SATYA - HIS PROPOSAL
June 2013...
"Satya, saya harap kamu tidak akan membenci saya lagi karena ingin meminta sesuatu dari kamu."
Aku dan Stefan sedang berbaring di bawah rindangnya pohon di Van der Werf Park. Telingaku dimanjakan oleh lembutnya suara air mengalir, yang hanya berjarak beberapa senti dari kaki kami, serta suara bebek yang seperti ingin mengganggu ketenangan sore di penghujung musim semi ini. Belum lagi percakapan beberapa orang yang ada di sekitar kami, meski aku tidak mengerti apa yang mereka bicarakan. Tempat ini menjadi tempat favoritku jika ingin menenangkan diri dan Stefan tahu itu. Dia selalu bisa menemukanku di sini.
"Kamu mau minta apa lagi?" balasku sambil memandangnya.
Stefan memiringkan tubuh dan menyangganya dengan satu lengan. Dia mendekatkan wajahnya, mendaratkan kecupan lembut di keningku sebelum mencium bibirku. Awalnya, aku tidak terbiasa dengan perlakuan Stefan yang seperti ini, tetapi sekarang, aku terbiasa mendapatkan kecupan singkat setiap kali berada di taman atau di tempat umum. Aku mulai menikmatinya.
"Saya ingin kamu ke Cologne dan menemui Lukas."
Mata kami bertemu. Kalimat yang baru diucapkannya terdengar seperti sesuatu yang tidak akan pernah aku dengar dari Stefan. Not in my wildest imagination.
Sejak insiden di Keukenhof, hingga Stefan mengatakan kepadaku dia hanya ingin melihatku bahagia—sekalipun jika aku memilih Lukas—aku belajar untuk memahami alasannya. Aku mungkin akan melakukan hal yang sama jika ada di posisi Stefan. Namun aku menolak permintaan Stefan untuk menghubungi Rena dan memaafkannya. Sedekat apa pun persahabatan kami, kebohongan yang disimpannya telah menghancurkan apa yang pernah kami miliki. As simple as that. Mungkin suatu hari, aku akan memaafkan Rena, mungkin juga tidak. Untungnya Stefan tidak pernah memaksaku lagi untuk menghubungi Rena atau membahas tentang Lukas. Wajar jika aku tidak bisa menyembunyikan keterkejutanku ketika mendengar Stefan memintaku untuk menemui Lukas. Di Jerman!
"Untuk apa, Stefan? Didn't we agree not to talk about this thing anymore?"
Stefan tersenyum tipis, sementara aku tidak tahu kenapa dia harus tersenyum. Dia baru saja memintaku untuk menemui pria yang masih bisa membuatnya kehilanganku.
"Seperti saya bilang dulu, ada yang belum selesai antara kamu dan Lukas. Saya tidak mau kamu menyimpan ganjalan itu sementara hubungan kita masih berjalan. I want you to have a closure. Kalau kamu masih ingin bersama saya, saya ingin kamu menemui dia untuk menyelesaikan apa yang belum selesai di antara kalian."
Aku hanya bisa menelan ludah. Tidak menyangka Stefan masih memikirkan Lukas meski kami sudah setuju untuk tidak membahas masalah ini lagi.
"Kenapa tiba-tiba kamu ingin aku bertemu Lukas, Stefan? Kenapa sekarang?"
"Karena memang saya tidak mau menunggu lebih lama lagi untuk menjalani hari-hari saya dengan kemungkinan kehilangan kamu, Satya. Jika memang saya harus kehilangan kamu, saya ingin itu segera terjadi. Atau, jika kamu masih ingin bersama saya, saya ingin merasa yakin, apa pun yang pernah kamu rasakan terhadap Lukas, selesai. Dan satu-satunya cara untuk mengetahui itu adalah dengan menemui Lukas."
Aku terdiam, sebelum sebuah pertanyaan yang mendesakku sejak insiden di ruang tamu waktu itu terjadi.
"Apakah ini cara kamu supaya hubungan kita berakhir?"
Aku tidak bisa percaya, bagaimana mungkin Stefan meminta sesuatu yang tidak hanya akan melukainya, tapi juga melukaiku karena melihat dia terluka karena ini? Dia sadar, aku bisa memilih bersama Lukas jika menemuinya. Apalagi yang bisa aku pikirkan kecuali dia memang ingin hubungan kami berakhir?
Stefan menggeleng. "Justru sebaliknya, Satya."
Aku mengerutkan kening. "Maksud kamu?"
Stefan kemudian meraih tanganku dan meremasnya. Dia menatapku dengan kelembutan yang selama ini diberikannya kepadaku.
"I want to ask you to be my legal partner, Satya. Saya tidak akan bertambah muda dan saya yakin, tidak akan ada lagi pria di masa depan saya selain kamu. Permintaan saya supaya kamu menemui Lukas bukan karena saya ingin kamu pergi. Kamu tidak perlu menjawabnya sekarang. Saya ingin kamu benar-benar yakin sebelum memberi kepastian kalau kamu mau hidup bersama saya. Di sini, di Belanda, di Bali, atau di mana saja kamu ingin tinggal."
Did he just ask me to marry him? Atau pendengaranku yang memang salah menangkap kalimat Stefan?
"Stefan, apa kamu baru saja bilang ka—"
Stefan mengangguk, memotong kalimatku. "I asked you to be my legal partner, Satya. Saya ingin kita menikah. Saya ingin kamu ada di sisi saya selama mungkin. Tapi kalau memang kamu tidak menginginkannya, please ... jangan ragu-ragu untuk memberitahu saya. You don't have obligation to say yes."
Aku benar-benar tidak tahu apa yang ada di pikiran Stefan, memintaku untuk melakukan dua hal yang bertentangan. Bagaimana mungkin dia bisa melakukan ini kepadaku? Jika dia memang ingin memintaku menikah dengannya, tidak seharusnya dia memintaku untuk menemui Lukas kan?
"Why?"
Dari semua kata yang bisa aku ucapkan untuk membalas kalimat Stefan, hanya satu kata itu yang akhirnya mampu aku ucapkan.
"Because I want you to be happy, Satya. Saya tidak akan pernah bosan bilang ke kamu. With me or Lukas. Jika saya meminta kamu untuk menjadi pasangan saya yang sah, sementara kamu masih memikirkan Lukas, berarti saya memaksa kamu untuk bersama saya. I don't want that. Please, see him for me and if you still want to be with me after that, if that feeling you have for Lukas has gone, I'll pick you up myself in Cologne. Do it for me, Satya."
Aku menarik napas dalam. Melihat Stefan memohon untuk sesuatu yang mungkin bisa melukai kami berdua, aku berusaha membiarkan air mataku tidak tumpah. Apa yang sudah aku lakukan di masa lalu hingga berhak untuk mendapatkan pria seperti Stefan? Untuk mendapatkan semua rasa cinta dan kasih sayang darinya? Dan untuk ada di posisi ini sekarang? Apakah Stefan baru saja memintaku untuk memillih?
"Bagaimana aku tahu di mana Lukas tinggal?"
"Lukas will be there. He will pick you up at the train station."
Aku memandang Stefan dengan sebuah tanda tanya di benakku, yang kemudian aku utarakan ke Stefan.
"Bagaimana kamu tahu dia akan ada di stasiun?"
Wajah Stefan berubah ketika aku menanyakan itu. Dia seperti tidak ingin mendengarku menanyakannya, tetapi dia juga tahu, akan mendengar pertanyaan itu dariku.
"Saya sengaja pergi ke Cologne untuk menemui Lukas dan memintanya untuk menjemput kamu di stasiun. Saya menceritakan semuanya. Dia ternyata sudah tahu karena Rena mengiriminya surat yang berisi pengakuannya. Yang ada di pikiran saya waktu itu adalah bagaimana meminta kamu untuk menemui Lukas. Saya tidak ingin kamu memikirkan berbagai kemungkinan yang bisa terjadi kalau kebohongan itu tidak pernah ada, sementara kita masih bersama. Saya mohon kamu mau menemui dia. Untuk saya."
Aku menatap Stefan.
Yang paling penting, apakah aku sendiri siap untuk bertemu kembali dengan Lukas setelah hampir dua tahun?
"Apakah kamu akan marah kalau aku nggak mau ketemu Lukas?"
Stefan menggeleng. "Saya hanya akan kecewa, karena kamu tidak mau melakukan satu hal yang sangat saya ingin kamu lakukan."
Mendengar Stefan menyebut kata kecewa, membuatku merasa jadi seseorang yang egois. Stefan has done a lot for me and he never asked me anything. He even gambled about this particular request. But, what about if he lost? It doesn't matter how I convince him, he would still ask me to do that.
Aku akhirnya mengangguk. "Jika memang itu yang kamu mau, aku akan Cologne."
Stefan tersenyum dan kembali mendaratkan kecupan di keningku.
"Terima kasih, Satya."
***
I Choose You-nya Sara Bareilles jadi lagu pengantar chapter ini, yang menurut saya, pantes buat mengiringi lamaran Stefan ke Satya. Three more chapters and this story will come to an end :) Saya seneng, hahahaha. But, I will post one by one ya, karena tinggal sedikit. No more back to back chapter kayak sebelumnya.
I hope you all enjoy this part.
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro