SATYA - SEE YOU AGAIN
June 29, 2011...
"Rena marah?"
Lukas mengerutkan keningnya. "Untuk alasan apa?"
"Nggak bisa nganter kamu ke bandara?"
"We had a long conversation last night. It was ... enough, I hope. Lagipula, aku nggak mungkin mengubah penerbanganku. Dia tahu kalau kepulanganku nggak bisa ditunda."
Aku hanya mengangguk. Taksi yang membawa kami ke bandara masih terjebak kemacetan di sepanjang By Pass Ngurah Rai. Pesawat Lukas akan berangkat sekitar pukul 4. Masih 4 jam lagi, tetapi Lukas merasa lebih aman kalau bisa sampai di bandara lebih awal, mengingat betapa macetnya jalan menuju ke bandara.
"Aku jadi ingat obrolan kita di pantai waktu itu, ketika kamu baru dua bulan di sini. Delapan bulan jelas berlalu begitu cepat."
Lukas mengangguk. "I told you. I wished I could stay longer."
"Then, you will wish to stay here longer when the time is up."
Lukas tertawa. "You're right. We can't cheat against time."
Sejak kemah di Nyang-nyang waktu itu, kami berusaha untuk lebih sering bertemu, apalagi sejak apprenticeship dia selesai. Entah itu bersama Rena atau hanya kami berdua. Aku terjebak di antara memberikan perhatian kepada Lukas sebagai seorang teman atau sebagai orang yang mencintainya diam-diam. Karena aku tidak cukup pintar untuk menyamarkan perhatianku terhadap Lukas atau menggabungkan keduanya. Pada akhirnya, aku bersikap seperti Satya yang selama delapan bulan ini dikenalnya. Sekalipun aku ingin memberinya lebih dari itu....
"Kabari aku kalau kamu udah sampai ya?"
"Kamu dan Rena akan jadi orang pertama yang tahu."
Aku dan Rena.
Sepertinya aku memang tidak akan pernah mendengar Lukas hanya menyebut namaku saja. Harus bersama Rena. Seolah aku dan Rena adalah satu kesatuan yang baginya harus disertakan dalam begitu banyak percakapan kami. Can't you just ... say my name, Lukas?
"Apakah seluruh anggota keluarga kamu akan ada di bandara buat jemput kamu?"
"Maybe. Mereka terbiasa dengan aku bepergian. Nggak akan mengejutkan jika aku hanya akan melihat orang tuaku." Lukas kemudian mengenakan kaca mata hitamnya. Baru kali ini aku melihat Lukas berusaha untuk menyembunyikan mata birunya di balik kacamata, selain acara hang out kami yang sering tidak jauh dari pantai.
Aku menghela napas ketika lagi-lagi, taksi kami terjebak diantara mobil-mobil yang tidak sabar untuk keluar dari kemacetan ini. Bunyi klakson bersahutan membuatku mengalihkan pandangan ke Lukas ketika mendengarnya mendengus.
"This is the only thing that I'm not gonna miss about Bali."
Aku tidak bisa menyembunyikan senyum. "Kalau kamu kembali, kapan pun itu, kemacetan ini akan jadi cerita masa lalu. Bali bisa jadi semakin macet."
Lukas menatapku sebelum memberikan megawatt smile-nya. "Semoga aku bisa secepatnya kembali ke sini."
"You will."
"How do you like RETRO so far?"
"Sejauh ini masih baik-baik aja. Pak Stefan atasan yang sangat baik dan perhatian. Tantangannya, aku harus belajar lebih banyak lagu-lagu dari tahun 40 sampai 70-an. But, I enjoy it."
"You're good, very good at what you're doing, Satya. I'll never stop saying how good you are. Never doubt yourself."
"Thanks, Lukas."
Kami terdiam. Dari ekor mataku, aku menangkap Lukas memerhatikan mobil-mobil di sebelahnya, seolah mobil-mobil itu mengalihkan pikirannya dari sesuatu.
"You look ... occupied, Lukas."
Lukas menatapku dan tersenyum. "I'm fine, Satya. Just think about my future."
"You have a bright one, I'm sure."
"I hope so."
Setelah itu, kami lebih banyak diam sementara taksi mulai keluar dari kemacetan. Kami akan sampai di bandara dalam hitungan menit. This is the moment. Aku ingin sekali berada jauh dari tempatku sekarang, seperti Rena yang tidak bersama Lukas. Ini akan jadi terlalu emosional untukku. Bandara tidak pernah menjadi tempat favoritku, apalagi saat ini. Ada terlalu banyak yang tertahan dalam hatiku. Tidak ada kepastian kapan aku akan bertemu Lukas lagi. Aku tidak akan pernah bisa mengatakan kepadanya tentang perasaanku. I hate that. Di sisi lain, aku berharap dengan kepergian Lukas, aku bisa mulai mengikuti logikaku. Berusaha untuk menghapus perasaan dan membuka kembali hati untuk orang yang benar.
Lagi-lagi, aku tidak pernah yakin dengan perasaanku sendiri.
Ketika memasuki area bandara, Lukas menatapku. "Kamu jangan langsung pulang ya Satya? We have lunch first."
"Sure."
Begitu taksi yang kami tumpangi menurunkan kami di drop off area dan dua koper Lukas keluar dari bagasi, kami langsung berjalan menuju ke salah satu food chain yang letaknya tidak jauh dari check-in area. Ketika sudah duduk, Lukas melepas kaca mata hitamnya dan menatapku.
"You know what? Ini pertama kalinya aku makan di bandara."
Aku mengerutkan kening. "Really? Kenapa? Apa karena mahal?"
"Bukan. Aku hanya nggak pernah suka makan di area terbuka seperti ini. I know I will never really enjoy the food. I'd rather read."
"Aku nggak tahu kalau kamu suka baca."
Lukas tertawa. "Hanya kalau ada kesempatan, Satya. Menunggu di bandara salah satunya."
"Do you have any book with you now?"
Lukas mengangguk. "Pikiranku akan penuh tentang Bali. Paling nggak, sampai aku transit. Mungkin aku mulai akan menyentuh buku yang ada di ransel."
Aku diam. Tidak tahu harus mengucapkan apa lagi untuk membuatnya tidak merasa dia meninggalkan Bali untuk selamanya.
Setelah memesan Club House sandwich untukku, vegetarian sandwich buat Lukas dan dua teh lemon—masing-masing panas untukku dan dingin untuk Lukas—kami mengamati puluhan orang yang berlalu lalang di hadapan kami.
"Airport is cruel."
"Kenapa?"
"Begitu banyak pasangan yang berpisah di bandara, tanpa tahu kapan mereka akan bertemu lagi. Yang terburuk, jika ada dua orang yang saling mencintai diam-diam tanpa bisa mengungkapkan perasaan mereka, dan salah satunya harus pergi. It's unfair, don't you think?"
Aku hanya mampu menelan ludah, berusaha tetap tenang atas ucapan Lukas. Bagaimana bisa dia mewakili perasaanku dengan kalimat yang ... begitu tepat?
Aku mengamati Lukas. Dia jelas terlihat berbeda dengan Lukas yang selama delapan bulan aku kenal. Masih orang yang sama, hanya saja ada yang berbeda hari ini. Mungkin karena dia harus meninggalkan Bali. Atau karena kami akan berpisah dan perasaanku menjadi lebih kacau karenanya. Tipuan perasaan.
"But airport could be a happy place. In your case, someone special is waiting for you and your home, your family, your life that you've left for 8 months. Bali is your short life, Lukas. Your fraction of memories."
"Aku belajar banyak dalam delapan bulan itu, Satya. Di luar kehidupanku di hotel, I know myself better. And how ... to control my emotion."
Dan aku juga belajar untuk menyimpan perasaan, Lukas.
"By the way, I have something for you."
Lukas kemudian mengeluarkan sesuatu dari ranselnya. Ketika melihatnya, napasku terhenti. Ada kotak seukuran kotak makan yang dibungkus kertas polos kuning. Lukas meletakannya di hadapanku.
"Happy birthday, Satya. This is probably nothing for you, but I hope you like it."
Aku menatap Lukas dengan tatapan terkejut. Dia ingat ulang tahunku? Padahal, aku sudah menyembunyikan tanggal ulang tahunku di Facebook. Hanya Rena dan beberapa orang yang ingat, tetapi Lukas? Ini benar-benar mengejutkan.
"How ... how do you know?"
"Rena told me. Ketika tahu kalau ulang tahun kamu dengan penerbanganku ke Jerman jatuh di tanggal yang sama, aku merasa bersalah, Satya. Harusnya kita bisa merayakan ulang tahun kamu. Instead, I'm leaving. This gift is part of my apology and part of wishing you a happy birthday."
"Thank you, Lukas. Can I open it later on? Too many people here."
Lukas tersenyum. "I hope the best for your life, Satya. In your career, love life. Find someone! You're too good to be by yourself. And ... happy birthday!"
Aku telah menemukan seseorang itu, Lukas. He's sitting in front of me right now, smiling.
Pesanan kami datang. Tidak banyak percakapan selama kami menikmati makan siang. Hanya komentar-komentar singkat mengenai pesanan kami. Detik serta menit ini, akan tersimpan dalam ingatanku dalam waktu yang lama. Semoga suatu hari, aku bisa mengingat momen ini dan perasaanku terhadap Lukas sudah tidak tersisa. For now, I just want to enjoy my last moment with him.
Begitu makan siang kami berakhir, Lukas menatapku.
"I didn't really enjoy the food, but I'm happy that I have this chance to spend my last hours with one of the best friends I have in Bali. Thank you, Satya, for taking me to the airport."
"The pleasure is mine, Lukas."
Begitu aku meminta bill untuk makan siang kami, Lukas bersikeras untuk membayarnya. Sekalipun ingin sekali melakukannya, Lukas menatapku dan memohon agar dia membayar makan siang kami. So, I let him. Kami beranjak dan berjalan menuju ke check-in area. Mengingat ada beberapa rombongan turis dari Cina, bisa dipastikan antreannya akan cukup panjang.
"The waiting line will be long, Lukas."
"I better get going now."
"Okay."
"Satya, once again, thank you very much for everything. It's a pleasure knowing you. Thank you for being kind to me so far and I promise, we will see each other again, even though I can't tell you exactly when. But, we will," ucap Lukas sambil memberikan senyumnya.
"Thank you for your time, for this gift. I'm sure we will meet again."
Lukas kemudian mengulurkan kedua lengannya. "Come here, let me hug you."
Ketika akhirnya lengan Lukas memelukku dan aku melakukan hal yang sama, bayangan tentang pelukan pertama kami sepulangnya dari panti asuhan dulu, kembali terlintas. Different time, different feeling.
Aku memejamkan mata, berusaha sebanyak mungkin mengisi paru-paruku dengan aroma tubuh Lukas, membiarkan jantungku berdetak lebih kencang, dan berharap ... aku bisa memberitahunya tentang perasaanku. Namun, aku kelu. Aku hanya bisa membiarkan diriku tenggelam dalam pelukan Lukas dan berbagai perasaan yang menghinggapiku saat ini. I'm gonna miss him. A lot.
Ketika akhirnya pelukan kami lepas, Lukas menatapku dengan senyum itu lagi, his megawatt smile.
"Take care, Satya. Keep in touch, okay?"
Aku mengangguk. "You too, Lukas. Take care. Be a good guy."
Lukas tertawa sebelum mengacungkan jempolnya. "See you again, Satya."
Lukas berjalan mundur sambil melambaikan tangannya.
"See you again, Lukas. I love you," ucapku pelan.
Aku hanya bisa melambaikan tangan sementara pandanganku tidak lepas dari Lukas yang mulai berada dalam antrian. Begitu sudah melewati pos security, mata kami kembali bertemu. Dibatasi oleh dinding kaca, Lukas melambaikan tangannya dan memberiku senyum terakhirnya, sebelum dia benar-benar hilang dari pandangan.
Tanganku masih memegang kotak yang diberikan Lukas dan berusaha tersenyum. Penasaran dengan apa isinya dan membayangkan bagaimana Lukas memilih kado ini atau kenapa dia memutuskan untuk memberikannya kepadaku di sini, di bandara.
Terlepas dari kado yang diberikannya, melihatnya pergi di hari ulang tahunku bukanlah seesuatu yang ingin aku alami. But, he's not here. Tidak ada yang bisa aku lakukan untuk mengubahnya.
Perlahan, aku berjalan meninggalkan tempat kami berpisah dengan hati yang begitu berat.
Melepas Lukas memang berat, tetapi melepas kenyataan kalau aku tidak akan pernah bisa mengatakan kepadanya tentang perasaanku, adalah yang paling menyiksa. Usaha untuk melupakan kenyataan itu akan jauh lebih sulit daripada menerima fakta, Lukas tidak ada di Bali lagi.
Jadi seperti ini rasanya cinta tak sampai. Tidak heran begitu banyak lagu tercipta, karena memang sakitnya tidak tertahankan.
***
Akhirnya, Lukas sama Satya pisah. Will they ever meet again? The media is The Man That Got Away by Judy Garland, karena liriknya cocok banget buat ngegambarin perasaan Satya sama Lukas, karena sama-sama nggak bisa memiliki.
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro