyakan anak-anak akan beraktivitas.
Seperti seorang anak laki-laki yang mungkin masih seusia anak SD kelas satu. Ia, dalam posisi terlentang dan perut menempel di atas tikar, masih sibuk menggambar walaupun ini seharusnya sudah hampir mendekati jam tidur. Ia berharap setidaknya ia bisa memajang gambarnya, seperti gambar anak-anak lain di tembok malam ini. Dengan senyuman kecil yang menunjukkan gigi depannya yang ompong, ia mengambil krayon berwarna hijau dari kumpulan krayon yang berserakan di tikar dekatnya. Ia mulai mewarnai gambarnya lagi: seseorang dengan sayap merah menembakkan bola-bola api kepada stickman-stickman di hadapannya. Kakinya mulai berayun di atas dengan riang selagi ia mewarnai gambarnya walaupun tidak rata dan melewati garis.
Ia terlalu asyik dengan kegiatannya, ia tidak menyadari bahwa ia tidak sendiri.
Sampai ia mendengar suara piano dimainkan.
Ada sesuatu yang mengenai kepalanya. Tidak sakit, namun sukses membangunkannya dari tidur singkatnya. "Heh?"
Ia melihat sekelilingnya dengan mata yang masih setengah terbuka. Kelas mereka tampak ramai, banyak siswa yang duduk berempat satu meja, termasuk dua siswa yang duduk mengitari mejanya di pojok kanan kelas samping jendela. Oh, sekarang ia ingat.
"Bangun, Chandra," kata seorang gadis berhijab dengan logat Madura yang duduk di sebelah kiri meja Chandra. "Kamu harus ikut kerja."
"Santai saja, Nurul," kata seorang pemuda dengan rambut keriting yang duduk di depan Chandra, "Kan waktunya dua jam pelajaran."
"Semakin cepat selesai, semakin bisa santai." Sekali lagi, gadis bernama Nurul Rahmadani menggunakan senjatanya, kipas kecil yang terbuat dari dari kertas buram yang ia lipat, untuk menampar muka anak keriting yang berpura-pura kesakitan dari mendapat tamparan maut.
"Jangan bercanda terus, Naufal," gerutu Nurul. Dan pemuda bernama Naufal Adhisasmita Wikanto itu hanya bisa tersenyum lebar.
Chandra hanya menghela nafas dan membetulkan kacamatanya yang agak merosot dari batang hidungnya. Pelajaran kali ini adalah fisika, namun karena gurunya ada urusan dinas di luar kota, ia memberikan beberapa soal untuk dikerjakan secara individu atau kelompok. Chandra langsung saja berkelompok dengan anggota trio kwek-kwek lainnya, karena Fikri si anak teladan sudah diambil kelompok lain. Chandra sebenarnya agak kesal karena mereka tidak jadi mendapat jam kosong sehingga ia tidak bisa merenungkan hal lain.
Seperti mimpi aneh edisi kali ini.
Ia sekali lagi membaca pertanyaan, mendengarkan Nurul dan Naufal berdebat tentang apakah tomat adalah buah atau sayur yang ia yakin sama sekali tidak ada hubungannya dengan materi rangkaian listrik kali ini. Namun, lagi-lagi, saat ia menutup matanya sebentar untuk berpikir...
Anak laki-laki itu meletakkan krayonnya. Ia menoleh ke arah suara itu dan melihat salah satu temannya sedang duduk di depan keyboard kecil sambil memainkannya.
Temannya itu adalah seorang anak perempuan yang seumuran dengannya, tapi ia dengan sedih hati mengatakan bahwa kawannya itu lebih tua beberapa bulan daripadanya. Matanya tertutup, seakan ia menikmati musik yang ia mainkan. Sampai-sampai ia tidak menyadari anak laki-laki itu sudah berdiri di sampingnya.
"Kamu bisa main piano?" tanyanya. Dan respon yang ia dapat adalah sebuah jeritan kecil dan mata coklat tua yang membulat sangat lebar, sampai-sampai anak yang lain jatuh dari kursinya. Itu malah membuatnya takut.
"E-Eh! Alya!" Anak laki-laki itu bergegas berjongkok di samping anak yang jatuh tadi.
Anak bernama Alya itu hanya tertawa. "Aku nggak apa-apa kok, Jericho," katanya. "Cuman kaget."
Jericho mengeluarkan helaan nafas penuh kelegaan. "Untungnya..." bisiknya. Ia tersenyum lalu mengulurkan tangannya, yang diraih oleh Alya. Jericho menarik tangan kawannya itu agar ia bisa berdiri lagi.
"Sejak kapan kau bisa main piano?" tanya Jericho lagi.
Alya menaruh kedua tangannya pada pinggangnya, seperti istri yang sedang memarahi suaminya. "Ini bukan piano," katanya dengan nada kesal. "Ini keyboard."
Alya kemudian duduk pada kursi keyboard lagi. "Miss Alethea ngajarin aku kemarin!" Kali ini ia terdengar bangga. "Ini lagu Mozart!"
Salah satu alis Jericho terangkat. "Bukannya itu Twinkle Twinkle?" tanyanya, karena ia yakin itu adalah lagu yang sering diputar sebelum tidur oleh Miss Alethea, ibu pngasuh mereka.
Alya menoleh kepada Jericho tiba-tiba. Matanya berkilat seperti menantang. "Mozart!" bentaknya.
Jericho mengangkat kedua tangannya sambil mengambil satu langkah mundur sebelum Alya bisa mengigitnya. "Terserah kamu, lah."
Alya mendengus kesal. Namun seperti cepatnya datang perasaan kesalnya, dengan cepat juga perasaan iu hilang. Ia tersenyum lebar kepada Jericho. Salah satu tangannya berada di atas keyboard. "Mau main juga?"
Jericho menggelengkan kepalanya. "Aku nggak bisa main."
Alya sekali lagi mendengus dengan kesal. Ia berbalik agar menghadap keyboard itu. "Kalo gitu kamu nyanyi," katanya.
"E-Eh! Kok gitu sih?"
"Ayolah, satu saja kok." Alya melirik ke kawan di belakangnya dengan kilauan mata yang jahil. "Atau kamu nggak berani? Cowok kok penakut, ya?"
Penakut.
Ia tidak takut.
Jericho bukan seorang penakut!
Jericho meremas ujung kaosnya. Pipinya memerah dan ia melihat ke arah lain. Kemanapun selain mata coklat tua Alya yang berkilat penuh kemenangan. "S-sekali saja, ya."
Alya mengangguk dengan semangat. Ia meletakkan jari-jari tangannya pada keyboard. Ia menarik nafas lalu mengembuskannya melalui mulutnya. Ia melirik ke Jericho, seperti bertanya "sudah siap?"
Jericho mengangguk. Lalu, ia menarik nafas melalui mulutnya...
Di malam langit yang penuh bintang, di dalam ruang bermain sebuah panti asuhan, dua anak mengisi keheningan malam itu dengan sebuah pertunjukan, dan bintang-bintang yang menjadi penonton mereka.
Twinkle, twinkle, little star,
How we wonder what you are.
Up above the world so high,
Like a diamond in the sky.
Twinkle, twinkle, little star,
How we wonder what you are.
"Oi, kakimu kenapa?" tanya Naufal.
Chandra berhenti, tanpa sadar bahwa benar, ia menghentakkan kakinya dengan pelan mengikuti irama musik nina bobok itu. "Tidak," jawabnya dengan singkat.
"Iya kok," kata Naufal, menunjuk kepada Chandra seperti ia telah melakukan sesuatu yang melanggar hukum. "Tapi kamu bukan tipe yang mudah khawatir. Jadi mengapa kamu menghetakkan kakimu seperti mengikuti irama..."
Naufal mendekatkan wajahnya ke teman sekelasnya, yang secara insting mendorongnya menjauh. "Kamu mengingau ya?" tanyanya lagi.
Mengingau? Ia tidak mengingau. Ia akan menolak kenyataan itu sampai akhir zaman. Ia hanya... Banyak pikiran.
"Baru mikir apa?" tanya Nurul seakan ia tahu apa yang baru saja Chandra katakana dalam pikirannya.
Chandra mengehela nafas berat dan mengelap wajahnya. "Cuman... Mimpi-mimpi aneh?"
"Mimpi basah?" kata Naufal, yang dihadiahkan dengan tamparan dengan buku catatan dari Chandra. Ia mengeluarkan suara semacam "wadau!"
"Emangnya aku ini mesum kayak kamu?" gumam Chandra dengan kesal.
"Nggak usah pake nampar juga," gerutu Naufal, mengusap pipinya.
Salah satu alis Nurul terangkat. "Terus mimpi apa?"
"Yah..." Chandra menggaruk belakang kepalanya. Setelah dipikir-pikir, akhir-akhir ini ia banyak bermimpi. Tentang berbagai hal, bahkan ada yang tidak masuk akal. Yang sama hanyalah pribadi itu. Anak yang selalu memiliki mata coklat tua.
"Berarti mungkin dulu kamu pernah bertemu dengannya," usul Nurul.
"Maksudnya?" gerutu Chandra.
"Mungkin kamu nggak ingat," kata Nurul. "Namun kesannya masih berbekas. Mungkin karena itu dia muncul di mimpimu."
"Atau mungkin, dia itu kekasihmu di kehidupan sebelumnya," komentar Naufal lagi dengan senyuman jahil di wajahnya. "Kalian bertemu setelah dipisahkan waktu sehingga berinkarnasi menjadi kamu yang sekarang. Takdir~" Dan kali ini wajahnya dihadiahkan dengan sebuah tempat pensil. Ia jatuh ke bumi dengan cara yang dramatis.
Nurul hanya tertawa karena kawannya bisa langsung jatuh ke lantai hanya karena tempat pensil yang agak menggembung. Fikri dari meja lain menoleh ke arah mereka dengan khawatir karena kehebohan yang mereka buat. Sedangkan Chandra mendengus kesal sambil menutup matanya.
"Aku tidak percaya inkarnasi."
Setidaknya itu yang akan ia langsung katakan sebelum semua ini terjadi.
Tapi sekarang... Ia mulai meragukan dirinya sendiri.
*
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro