April 2013...

Gue nggak tahu harus mulai dari mana. Gue tahu harus ngelakuin sesuatu buat Satya sama Lukas. Gue terlalu pengecut buat cerita langsung ke Satya. Sekalipun Stefan udah sering bilang supaya gue nggak usah mikirin masalah ini lagi, tapi gue masih ngerasa nggak tenang karena bukan gue sendiri yang cerita. Gue nggak pengen ninggalin Indonesia dan ngebawa rahasia yang selama ini gue simpen. Gue tahu, gue nggak akan pernah bisa berdamai sama diri gue sendiri kalau masih belum cerita.

Udah setengah jam lebih gue ngeliat kertas kosong di hadapan gue. Belum ada satu kata pun yang bisa gue tulis di sana. Gue rencana nulis surat buat Lukas karena cuma itu yang bisa gue lakuin buat dia. Gue dapet alamat dia dari hotel dan karena semua usaha gue lewat Facebook, e-mail, dan Skype nggak ada hasilnya, satu-satunya cara cuma lewat surat. Gue cumn berharap, Lukas mau maafin gue meskipun nggak akan kaget kalau dia bakal benci banget sama gue.

Tapi kebencian Lukas nggak akan pernah sebanding sama apa yang mungkin gue dapet dari Satya. Sekalipun Stefan udah ngejamin kalau Satya nggak bakal bereaksi berlebihan, gue tetep percaya, Satya bakal benci sama gue. I'm his best friend and I've been lying to him! Dan dia berhak benci sama gue. Gue nggak berharap Satya maafin gue karena sepenuhnya sadar, apa yang gue lakuin ini bener-bener bukan hal yang pantes buat dimaafin. Gue juga nggak pernah nyangka, kalau kebohongan gue itu bakal bikin hidup gue nggak tenang kayak gini. Gue cuma pengen ini berakhir sampai di sini.

Gue ngehela napas sebelum akhirnya mulai nulis....

***

"Rena? Saya kaget waktu ada yang kasih tahu kalau kamu di sini. Ada apa? Tidak ada masalah sama Joddi kan?"

Gue cuma menggeleng sambil natap Stefan. Gue memang sengaja nggak ngasih tahu dia kalau mau ke RETRO. Gue baru ngasih tahu pas udah di RETRO. Bahkan pas gue udah dapet meja.

"Everything is fine with Joddi. Gue ke sini karena gue mau ngasih tahu lo tentang sesuatu. Lo udah cek e-mail lo?"

Stefan keliatan bingung sama pertanyaan gue, tapi kemudian dia ngecek iPad-nya dan nggak butuh waktu lama sebelum tahu ada nama gue di inbox-nya. Stefan langsung natap gue bingung.

"Apa ini Rena?"

"Gue tahu, lo minta gue buat nggak ngungkit masalah Lukas lagi dan gue juga percaya, kalau lo pasti bakal ngasih tahu Satya. Tapi gue nggak bisa pergi ke LA tanpa gue sendiri yang bilang ke Satya. Itu link buat download video yang gue buat. Gue bilang semua yang pengen gue bilang ke Satya. Gue lebih pengen lo tunjukkin itu ke Satya daripada lo yang ngomong. Gue nggak mau hubungan lo sama Satya jadi kenapa-kenapa kalau lo yang ngomong. Biar Satya tahu kalau lo nggak ada hubungannya sama ini. Gue memang pengecut, Stefan. Gue nggak berani ketemu Satya buat ngomong langsung ke dia. Jadi gue mohon ke lo, please ... tunjukkin video itu ke Satya. Lo mau janji sama gue?"

Stefan cuma diem. Dia pasti nggak nyangka kalau gue bakal ngelakuin ini. Dengan cara ini, paling nggak gue punya back-up. Kalau Stefan nggak pernah ngasih tahu Satya tentang Lukas, gue bisa kirim link itu langsung ke Satya. Gimana gue tahu kalau misal Stefan nggak pernah ngasih tahu Satya? Kalau Satya masih baik sama gue, itu berarti Stefan masih belum cerita ke Satya. Nggak ada siapa pun yang tetep baik sama orang yang udah ngebohongin tentang sesuatu yang penting, apalagi ini nyangkut perasaan. Gue bakal lega kalau Satya manggil gue jalang, pelacur, pembohong, atau nama lainnya. Gue akan bisa nerima itu dengan gampang. Tapi karena gue kenal Satya, dia nggak akan ngelakuin itu. Dia akan benci sama gue dan ngebayangin itu, bener-bener bikin gue nggak kuat. Nggak ada gunanya nyesel sekarang. Semuanya udah kejadian.

"Boleh aku menunjukkan ini ke Satya ketika kami sudah ada di Belanda?"

Kali ini, gue yang kaget. Stefan ngajak Satya ke Belanda?

"Lo ngajak dia ke Belanda?"

Stefan cuma ngangguk. "I asked him soon after we got home from your wedding. Meski Satya tidak langsung mengiyakan, tapi akhirnya dia mau pergi. Saya bilang ini hadiah satu tahun anniversary kami, hadiah ulang tahun untuknya, dan juga sebagai liburan. Saya tahu kenapa Satya sempat ragu untuk menerima ajakan saya."

Gue ngerutin dahi gue. "Kenapa?"

"Karena Satya tahu, ada yang belum selesai antara dia dan Lukas. Satya pasti takut, kalau kami ke Belanda, dia akan tergoda untuk pergi ke Jerman dan menemui Lukas."

Kali ini, gue cuma diem.Goblok banget sih lu, Ren! Kenapa gue nggak mikir sampai kesitu pas ngomong ke Stefan buat ngajak Satya ke Eropa? Sekarang gue jadi ngerasa bersalah sama Stefan karena dia harus ngalamin ini.

"Gue minta maaf kalau saran gue waktu itu malah bikin lo jadi kayak gini."

Stefan cuma senyum sambil menggeleng. "Tidak ada yang perlu dimaafkan, Rena. Saya memang ingin mengajak Satya ke Belanda karena ingin dia tahu tempat saya tumbuh dan bertemu teman-teman saya. Saya bahkan tidak berpikir tentang Lukas sebelumnya. Pikiran itu baru muncul ketika Satya minta waktu untuk memikirkan ajakan ke Belanda. Satya mencintai saya, I have no doubt about it. Apa pun yang masih Satya simpan untuk Lukas, itu hanyalah sebuah ganjalan dari masa lalu. Saya sama sekali tidak meragukan Satya, Rena."

"Lo yakin?"

"Tidak ada yang sangat pasti di dunia ini kecuali matematika. Satya hanya takut, apa yang masih disimpannya akan melukai saya."

"Lo nggak cemburu atau khawatir?"

Stefan lagi-lagi menggeleng. "Sedikit, tapi hubungan kami akan tetap baik-baik saja sekalipun Satya tahu."

"Lo mau sekalian ngelegalin hubungan lo sama Satya di Belanda?"

Stefan senyum. "Saya masih belum tahu. Melegalkan hubungan itu bukan sesuatu yang mudah. Selain tanggung jawab yang besar serta konsekuensi yang tidak kecil, ada banyak yang harus diurus. Saya tidak mau memaksakan sesuatu ke Satya hanya karena saya menginginkannya. Saya akan jadi orang yeng egois kalau begitu. Mungkin bukan sekarang, tapi kalau memang suatu hari Satya menginginkannya, saya tidak akan keberatan sama sekali. Satya adalah yang paling penting. His happiness is the most important thing for me. Nothing else matters."

"Thank you, Stefan. Buat semua yang udah lo lakuin ke Satya dan udah ada dalam hidup dia. He deserves a very fine man and you're the best man that I've ever known so far in his life. Gue nggak ngebual, Stefan. Gue malah seneng banget lo jadi cowoknya Satya. Gue tahu, percaya, dan yakin, lo bisa bikin Satya bahagia. Lo janji kan bakal bikin dia bahagia terus?"

"I promise you, Rena. Saya bahkan berjanji sama diri saya sendiri untuk selalu membuat Satya bahagia."

Bohong kalau gue nggak terharu denger apa yang baru dibilang Stefan. Gue nggak pernah ketemu cowok kayak Stefan sebelumnya. Gue selalu ngira, cowok-cowok gay itu lebih banyak yang bangsat daripada yang nggak. Stefan matahin prasangka itu. Rasa cinta, sayang, sama perhatian yang dia kasih buat Satya, bikin gue salut. Gue jadi ngerasa, ada hikmahnya juga gue bohong ke Lukas sama Satya. Satya nemu pria kayak Stefan yang cinta setengah mati sama dia. Apakah hal ini bakal kejadian kalau gue nggak bohong sama Satya? Mungkin ya, mungkin nggak. Rasa bersalah gue jauh lebih berkurang sekarang karena ada Stefan disamping Satya. At least, I know that Satya will be taken care of and he is loved.

"Sampein salam gue ke Satya ya? Gue tahu dia ada acara hari ini dan gue nggak bisa ketemu dia. Gue cuma berdoa supaya hubungan lo sama Satya langgeng. Gue minta maaf, buat kebohongan gue ke Satya soal Lukas dan udah nyeret lo di situasi kayak gini."

Stefan ngulurin tangannya dan ngeremas tangan gue. "Thank you, Rena. For everything. Even for the lies."

Gue cuma bisa senyum. "Terima kasih lo nggak banget, tahu nggak sih?"

Gue sama Stefan ketawa.

Apa pun yang bakal gue terima dari Lukas maupun Satya ntar, gue udah siap. Gue pantes buat nerima itu. Gue cuma berharap, Lukas sama Satya bahagia sama pilihan mereka. Cuma itu....

***