And the Grass with Dew is Wet
"Aku butuh kopi."
"Terakhir kali kamu minum kopi, kamu tak bisa berhenti menari Bojo Galak."
Gadis yang meminta kopi tadi, yang namanya adalah Lintang Sekar Pratama, seorang gadis dengan dengan rambut dikucir satu hanya bisa mengehala nafas lelah. Lawan bicaranya, sekaligus rekan kerjanya yang cantik dan bernama Elvira Hayuningtyas, hanya mengambil sebuah penghapus dan kembali ke pekerjaannya. Mereka berdua duduk di sebuah kamar yang tidak bisa dibilang sangat rapi. Tentu buku-buku pelajaran ada pad arak yang seharusnya mereka berada dan tempat tidurnya tampak rapi tanpa ada kerutan pada seprainya. Namun sayangnya, lantai kamar itu yang mengurangi poin kebersihannya. Lantainya penuh dengan kertas-kertas berserakan, sketsa-sketsa tokoh, orek-orekan layout, notes alur cerita, dan ampas hasil proses penghapusan.
Lintang sebenarnya tidak menganggap dirinya sebagai seorang komikus. Ia hanya suka menggambar, terutama tentang mimpinya yang terkadang tidak biasa. Ketika kakaknya, Airlangga Prasetyo Nugroho, seorang yang bisa dideskripsikan tampan mirip artis Korea dan memang adalah seorang artis sinetron, menemukan gambar-gambarnya, ia mengusulkan untuk membuatnya menjadi komik. Namun Lintang tidak terlalu ingin mempromosikan karyanya.
Dorongan dari Elvira-lah yang membuatnya bisa mempublikasikan sketsa-sketsanya. Awalnya hanya di deviantart dalam akun 'Chitoki Hoshisora'. Airlangga yang memberi ide untuk nama itu. Artinya 'seribu-tahun' dan 'bintang-langit' dalam Bahasa Jepang (kalau ditanya mengapa Jepang, akan dijawab karena Airlangga menyukai anime). Sekarang, ia berkembang menjadi komikus muda. Sampai sekarang, masih aktif di deviantart, namun sekarang sudah menjalar ke webtoon dengan nama yang sama. Mereka lebih memilih cara tradisional: dengan kertas, penggaris, tinta, dan bercangkir-cangkir kopi (walaupun Elvira mengawasinya agar Lintang tidak terlalu hiperaktif), karena baik Lintang atau Elvira tidak tahu cara membuat komik dengan program komputer. Dan menggambar dengan tangan terasa lebih elegan dan memberikan ciri khas tersendiri. Elvira adalah asisten tetapnya sedangkan Airlangga membantu beberapa kali ketika ia sempat ditengah-tengah kesibukan syuting kejar tayangnya.
"Nih," kata Elvira, memberikan delapan halaman yang sudah ia warnai dengan tinta dan bersih dari garisan pensil.
"Terima kasih," kata Lintang. Ia menghela nafas lega. Total dua puluh empat halaman akhirnya selesai. Tapi untuk memastikan ini sudah sempurna, Lintang mulai membaca ulang lagi, memperhatikan setiap detail yang sudah dilukis di atas kertas-kertas itu.
"Tuh! Tuh! Jericho, lihat tuh!"
Kawannya itu memutar badannya agar ia bisa tidur dengan posisi terlentang. Dengan malas dan lambat, ia mengambil bantal yang sebelumnya di bawah kepalanya dan menutupi mukanya dengan benda empuk itu.
Hu-uh... Ia pikir kalau dengan pura-pura tidur, ia bisa menghentikannya?
Tidak ada yang bisa menolak Alya!
Gadis kecil bernama Alya itu naik ke atas kasur di samping Jericho, berhati-hati agar selimut yang ia pakai seperti jubah tidak jatuh dari pundaknya, merasakan kasurnya agak mengempes di bawah lulutnya.
"Jerichooooooo!" rengek Alya sambil mengoyang-goyangkan pundak Jericho dengan tangan kecilnya.
"Ngantuk..." gumam Jericho tanpa mengangkat bantalnya sesentipun. "Tidur lagi sana, Alya."
Alya, mengangkat kedua tangannya dari pundaknya dan mengepalkannya agar bisa menaruhnya di pinggang sambil menggembungkan pipinya. "Jangan tidur dulu, dong!" rengeknya. "Kamu harus lihat ini! Ayo, mumpung langitnya cerah!"
Ketika Jericho tidak menjawab, Alya malah semakin kesal. Ini anak! Ia meraih bantal yang menutupi wajah Jericho, namun sebelum ia sempat menariknya, tangan Jericho menampar tangannya, membuatnya menarik kembali. Tentu rasanya tidak sakit, Jericho terlalu mengantuk untuk mengeluarkan energi sesedikit mungkin.
Alya mendengus kesal. Kalau seperti ini, hanya ada satu hal yang ia bisa lakukan.
Alya memposisikan dirinya agar kedua lututnya berada menjepit perut Jericho. Dengan sebuah senyuman jahil, ia melompat sedikit...
"OOF!"
...Dan menduduki perut Jericho.
Dengan kesal, Jericho menyingkirkan bantalnya dari mukanya, menatap Alya dengan tatapan yang kesal dan lelah. "Apaan, Alya?!" tanyanya dengan sedikit membentak. "Nunggu pagi gimana sih?"
Alya menggelengkan kepalanya dengan panik. "Nggak bisa! Kita harus melihatnya sekarang!" Ia meraih tangan Jericho dan mencoba menariknya turun dari kasur. "Ayoooooo!" rengeknya.
Jericho mengeluarkan helaan nafas. "Baik, baik," gumamnya dan Alya harus menahan dirinya agar tidak menari seperti monyet. Jericho bangun selagi Alya, dengan senyuman yang sangat lebar, melompat turun dari kasurnya. Jericho duduk di pinggir tempat tidur sambil mengusap-usap matanya sementara Alya masih menantinya.
Kawan-kawan mereka dalam ruangan itu bahkan tidak bergerak sedikitpun kecuali bagaimana dada mereka naik turun dengan perlahan dan damai. Untung saja, suara keras Alya tidak membangunkan anak-anak lain di panti. Kalau tidak, mereka akan mendapat masalah.
"Bu Alethea akan kesal kalau tahu kita masih bangun," kata Jericho.
Alya menggelengkan kepalanya, meraih tangan Jericho. "Itu urusan nanti saja! Kita harus lihat! Kita udah janji akan melihatnya!"
"Lihat...?" Dahi Jericho mengerut, mencoba membuat otaknya yang masih mengantuk untuk mengingat.
Alya mengendus kesal dan menarik tangannya lagi. "Rasi bintang, Jericho! Rasi bintang! Nggak ada awan di langit, kita bisa melihatnya dari halaman!"
Ia menarik tangannya dengan cukup keras sehingga ketika Jericho akhirnya berdiri, Alya jatuh ke lantai dengan jeritan kecil. Namun ia langsung melompat berdiri, tangannya masih memegang milik Jericho. Jericho tak bisa melakukan apa-apa selain menuruti Alya yang terus-menerus merengek, membiarkan dirinya ditarik ke pintu depan. Tangannya tetap tidak dilepaskan saat Alya memutar kuncinya dengan tangan kirinya.
Kedua anak itu menyusuri koridor panti asuhan yang kosong. Tak ada yang bangun malam itu, baik anak maupun pekerjanya. Alya mengeluarkan kunci pintu depan, dan ia yakin Jericho akan mempertanyakan itu nanti, dan dalam hitungan menit ia sudah berdiri di teras panti asuhan yang kosong bersama sahabatnya.
"Kita tidak seharusnya ke luar saat malam," kata Jericho, merasa agak khawatir. "Ayo balik, Alya..."
Alya yang sudah melompati tangga dan sekarang berdiri di halaman, memutar badannya. Ia menaruh kedua tangannya di pinggang dan menggembungkan pipinya. "Hanya dua menit saja!" rengeknya. Ia tahu ia terdengar menyedihkan, seperti memohon. Tapi ia tidak peduli untuk malam ini saja. Mereka nggak akan bangun. Aku sering keluar malam-malam dan belum pernah tertangkap."
Jericho tidak bergerak dari posisinya dan Alya menghela nafas sedih. Ia melirik ke langit lagi. Masih cerah tanpa awan satupun. Ia tidak tahu apakah ia akan mendapat langit secerah ini lagi. Ia tidak tahu apakah langit akan cerah dua minggu ke depan ketika Jericho merayakan ulang tahunnya yang ke-sepuluh.
Ini adalah hadiah ulang tahun darinya untuknya.
"Jericho... Dua detik saja, yah?"
Jericho menggigit bibirnya. Ia melirik ke pintu depan yang terbuka di belakangnya dengan sangat berjaga-jaga, seakan salah satu petugas akan tiba-tiba keluar dalam beberapa detik. Ia menoleh kembali kepada Alya. Mata hitamnya bertemu dengan mata coklat tua Alya yang terus-menerus memohon kepadanya.
Jericho menghela nafas. Lalu, dengan sebuah tarikan nafas dalam, ia mengulurkan tangannya. Mata Alya berbinar. Ia langsung meraih tangan Jericho dan menuntunnya ke halaman luar.
"Lihat!" teriak Alya, menunjuk pada langit. "Yang itu, di balik awan!"
Jericho berkedip beberapa kali untuk memfokuskan matanya. Lampu-lampu masih menyala di larut malam, seakan bintang-bintang menempel pada gedung-gedung bertingkat itu. Suara kendaraan bermotor masih bisa terdengar dan bau asapnya bisa tercium. Dia bisa melihat siluet pesawat terbang di angkasa. Untuk beberapa saat ia hanya bisa melihat langit yang gelap.
Lalu, seakan mengetahui masalah Jericho, awan hitamnya bergerak. Dan mungkin hanya bayangannya saja, tapi ia merasa semua cahaya dan suara yang tidak penting tiba-tiba menghilang. Yang terpenting adalah apapun di balik awan hitam itu.
Nafas Jericho tercekat.
Bintang.
Banyak sekali jumlahnya, seperti pasir di pantai.
Ya. Ekspresi yang sangat ia tunggu dari kawannya itu.
Ia sendiri hampir lupa kapan terakhir kali ia bisa melihat bintang. Panti asuhan mereka terletak di kota besar, jadi agak susah untuk melihat bintang. Namun sekarang ia bisa melihatnya. Bertaburan di angkasa dengan sangat terang, bahkan mengalahkan terangnya lampu-lampu di kota. Seperti lampu warna-warni yang sering Jericho lihat yang mengelilingi pohon Natal.
"Lihat," bisik Alya. "Kalau kamu menghubungkannya seperti ini..."
Ia mengangkat satu jari seperti ia menyentuh bintangnya, lalu menggerakannya membentuk garis seperti sedang melukis. Jericho memperhatikan bagaimana Alya membentuk semacam segilima dengan dua sayap. "Terlihat ada bentuknya, kan? Itu namanya Phoenix. Artinya sang burung berapi."
"Kok tahu?" tanya Jericho, mengamati rasi bintang di atas kepalanya.
Alya mengangkat bahunya. Ia sendiri masih mempertanyakan hal itu. Rasi bintang itu sama sekali tidak terlihat seperti burung api. Malahan ia sempat berpikir rupanya seperti seekor kalkun untuk makan malam Natal. "Aku pernah baca dalam satu buku," katanya dengan nada ringan.
Jericho mengalihkan perhatiannya dati bintang-bintang itu ke wajah Alya dan menaikkan salah satu alisnya seakan mengatakan 'nggak mungkin'. Alya meringis.
"Oke, oke, aku nggak pernah baca," katanya, menggaruk belakang kepalanya yang tidak gatal. "Aku hanya... Langsung tahu karena..." Ia menurunkan tangannya dan menatap Jericho lekat-lekat. "Kita pernah melihatnya sebelumnya, ingat? Itu milik kita."
Ia bisa membayangkan Jericho memiliki sayap besar berapi. Dan entah mengapa, itu terdengar sangat nyata.
"Iya," kata Jericho dengan sebuah senyuman. "Aku rasa itu benar-benar milik kita."
"Aku rasa di situlah memori kita akan tersimpan," kata Alya mengambil posisi tidur di tanah dengan kedua tangan terlipat di belakang kepalanya sebagai bantal.
Jericho mengikuti untuk duduk bersila di tanah sambil bertanya, "Maksudnya?"
Alya mengangkat tangan kanannya ke langit tepat di depan rasi bintang Phoenix. "Entahlah," katanya. Ia mengepalkan tangannya, seakan ingin mencuri bintang-bintang itu dari langit. "Tapi saat aku melihat Phoenix, kadang aku merasa sedih, kadang merasa bahagia, seakan rasi bintang itu menyuruhku mengingat sesuatu yang pernah terjadi sebelumnya bersama denganmu dulu sekali." Akan ada hari dimana Alya merasa seperti pernah bertemu dengan Jericho sebelum panti asuhan ini. Padahal mereka berasal dari keluarga yang berbeda dengan masa lalu dan alasan kemari yang berbeda. Dan terkadang, Alya dapat melihat beberapa orang yang mirip dirinya dan Jericho dalam kehidupan yang berbeda-beda.
Jericho menoleh kepada Alya lagi. "Kamu suka mengatakan hal-hal aneh, Alya."
Alya mengayunkan lengannya, namun Jericho berhasil menghentikannya sebelum ia bisa menyakitinya. "Aku serius!" teriaknya. Jericho tetap tertawa dan Alya hanya membalasnya dengan menjulurkan lidahnya.
Ketika Jericho berhenti tertawa, ia tersenyum kepadanya. "Tapi, aku mengerti perasaanmu."
Alya berkedip? Jericho juga merasa perasaan sepertinya? Ia melirik ke atas. Apakah ini yang bintang-bintang itu ingin katakan kepadanya? Bahwa Alya dan Jericho bisa berbagi perasaan? Kalau mereka akan menjadi teman setiap masa?
"Kira-kira kita akan bisa ingat ini? Saat kita sudah dewasa?" tanya Alya.
"Entah," kata Jericho sambil mengangkat bahunya dan kembali memandang langit berbintang itu. "Agak sulit untuk mengingat banyak hal saat kamu sudah tua."
Alya menggembungkan pipinya. Ia kemudian memutar tubuhnya agar ia berbaring miring ke samping, menghadap Jericho yang masih duduk. "Hei, Jericho."
Jericho menoleh kepadanya. "Iya?"
"Ayo kita berjanji," kata Alya itu, mengangkat jari kelingking kanannya. "Berjanji untuk terus mengingat ini. Walaupun kita lupa sebelumnya."
Jericho tersenyum. Tentu saja Alya akan bilang hal-hal yang abstrak semacam ini. Itulah mengapa ia sahabatnya. "Aku janji," katanya, mengaitkan jari kelingkingnya sendiri dengan milik Alya.
Alya tersenyum lebar. Senyuman yang pasti ia akan bawa ke memori berikutnya ketika ia Phoenix lagi.
"Selamat ulang tahun, Jericho!"
Lintang mengangguk dengan yakin. "Sudah selesai," katanya. "Bisa di-scan dan upload sekarang."
Hari itu, komik mini 'Children's Twinkling Symphony' di webtoon dan deviantart sudah diunggah.
*
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro