Chào các bạn! Vì nhiều lý do từ nay Truyen2U chính thức đổi tên là Truyen247.Pro. Mong các bạn tiếp tục ủng hộ truy cập tên miền mới này nhé! Mãi yêu... ♥

Fills with Shining Light the Skies

"Kamu melakukan apa?!"

Setidaknya Airlangga tampak bersalah. "Aku membaca komikmu saat istirahat dan Bu Karin, sutradaraku, langsung ingin membacanya. Ia menyukainya dan ingin membaca bagian berikutnya. Tapi aku bilang kalau bukan aku yang membuat jadi aku... Menunjukkan komikmu? Dan ia ingin mengadaptasinya menjadi FTV?"

"KAKAK!"

"Maafkan aku! Aku gagal menjadi seorang kakak!"

Berdiri dekat dua saudara itu, menyaksikan dengan salah satu alis terangkat, Elvira bertanya, "Jadi intinya, sutradara ternama, Karin Handoko, ingin membuat sinetron berdasarkan komik Lintang?"

"Bu Karin tidak menerima kata 'tidak'," rengek Airlangga yang bersujud di depan Lintang yang mukanya merah, entah karena tingkah kakaknya atau kenyataan bahwa seseorang yang terkenal menyukai karyanya. "Dia seperti bos mafia yang akan memaksamu melakukan apa saja dengan senyuman iblisnya! Itulah mengapa aku menjadi artis! Aku tidak punya kesempatan untuk menolak! Ia menculikku dan langsung melemparkan ke set!"

"Komik itu belum selesai, kakak!" teriak Lintang, tidak mengindahkan curhat kakaknya.

Sementara itu, roda-roda dalam otak Elvira mulai berputar. "Misal satu chapter satu episode, kira-kira lima volume, masing-masing delapan chapter, kemungkinan ada empat puluh episode. Nggak akan sampai dua bulan kalau kejar tayang. Itupun kalau sinetron berseri. Kalau film, harus ada bagian yang dipotong. Harus segera bikin kontrak. Satu minggu satu episode kayak drama korea..."

Sekarang gantian dua bersaudara itu menyaksikan Elvira berbicara sendiri dengan kepala yang sedikit berasap. "Kamu benar-benar serius dengan ini, huh, Elvira?" tanya Airlangga.

Elvira menoleh kepada mereka lagi dengan mata berbinar. "Yah. Aku selalu ingin menjadi sutradara film kalau misalnya gagal menjadi ahli matematika."

Airlangga menoleh ke adiknya lagi dengan mata berkaca-kaca selebar piring. "Tolong ya, Lintang..."

Lintang melihat ke mata Airlangga yang memelas dan mengeluarkan helaan nafas berat. Ia meremas halaman untuk chapter pertama komik barunya. Entah di masa apapun, baik inkarnasi sebelum-sebelumnya, Lintang adalah tipe yang tidak bisa menolak perasaan untuk menolong. "Okelah. Buat sinetron ini."

Lintang adalah anak yang suka menolong. Namun ada kalanya ialah yang membutuhkan pertolongan. Seperti tokoh inkarnasinya dalam komik-komiknya yang saling menolong satu sama lain.

Namun ia juga berharap pemilik mata hitamnya itu dapat menolongnya juga dalam respon usaha kecilnya ini.

Maia Vivaldi tahu satu hal: Ia sendiri, tapi tak pernah sendiri. Pindah ke kota lain untuk kuliah di universitas yang sama dengan kembarannya, jauh dari rumah membuatnya sendiri, namun pikirannya yang terus mengejarnya tiada henti membuatnya tak pernah sendiri.

Ia ingin semuanya tenang. Ia ingin beristirahat. Namun tak pernah ada kata 'hening' bagi orang-orang seperti dia. Tak pernah ada kata 'sendiri'.

Jika ada beberapa orang yang meledak ketika mereka pada puncak kehancurannya, Maia Vivaldi remuk tanpa meledak. Ia tidak ingin menjadi seperti cipratan cat warna jelek yang tidak cocok satu sama lain. Warna jelek itu pasti menarik perhatian orang-orang karena kesalahan penggunaannya, dan jika ia seperti warna jelek itu maka orang-orang akan melihatnya, dan jika orang-orang melihatnya maka mereka aku tahu kesalahannya, dan mereka akan tahu, mereka akan melihat seorang pelukis yang gagal. Seorang pelukis yang bahkan tidak bisa mengangkat kuasnya lagi. Seorang pelukis yang kehilangan semua warna dalam hidupnya.

Maka, ia meredup seperti bintang di angkasa, menghilang tanpa suara, memudar tanpa ada yang mengetahui. Rasa hampa dalam dirinya terus mengisi dadanya. Ia tidak bisa berteriak, ia tidak bisa bernafas, dan ia tidak bisa melawan.

Ia merasa sangat lelah. Ia tidak tahu apakah itu depresi atau Maia Vivaldi yang sedang berbicara. Apa bedanya? Ia tidak pernah tahu. Ia tidak akan pernah menemukan cara untuk keluar dari kekacauan dalam kepalanya sendiri. Ia tidak tahu sama sekali.

Namun ada hal-hal yang ia tahu. Ia tahu bagaimana caranya membuat semuanya tenang. Ia tahu cara menemukan sesuatu itu yang tak pernah ia dapatkan. Ia tahu hanya ada satu jalan untuk mendapatkannya.

Melangkah. Terjun. Berakhir.

Maia Vivaldi berdiri di atap, namun ia tak pernah melompat. Depresi mendorongnya untuk jatuh, namun ketakutan akan ketinggian menariknya kembali. Maia Vivaldi berdiri di tengah-tengah tarik tambang mereka.

Andai saja ia bisa merasa gentar. Namun ia bahkan tidak merasakan apa-apa? Apakah itu berarti ia masih hidup? Ia juga kemari kemarin. Apakah ia melompat saat itu? Apakah ia sudah mati?

Apakah ia bisa dibilang hidup sejak neraka itu?

Kepala Maia Vivaldi berputar, memikirkan segala yang ia tahu dan yang tidak ia ketahui, dengan kakinya hanya ada di pinggir atap, bertanya pada dirinya sendiri bagaimana rasanya jika ia melompat dan mematikan dirinya sendiri.

Langkah kaki yang terburu-buru berhenti di belakangnya.

"Maia!"

Mars terdengar ketakutan. Maia Vivaldi tahu itu. Ia mengerti ketakutan dan kehampaan. Sedikit dari hal-hal yang ia tahu.

Tanpa berbalik ia menyapa, "Hai, Mars."

Ia bisa mendengar Mars berjalan mendekatinya dengan perlahan. "Hai, Maia. Sedang apa di sini?"

Maia mengangkat bahunya. "Berpikir." Memikirkan hal-hal yang ia tahu. Memikirkan hal-hal yang ia tidak tahu. Jika ia tahu bahwa ia tidak tahu, apakah itu artinya ia tahu itu?

"Oke. Mungkin lebih baik jika kamu agak jauh dari pinggir?"

"Nggak juga sih."

Ia bisa merasakan tangan yang dengan lembut memegang lengan atasnya, menandakan kembarannya, yang telah diberi beban oleh kedua orang tua mereka untuk merawat dirinya sendiri dan kembarannya memiliki depresi, telah berada di sampingnya.

Maia Vivaldi tahu beberapa hal. Ia tahu ia depresi. Ia tahu hanya ada satu jalan menuju keheningan.

Ia juga tahu bahwa Mars Vivaldi tidak akan membiarkannya jatuh.

Ia rasa keheningan harus menunggunya.

"Jadi, kamu akan melompat?"

Maia ragu. Mars tidak bisa bernafas. Angin dingin berhembus menerpa kulit mereka, namun mereka berdua menghiraukannya.

"Tidak," Orion akhirnya berbisik dengan pelan. Rasanya dingin di atas atap. "Tidak malam ini."

"Oke." Maia bisa mendengar Mars menghela nafas penuh kelegaan. Namun ia juga mendengar ketakunan di dalammnya. "Oke. Oke. Itu bagus, Maia. Bagus. Kita bisa menyelesaikan ini."

Maia melihat lagi ke pinggir atap dan mendengar nafas Mars tercekat ketika ia berusaha memiringkan dirinya melewati pinggir. Genggaman pada lengannya semakin erat. Bagi Mars, keheningan ini sangat mencengkeram. Namun bagi Maia, ini bukan apa-apa.

"Warna apa yang bisa kamu lihat, Maia?"

Mungkin bagi yang lain pertanyaan Mars adalah pertanyaan yang tidak cocok ditanyaan dalam situasi ini. Namun antara Maia dan Mars, pikiran mereka langsung mengerti. Tidak ada keraguan, karena keraguan bisa fatal.

"Hitam."

"Apa arti warna itu untukmu?"

Maia, dengan perlahan, akhirnya melihat ke Mars dengan mata coklat tua penuh kelelahan. Ia ingin ketenangan. Ia ingin merasakan. Ia ingin melupakan rasa ketakutan. "Aku ingin diam. Aku mau semuanya diam, Mars. Buat diam semuanya, aku mohon."

Dengan perlahan, Mars menarik lengan Maia dan gadis itu hanya patuh tanpa perlawanan apapun. Dan segera setelah itu, ketika mereka berdiri di tengah-tengah atap, jauh dari pinggir yang menggoda, Mars memeluk Maia, seakan mencoba semampunya untuk mematikan semua suara yang didengar oleh Maia.

"Kita akan menemukan keheningan, Maia," kata Mars dengan lembut, memberikan sebuah kecupan di atas kepala Maia. Ia dapat merasakan lembutnya bibir kembarannya itu, mengingatkannya kulitnya masih berfungsi, ia masih hidup. "Aku janji."

Di atap yang dingin, Maia merasakan kehangatan.

*

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro