SATYA - DILEMMA
After the wedding...
"What a wonderful wedding!" ujar Stefan.
Aku mengangguk setuju ketika akhirnya kami sampai di vila. Aku langsung merebahkan diriku di sofa ruang tamu, sementara Stefan memangku kakiku. Jika sudah seperti ini, aku paling malas untuk bangun.
Pernikahan Joddi dan Rena memang sangat indah. Jika uang tidak bisa membeli kebahagiaan, dalam pernikahan Rena, uang jelas bisa membeli keindahan dan kemewahan. Pernikahan mereka dilangsungkan di Alila Resort, Uluwatu. Hanya lima puluh undangan yang hadir pada saat mereka mengucapkan janji pernikahan, tetapi ada lebih dari dua ratus tamu yang hadir di resepsi.
Rena ternyata menyewa band lain untuk mengisi pernikahannya. Aku hanya menyanyi lima lagu, termasuk lagu yang mengiringi mereka di altar. Aku tidak bisa menyembunyikan kebahagiaan melihat Rena akhirnya menjadi seorang istri. Pernikahan dan Rena sepertinya tidak akan pernah menjadi satu kalimat, tapi hari ini semuanya berubah. Rena resmi menjadi istri Joddi. She looked extremely stunning and Joddi looked astonishingly handsome.
Aku sempat terpaku ketika melihat Stefan mengenakan kemeja merah muda yang kami pakai untuk resepsi Rena. Siapa yang menyangka warna itu terlihat begitu sempurna untuknya?
"Kamu capek?" tanyanya.
"Sedikit, tapi bahagia. Aku pernah bilang ke Rena tentang kemungkinan dia dan Joddi jadi sepasang suami-istri. As you know Rena, dia waktu itu malah ketawa dan nganggep aku ngaco. Look at them now!"
"Kamu nggak sedih?"
Aku mengerutkan dahi. "Untuk apa?"
"Karena dia akan pergi?"
Aku menghela napas sebelum mengalihkan pandangan ke tembok di depanku. "Jangan ingatkan aku, Stefan. Paling nggak, bukan sekarang."
"Saya hanya ingin kamu ingat kalau saya masih di sini. Dan kamu tidak akan pernah kesepian atau merasa sendirian, meski Rena sudah ada di LA."
Hanya anggukan yang aku berikan ke Stefan.
Stefan hanya tersenyum sambil melepaskan dua kancing kemejanya.
"Have I told you, that you look absolutely gorgeous on that pink shirt?"
Kali ini, Stefan tertawa. "Thank God! Finally someone said about how gorgeous I am today!"
Aku hanya menggeleng tanpa bisa menyembunyikan senyum.
Stefan mengulurkan lengannya dan meraih tanganku sebelum meremasnya. Aku merasa, Stefan jauh lebih perhatian beberapa minggu terakhir. Dia jadi lebih suka memegang tanganku, mengecup pipi dan keningku, dan memberi kejutan-kejutan kecil. Stefan tidak pernah menjadi pria yang suka memberi kejutan, dia selalau bertanya lebih dulu sebelum melakukan sesuatu. Dan Rena ... dia memang akan pindah ke LA, mengikuti Joddi yang memutuskan untuk pindah ke sana. Untuk berapa lama, aku tidak tahu. Yang pasti, aku tidak akan bertemu Rena untuk waktu yang lama.
Ketika memberitahuku kalau Joddi ingin dia ikut ke LA, aku hanya bisa diam. Sekalipun hanya fisik kami yang berjauhan, membayangkan Rena jauh di Amerika dan aku di sini membuatku sedih. Aku sadar, jarak itu bisa jadi lebih dari sekadar jarak, mengingat statusnya yang sekarang sudah menjadi istri. Akan ada batasan-batasan di antara kami berdua, sekalipun Joddi tidak akan keberatan jika aku dan Rena tetap berhubungan dekat. After all, we know each other quite well. Tetap saja, akan ada yang berubah dalam persahabatan kami.
"A penny for your thought?"
Aku menghela napas. "Kalau Rena di LA, kami akan jarang ketemu dan aku takut hubungan kami akan jauh. Kamu tahu, pasti akan ada yang berubah."
Stefan menatapku. "Bukankah dalam hidup ini, segalanya pasti berubah, Satya? Saya percaya, Rena akan tetap jadi Rena yang selama ini kamu kenal. Batasan itu pasti ada, tapi bukan berarti dia akan berubah. Lagipula, kalian sudah sangat dekat. Saya ragu kalau pernikahan ini akan punya pengaruh untuk Rena atau pun persahabatan kalian. Semuanya akan baik-baik saja. Kamu hanya khawatir saat ini."
Aku berusaha untuk percaya dengan setiap kalimat yang dikatakan Stefan, tetapi aku masih belum bisa menyingkirkan pikiranku tentang kepindahan Rena. There's this feeling, that few things are bound to change. It's just irresistible.
"Kamu mau aku buatin sesuatu? Kopi?"
Stefan menggeleng. "Karena tadi kita tidak sempat untuk dansa berdua..." Stefan kemudian bangkit dari sofa dan mengulurkan tangannya. "Would you like to dance with me?"
Aku hanya mengerutkan kening dan melihat senyum Stefan, aku tidak mampu menahan senyum.
"Apa-apaan ini?"
"May I?" tanya Stefan masih dengan posisi yang sama.
Aku akhirnya meraih tangannya dan bangkit dari sofa. "Kamu ini ada-ada aja."
Stefan kemudian menggandengku menuju ke ruang favorit kami, his collection room.
Dia langsung menuju ke tumpukan piringan hitam begitu kami sudah ada di sana. Dalam waktu singkat, aku mendengar suara Ella Fitzgerald menyanyikan lagu yang aku tidak tahu judulnya.
"Come here."
Aku tertawa karena sadar, aku tidak pernah mahir berdansa. "Jangan salahkan aku kalau nanti kaki kamu keinjek."
"I won't mind," jawab Stefan sambil tersenyum.
Kami pun akhirnya berdansa, seperti yang selama ini aku lihat di film. Tangan kanannya melingkari pinggangku, sementara jemari tangan kirinya terjalin dengan tangan kananku. Kami bergerak pelan, sebelum aku menyandarkan kepalaku di pundaknya.
"Apa judul lagu ini, Stefan?"
"The Nearness of You. Salah satu lagu favorit kakek dan nenek setiap kali mereka berdansa dulu. Saya belajar dengan nenek diiringi lagu ini."
Aku hanya mengangguk pelan. Membiarkan Stefan memimpin dansa kami, sementara aku memejamkan mata, menikmati aroma wangi yang masih menguar dari tengkuknya.
"I love this smell on you. What are you wearing?"
"Kamu suka?"
Aku mengangguk. "It smells good on you. Did you just buy it?"
"Saya cuma pakai parfum ini untuk acara-acara khusus, Satya. Waktu kita makan malam di Metis pas ulang tahun kamu dulu, saya juga pakai ini. Kamu mau saya belikan?"
Aku menggeleng. "Mungkin tidak akan cocok buatku."
Stefan tergelak. "I love doing this, Satya. It's very ... intimate," bisik Stefan di telingaku. Suara Ella Fitzgerald dan Louis Armstrong masih menyanyikan lagu yang sama, membuatku semakin terbuai dengan suasana melankolis ini. Stefan is right, it's very intimate.
"Apa hal yang kamu lakuin sama aku sebelumnya nggak kamu suka?"
Stefan tertawa kecil. "Usia kita memang beda, Satya, dan dalam beberapa hal, saya tidak bisa memahami generasi kamu. Namun setiap kali kita bersentuhan atau berdekatan, hati saya penuh. Tidak ada yang saya sesali sejak kita bersama dan saya berutang pada RETRO karena sudah mempertemukan kita."
Aku diam mendengar Stefan mengucapkan kalimat itu. Sekalipun kami sudah tinggal serumah, tidur satu ranjang, saling berbagi cerita, bercinta, berciuman, belum sekalipun Stefan mengatakan hal seperti itu. Yes, he told me that he loves me, countless time, tapi apa yang baru dia katakan, membuatku merinding.
"Jangan bilang kalau kamu mau pergi, Stefan."
Aku mengangkat wajah dan melihat raut muka Stefan berubah. Dia mengerutkan kening. "Apa maksud kamu, Satya? Saya tidak berniat untuk pergi dari kamu."
Aku mengembuskan napas. "Kalimat kamu terdengar seperti kamu mau pergi. You know ... gone. Forever."
Entah dari mana, tapi pikiran tentang Stefan meninggalkanku—dalam artian selamanya—membuatku sangat takut. Mungkin karena Rena akan pergi jauh, dan aku akan merindukannya. Sejak Rena sibuk dengan urusan pernikahannya, aku lebih banyak menghabiskan waktu dengan Stefan dan bercerita banyak hal dengannya. Aku belum siap jika harus kehilangan Stefan di wkatu yang bersamaan.
"I'm here, Satya. I won't go anywhere without you, except when I die. Even so, I still want you to live to go after your dreams."
Kali ini, aku benar-benar takut. "Ucapan kamu sama sekali nggak lucu."
Stefan tersenyum. "Saya hanya bercanda, Satya. Saya masih belum ingin pergi dan meninggalkan kamu sendirian."
Kami meneruskan berdansa dalam diam, sebelum Stefan kembali berbisik di telingaku.
"Ada yang ingin saya bicarakan dengan kamu, Satya. Kamu mau kita duduk atau kamu ingin kita tetap berdansa?"
"Let's sit."
Stefan kemudian menarik tangannya dan menggandengku, hingga kami berdua duduk di sofa. Stefan sama sekali tidak terlihat seperti pria yang mendekati 40 tahun. Memang ada sedikit kerutan, tetapi orang pasti akan mengira dia masih ada di awal 30-an. Wajahnya terlihat bahagia, dan itu membuatku tersenyum. Semoga aku membawa kebahagiaan dalam hidup Stefan.
"Kamu kenapa memandang saya seperti itu?"
Aku hanya menggeleng. "Apa yang mau kamu bilang?"
"Saya ingin mengajak kamu ke Belanda. Ada banyak hal yang ingin saya tunjukkan di sana. Tapi yang paling utama, saya ingin mengajak kamu karena Mei adalah bulan paling sempurna untuk mengunjungi Eropa dan Juni adalah ulang tahun kamu. Anggap saja, seperti hadiah dari saya untuk ulang tahun kamu."
Ke Belanda? Pikiran pertama yang melintas di pikiranku adalah dia ingin meresmikan hubungan kami. Kami tidak pernah menyinggung tentang itu sejak Rena menggoda kami di Biku dulu. Apa yang tiba-tiba membuatnya ingin mengajakku ke Belanda?
"Kenapa?"
"Kenapa apanya, Satya? Kenapa saya memilih Belanda atau kenapa saya tiba-tiba mengajak kamu? Belanda karena saya lahir dan besar di sana. Saya ingin menunjukkan kamu tempat saya tumbuh, tempat bermain saya dulu, saya ingin kamu melihat tempat yang menjadikan saya seorang Stefan. Kita tidak akan di Belanda terus-terusan, jika itu yang kamu khawatirkan. Perancis, Jerman, Belgia, Luksemburg tidak jauh. Kalau kenapa tiba-tiba saya mengajak kamu, karena saya ingin, Satya. Tidak ada alasan lain."
Jerman....
Mendengar Stefan menyebut negara itu, nama Lukas langsung menyeruak dan perasaan yang sudah lama hilang itu, tiba-tiba saja menggelitikku. It's been almost two years....
"Apa ini karena candaan Rena dulu, Stefan?"
"Candaan yang mana, Satya?"
"Tentang melegalkan hubungan kita."
Stefan hanya tersenyum. "Kita bisa sekalian melakukannya kalau kamu memang menginginkannya. Anggaplah juga sebagai perayaan hubungan satu tahun kita. Saya ingin merayakannya. Kamu pasti suka Belanda. Musim semi dan panas adalah waktu yang paling tepat untuk ke Eropa. Kamu perlu berada jauh dari Bali setelah Rena pergi."
Aku masih terdiam. Stefan sama sekali tidak tahu tentang Lukas, karena aku tidak pernah menceritakannya. Apa gunanya? Mengingat Jerman dan Belanda tidak jauh, apakah aku akan mampu mengendalikan diri untuk tidak menceritakan tentang Lukas? Sudah lebih dari lima bulan aku tidak mendengar apa pun tentang Lukas. Facebook-nya tidak aktif, surel yang aku kirim dan pesan yang aku tinggalkan di Skype juga tidak mendapat balasan. Ke Belanda jelas akan membuatku memikirkan Lukas. Aku hanya tidak mau itu terjadi. Akan tidak adil untuk Stefan.
"Boleh aku minta waktu, Stefan?"
Stefan menatapku lama sebelum dia mengangguk. "Take your time as much as you want, Satya. Jika memang kamu tidak ingin pergi, saya tidak akan memaksa. Kita bisa pergi ke sana kapan pun kamu mau. Kalau kamu memutuskan untuk menolaknya, saya yakin ada alasannya."
Aku mengangguk pelan.
"Saya ganti baju dulu ya? Kamu masih mau di sini?"
Aku mengangguk sebelum Stefan bangkit dan mencium keningku. Aku menelan ludah begitu Stefan menghilang dari pandanganku.
Belanda....
Kenapa tiba-tiba Stefan ingin mengajakku ke sana? Alasan yang dia bilang memang cukup masuk akal. Setelah Rena pergi, aku akan butuh waktu untuk menyesuaikan diri tanpa keberadaannya. Pergi ke Eropa memang seperti tawaran yang menggiurkan. Aku tahu akan menikmati Eropa. Aku tidak meragukan itu.
Namun pergi ke Eropa juga seperti membuka kembali perasaanku terhadap Lukas. Aku mengira, perasaanku ke Lukas sudah terhapus sama sekali dari hatiku, tapi ternyata masih ada sisa dari perasaan itu yang tertinggal. Aku mencintai Stefan, dan akan meyakinkan siapa pun yang meragukannya. Hanya saja ... ada yang belum selesai antara aku dan Lukas, meski aku tahu Lukas is straight. Perasaanku memang jalan di tempat untuknya. Namun itu tidak mengubah fakta kalau Lukas adalah masa lalu yang belum sepenuhnya aku tutup.
Ada ketakutan, bagian yang belum selesai itu akan merusak yang aku miliki bersama Stefan. Aku belum siap untuk itu.
Aku takut....
***
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro