
SATYA - ON THE WAY BACK
February 2011...
"Wohooo!"
Teriakan itu terdengar bukan hanya dari satu orang, tapi 20-an orang yang tiba-tiba saja berubah menjadi anak kecil begitu sampai di air terjun Sekumpul. Sehabis dari panti asuhan, kami memang menuju ke salah satu air terjun yang letaknya cukup terpencil, meski jaraknya tidak begitu jauh dari panti asuhan tempat kami menghabiskan akhir pekan.
"This is awesome!"
Teriakan Lukas itu terdengar jelas di telingaku, menyelinap diantara gemuruh air yang menguasai tempat ini. Sementara itu, aku tidak melihat sosok Rena sama sekali. Mungkin, karena mengetahui bahwa untuk mencapai tempat ini kami harus menuruni tangga yang bukan hanya banyak tapi juga melelahkan, tanpa pikir panjang dia memilih untuk melewatkan momen ini.
Air terjun ini membuat kami seperti berada di sebuah setting film petualangan. Bahkan, beberapa traveler mengatakan Sekumpul ini seperti yang terlihat di film Avatar. Mungkin terdengar berlebihan. Namun, tidak bisa dipungkiri bahwa tempat ini memang sangat indah. Air yang jernih dan dasar yang dangkal, membuat siapa pun tidak akan mampu menahan diri untuk tidak berbasah-basah, meski airnya cukup dingin.
Aku segera keluar dari air karena tubuhku mulai menggigil. Menuju air terjun ini memang butuh perjuangan, bukan hanya harus melalui tangga yang jumlahnya ratusan, tetapi juga harus menyeberangi sungai, yang sekalipun arusnya tidak deras, tetap harus membuat siapa saja berhati-hati.
Ketika meraih tas dan berniat untuk pergi lebih dulu ke tempat yang kering, Lukas mengejutkanku.
"I think I've had enough."
Aku menatapnya dan tersenyum. "Wanna walk up together?"
"I think, you're a psychic, Satya."
Kami tertawa.
Kami mulai berjalan menyusuri batu-batu besar yang licin untuk menjauh dari air terjun. Aku memang sengaja berjalan di depan Lukas, karena berjalan di belakangnya hanya akan membuatku kehilangan konsentrasi. Belakangan, Lukas mengambil lebih porsi pikiranku daripada hal lain. Bahkan, ketika aku tidak tahu apakah dia pria normal atau bukan. Namun tetap saja, aku mengambil risiko untuk dikecewakan.
***
"I'm glad being a part of this trip, Satya. There's no regret at all."
Aku memalingkan wajah dari langit-langit di ruangan tempat kami semua tidur ke arah Lukas yang berbaring di sampingku. Ya, kami semua memang tidur di lantai, hanya beralaskan matras. Beberapa traveler membawa sleeping bag, beberapa yang lain, hanya membawa selimut yang cukup tebal. Ruangan ini semacam hall yang setiap pagi diubah menjadi TK. Di desa Pakisan -yang kota terdekatnya saja berjarak sekitar 45 menit- memang termasuk desa yang jauh dari hiruk pikuk kota. Pendidikan untuk anak usia dini memang minim. Panti asuhan ini dikelola sepasang suami istri asli Jakarta, yang memutuskan pindah ke sini karena merasa hidup mereka di Jakarta sudah tidak memberikan kepuasan batin lagi.
"It's always good to share, right?"
Aku melihat Lukas mengangguk pelan di antara temaram sinar lampu dari kamar mandi yang memang sengaja dibiarkan hidup. Semua lampu memang sudah dimatikan dan beberapa orang bahkan sudah mendengkur. Beberapa lagi masih sibuk dengan ponsel mereka. Kami berbicara sepelan mungkin, agar tidak membangunkan siapa pun yang berbaring di sebelah kami.
"Aku terharu melihat anak-anak tadi begitu bahagia. Apalagi ketika kamu nyanyi."
Aku tersenyum. Acara malam ini memang sekadar makan malam sederhana dan hiburan dari kami. Aku dengan gitar dan suaraku, beberapa traveler dari Prancis mengadakan kuis untuk anak-anak dengan miniatur Menara Eiffel sebagai hadiahnya -karena mereka tahu acara ini sebelum meninggalkan Prancis- drama kocak dari Ida, Rena dan beberapa traveler lain yang berhasil membuat perutku sakit karena lucunya, lima traveler dari Amerika yang memutuskan untuk berpantomim serta satu traveler dari Rumania yang menunjukkan keahliannya membaca kartu tarot. Overall, it was a wonderful evening. Aku sangat menikmatinya.
"I think you should go to bed, Lukas. Kamu pasti capek habis naik motor 4 jam tadi."
Lukas mengangguk. "Goodnight Satya."
"Night Lukas."
Jantungku serasa berhenti berdetak ketika Lukas mengubah posisi tidurnya hingga tubuhnya menghadap ke sisiku. Aku berusaha untuk memejamkan mata, tetapi dorongan untuk memerhatikan wajahnya jauh lebih kuat.
Aku tetap dalam posisi berbaring, tetapi ekor mataku tidak lepas dari Lukas. Sejak kedatangannya ke kafe minggu lalu, kami jadi lumayan sering saling mengomentari status di Facebook, kecuali kalau update statusnya menggunakan bahasa Jerman. Sejak hari itu juga, kami lumayan sering bertemu, entah sekadar makan malam atau mengobrol. Rena juga selalu menjadi bagian dari itu semua. Aku merasa keberadaan Rena cukup membantu karena membuatku tidak canggung berhadapan dengan Lukas. Mungkin, karena Rena juga selalu punya topik untuk dibicarakan.
Aku menarik napas dalam sebelum akhirnya mencoba untuk memejamkan mata. Aku juga butuh tidur. Hanya saja, malam ini dan keberadaan Lukas, membuat segalanya jauh lebih sulit. Sekalipun bersama dengan 30 orang lainnya, Lukas tetap berada di sampingku, tertidur. Akan semakin sulit untuk membiarkan perasaan bahagia itu menguap.
***
"Hati-hati Satya!"
Lukas memegang lenganku ketika kakiku terpeleset oleh licinnya tanah yang kami lewati. Jalan satu-satunya dari dan ke air terjun yang harus kami tempuh sebelum menyeberangi sungai untuk sampai ke tangga.
"I'm fine, Lukas. Thanks."
Jantungku berdegup kencang oleh apa yang baru saja terjadi. Bukan oleh sentuhan kulit kami, tapi fakta kalau aku hampir terjatuh. Jalan tanah ini hanya bisa dilalui satu orang dan di samping kanan ada tebing yang cukup untuk membuat orang patah tulang jika terpeleset dan jatuh ke sungai di bawah, dengan batu-batu besar yang bertebaran di sana.
"Here," ucap Lukas sambil menyodorkan satu botol air minum. "Minum dulu, Satya. You're in shock."
Aku menelan ludah dan langsung membiarkan isinya mengaliri tenggorokanku. Merasa sedikit lebih baik, aku mengembalikan botol itu dan berusaha untuk memberikan senyum, meyakinkan Lukas aku baik-baik saja.
"Thanks, Lukas."
Kami melanjutkan perjalanan ketika aku yakin bisa kembali berjalan. Paling tidak, jantungku sudah kembali berdetak dengan normal.
"I can stay here the whole day without having an urge to go back to Sanur."
"Aku juga pasti betah di sini seharian," balasku.
Sungai yang kami lalui, airnya memang masih jernih hingga masyarakat sekitar pun tidak sungkan menggunakannya untuk mandi. Actually, some of us did the same thing this morning. Aku hanya duduk dan membiarkan kakiku terendam di air. Beberapa traveler dari luar negeri, kelihatan sangat bahagia bisa mandi di sungai.
"Still a long way to go," seruku ketika akhirnya kami berhasil menyeberangi sungai dan sampai di dasar tangga.
Membayangkan harus menaiki tangga sebanyak itu dengan energi yang sudah terkuras, benar-benar membuatku malas. Namun, tidak ada jalan lain.
"I'm here, Satya. In case you feel tired or faint, I can just drag you," ucap Lukas dengan nada santai.
Aku hanya tersenyum menanggapinya, karena tahu dia hanya bercanda. Lagipula, aku tidak akan pingsan.
Kami tidak banyak bicara selama perjalanan menaiki tangga yang membuat napasku kembang kempis. Bahkan, beberapa kali aku harus berhenti untuk sekadar bernapas dengan benar. Lukas sepertinya tidak terganggu dengan banyaknya tangga yang harus kami naiki.
Ketika akhirnya sampai di ujung tangga, beberapa orang dari kami sudah ada di bale kecil di depan salah satu warung. Rena dengan santainya duduk bersila dengan kacamata hitamnya sambil menikmati secangkir kopi yang baunya menggoda hidungku.
"Fiuh! Capeknya!" seruku sambil merebahkan tubuh di sampingnya.
"Lukas, you don't look tired at all."
Lukas -yang masih belum mengenakan kausnya- langsung duduk di sebelahku dan membuka ranselnya.
"Kamu nggak menyesal nggak turun ke bawah?" tanya Lukas sambil memandang Rena.
Rena hanya menggeleng mantap. "Gue lebih baik duduk di sini daripada besok kecapekan."
"You've missed one of the most beautiful waterfalls you might have ever seen, Rena!"
"Well, I'm gonna see it in the picture, right?"
Lukas hanya tersenyum sebelum bangkit dari sisiku. "Aku ganti baju dulu ya?"
Begitu Lukas berlalu, Rena membuka kacamata hitamnya dan memandangku. "Nggak ada yang godain Lukas kan di sana?"
Aku yang masih berusaha mengistirahatkan betis dan mengatur napas, menatap Rena dengan tatapan penuh tanda tanya.
"Maksudnya?"
"Ya kan banyak cewek gatel yang ikut ke bawah, kali aja ada yang rese godain Lukas."
Aku masih belum mengerti kenapa tiba-tiba Rena menanyakan ini. Namun aku menggeleng, berusaha untuk menjawab pertanyaan aneh Rena.
Rena sepertinya tidak puas dengan jawabanku yang hanya berupa gelengan itu. Belum sempat dia mengajukan pertanyaan lain, Ida sudah ada di antara kami.
"Ren, lo ntar bisa nggak tuker satu orang dari mobil lo buat gantian naik motor? Priska tadi muntah di bawah. Nggak manusiawi kalau gue nyuruh dia boncengan motor."
"What happened?" suara Lukas tiba-tiba muncul di tengah-tengah kami.
"Priska is sick. I just asked Rena whether she can exchange Priska with one of her passengers or not."
"Satya, lo mau tukeran sama Priska?" Rena memandangku.
Aku langsung mengangguk. "Sure! Aku nitip tas aja ya di mobil?"
Rena mengangguk. "Udah kan berarti? Priska biar di mobil gue, biar Satya yang boncengan. Tapi sama siapa?"
Ida menatap Lukas. "Lukas, do you mind taking Satya on the back of your motorbike? Kamu nggak boncengin siapa-siapa kan?"
Lukas memandangku dan Rena bergantian sebelum mengangkat bahunya. "Ask Satya if he wants to be on the back with me or not. I'm fine with anybody."
Aku sempat terdiam sesaat sebelum akhirnya mengangguk. "I don't mind at all."
"Okay then, everything is settled now. Biar gue kasih tahu Priska. Thanks Lukas."
Ida segera berlalu dari hadapan kami dan aku sempat menangkap ekspresi Rena yang sepertinya tidak suka dengan apa yang baru saja terjadi. Entah untuk alasan yang mana.
"Kamu keliatan nggak suka," ucapku pelan.
Rena menatapku. "Lo ngomong apa sih Sat? Nggak ngerti gue maksud omongan lo."
Aku kembali mengangkat bahu dan pembicaraan kami pun menggantung di sana.
Setelah semua orang berkumpul, kami akhirnya bersiap untuk pulang. Lukas menitipkan tasnya di mobil Rena dan perasaan pertama yang menghinggapiku begitu duduk di belakang Lukas adalah peasaan berdebar. Perjalanan ini memakan 4 jam dari Denpasar. Sekalipun beberapa dari kami akan berhenti di Ubud untuk makan malam, tetap saja ini bukan perjalanan yang singkat.
Ketika satu per satu dari sepuluh motor yang ikut sudah meninggalkan area air terjun, aku dan Lukas langsung menyusul. Mungkin karena mereka tahu Lukas bersamaku -yang sudah ke tempat ini tiga kali- mereka jadi tidak khawatir kami akan tersesat. Aku menutup mata ketika jalan yang kami lewati harus melalui tanjakan dan turunan yang cukup terjal. Aku bahkan tidak akan berani mengendarai motorku seorang diri ke tempat ini.
"Be careful, Lukas."
Lukas hanya mengangguk.
***
"How was your sleep last night?" tanyaku ke Lukas yang sedang duduk di ayunan seorang diri setelah kami selesai sarapan. Aku menghampirinya dan duduk di hadapannya.
"I hope you didn't hear me snore."
Aku menatap Lukas, berusaha mengulum senyum serta memasang ekspresi seolah aku memang mendengarnya mendengkur semalam.
"Tell me you didn't Satya."
Aku akhirnya membiarkan senyum lebar terpasang di wajahku. Aku menggelang.
"No, I didn't hear you snore, Lukas. But, do you snore?"
Lukas menatapku dengan serius. "I don't!" protesnya diikuti oleh tawanya.
Aku terbangun beberapa kali semalam, tidak bisa menahan diri untuk tidak menatap wajah Lukas. Kapan lagi aku bisa menatap wajahnya selama mungkin tanpa dia tahu kalau bukan semalam? Wajah damainya ketika tidur, rambut cokelat kemerahannya yang berantakan. Jika menuruti nafsu, aku mungkin sudah mengulurkan tangan untuk membelai wajahnya.
Tentu saja aku tidak melakukannya.
"It's a beautiful morning, isn't it?"
Aku mengangguk. "Mungkin akan lebih terasa suasana desanya kalau nggak banyak orang juga di sini."
"We can always come back here, right? I mean, some of us," tambahnya
"You're right."
"Rasanya berat harus pulang. The kids, the scenery... It's just perfect. I'm gonna remember this place as heaven."
Aku tidak bisa menyembunyikan senyum. "And you love Bali more than before?"
Lukas mengangguk. "Correct."
Kami saling bertatapan sebelum akhirnya Lukas bangkit dari hadapanku.
"Aku ke toilet sebentar ya?"
Aku hanya mengangguk dan menyaksikan Lukas berlalu dari hadapanku.
***
"Lukas, be careful. The fog is getting thicker."
Aku tidak tahu apakah Lukas mendengarku atau tidak, tetapi aku bisa merasakan Lukas mengurangi kecepatan motor ketika kabut di sekeliling kami mendadak menjadi semakin pekat.
Jalan utama ini memang jalan yang kami lalui kemarin. Hanya saja, kemarin kami beruntung bahwa kabut tidak terlalu tebal, karena ketika kami melalui jalan ini masih terhitung siang. Namun sore ini, kabut mulai membatasi jarak pandang dan tidak ada yang lebih membuatku khawatir daripada keselamatan kami berdua.
Tubuhku rasanya juga mulai menggigil kedinginan. Meski sudah mengenakan jaket, masih belum cukup untuk membuat tubuhku kebal terhadap rasa dingin yang perlahan merayapiku.
"It's cold," ucapku ketika gigiku mulai bergemeretak menahan udara dingin. Kabut tebal ini pasti punya andil kenapa aku tiba-tiba menggigil.
Kami sudah melewati area hutan dengan begitu banyaknya tikungan. Namun, kabut masih cukup tebal untuk membuatku kedinginan. Sepertinya aku memang akan sulit beradaptasi di negeri dengan empat musim, kalau melewati daerah pegunungan dengan kabut seperti ini saja aku sudah kedinginan.
Lukas tiba-tiba saja memelankan motornya dan berhenti di sebuah warung kecil di pinggir jalan. Pikiran pertamaku adalah ada yang salah dengan motor kami. Aku segera turun sambil berusaha merapatkan jaket yang sudah rapat dan berusaha agar gigiku tidak bergemeretak.
"Satya, are you okay?"
Aku mengangguk. Namun sepertinya, Lukas tidak memercayai begitu saja anggukanku. Dia segera melepaskan jaket yang dia pakai dan mengulurkannya kepadaku. Aku menatapanya.
"What are you doing?"
"Wear this, Satya. Kamu kedinginan. Kamu butuh jaket yang lebih tebal dari itu."
"What about you?"
Lukas hanya tersenyum. "Aku terbiasa dengan kondisi ini, Satya. Remember, I'm a German."
Aku masih ragu menerima jaket Lukas. Dia pasti juga kedinginan, apalagi dia harus mengendarai motor dan perjalanan kami bisa dibilang masih cukup jauh. Hanya dengan kaus yang dia pakai, aku tidak yakin Lukas mampu menahan dinginnya udara disertai kabut yang mengelilingi kami sekarang.
"You still need a jacket, Lukas. You're the one who's driving."
"You need this more than I do."
Aku masih menggosok telapak tanganku sekalipun hal itu sama sekali tidak membuat tubuhku menjadi lebih hangat. Tatapan kami bertemu. Apa yang ada di pikirannya sampai mau melepas jaketnya untuk aku pakai?
Lukas akhirnya mendekatkan tubuhnya dan tanpa aku duga, dia langsung melingkarkan kedua lengannya ke tubuhku. Dia memelukku. Erat. Diliputi rasa bingung, aku hanya mampu diam. Membuat kaus yang dia kenakan, menjadi satu-satunya penghalang antara kedua tanganku yang tiba-tiba terkepal dengan dada Lukas. Aku menelan ludah, sementara pikiranku menjadi kosong. What am I supposed to do?
"Semoga kamu nggak keberatan, Satya. You need this to make your body warmer. I hope this will help."
It is....
Entah berapa lama kami dalam posisi seperti itu, sebelum akhirnya Lukas melepaskan pelukannya dan memaksaku mengenakan jaket yang tadi dilepasnya, ke tubuhku. Aku seperti manekin yang hanya bisa diam ketika akhirnya jaket itu membungkus tubuhku. Lukas bahkan menarik ritsletingnya hingga ke dagu, memastikan jaketnya mampu menghangatkanku.
"Lukas...."
Aku bahkan tidak tahu apa yang akan aku katakan. I can only said his name.
"There you go! I hope you feel warmer," ucap Lukas sebelum mengulurkan dua potong cokelat batangan dari backpack-nya. "Eat this, Satya. You need to chew something."
Aku menerimanya dan berusaha menikmati coklat yang terasa begitu keras. Kami hanya diam. Efek pelukan tadi masih membuatku linglung. Demi apa Lukas memelukku seperti itu? Aku benar-benar tidak bisa memikirkan satu alasan pun. Aku tidak yakin, akan mendapatkan perlakuan yang sama sekalipun aku kedinginan dari orang lain.
"Masih dingin, Satya?"
Aku mengangguk. "Tapi nggak sedingin tadi."
Lukas tersenyum sebelum naik ke motornya. "Let's get out of this place, as soon as possible. Aku nggak mau orang-orang khawatir karena kita belum juga kelihatan."
Aku mengangguk sebelum naik ke motor dan berusaha mengenyahkan bayangan Lukas yang memelukku tadi. Jika semalam aku yakin, tidur di sebelah Lukas dan menatap wajahnya akan jadi hal yang sulit untuk aku lupakan, maka pelukan tadi dengan pasti akan menggantikannya.
"You can put your arms around my waist if it makes you feel warm, Satya."
Ingin sekali rasanya menanggapi ucapan Lukas dengan sebuah lelucon, tapi kebingungan masih melingkupiku hingga aku hanya mengangguk. Tentu saja, aku tidak melakukannya. Apa kata orang-orang kalau melihatku memeluk Lukas? Aku belum siap untuk memberikan penjelasan panjang lebar kepada siapa pun.
Lukas mulai menghidupkan mesin dan motor kami kembali berjalan menembus kabut.
Apakah sekarang aku sudah bisa mengatakan kepada diriku sendiri kalau cupid sudah menghujamku dengan anak panahnya?
***
So, another 4 posts in a row. Enjoy! :)
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro