2 | First Impression
Halo! Surprise update nih, hehe. Soalnya mau update Marry Me If You Dare tapi moodnya belum terbangun. Ok, ga banyak basa-basi, selamat membaca dan jangan lupa jejaknya ya.
Karena vote dan komentar kalian yang menentukan seberapa lama part selanjutnya akan dipublish.
.
.
.
Jatuh cinta itu nggak direncanakan
Makanya disebut jatuh
Memang ada orang yang berharap jatuh?
"Nggak paham deh. Orang tua kita kok ngebet banget ya anaknya nikah?" Aku langsung membuka topik pembicaraan tepat saat Kak Ian membelokkan mobilnya keluar rumah. Tidak mendapat sahutan dari makhluk di balik kemudi, aku memutuskan untuk menyalakan radio saja. Sudah capek-capek ngoceh, tidak ditanggapi. Rasanya hati ini sakit meski tak berdarah.
"Didikan Kakung, Fy," sahut Kak Ian bermenit-menit kemudian. Hello! Udah basi kali, Kak! Semacam Raisa udah sibuk bikin anak, eh Kak Ian malah bahas nikahannya. Aku mendengus. Memangnya cuma dia yang bisa sok budek kalau diajak bicara?! Aku pun!
"Fy, kalau tiba-tiba kamu dilam..."
"NO!" seruku langsung ketika tahu apa kata yang akan segera meluncur dari mulut Kakakku, membuat Kak Ian menutup sebelah telinganya dengan tangan kiri.
"...ar," lanjutnya dengan suara menggantung. "Heh! Nggak sopan teriak-teriak!" sahutnya yang sebenarnya juga bisa diklasifikasikan sebagai teriakan. "Kakak kan cuma berandai-andai aja," imbuhnya sambil memindahkan persneling.
Aku berdecak. "Nggak usah berandai-andai mulu. Nggak berfaedah."
"Kan, kamu yang duluan bahas topik orang tua pengen kita cepet nikah," kata Kak Ian bersilat lidah. Huh, nyebelin!
Dalam setiap percintaan, Kuselalu manis terasa
Dalam kisah ini, entah mengapa yang banyak terjadi
Dini belia usiamu, terpaut cinta belum saatnya
Setiap hela napas yang berdesah, hanyalah cinta
"Trus, kenapa harus Ify yang jadi topiknya? Kenapa nggak Kak Ian aja yang tiba-tiba disodorin calon bini?" tanyaku dengan latar belakang suara Agnes Monica menyanyikan lagu Pernikahan Dini. Ehalah, lagunya kok gini amat sih!?
Pernikahan dini
Bukan cintanya yang terlarang
"Ini radio kenapa sih?" gerutu Kak Ian yang langsung mengganti siaran. Nah kan, bukan cuma aku yang tersinggung mendengar lagunya!
"Tuh, kelamaan jomblo, jadi sensi sama lagu doang," ucapku kurang ajar.
Kak Ian langsung mendelik mendengarkan sindiranku. Jangan bilang mulutku liar, aku hanya menyatakan kebenaran. Selama dua puluh lima tahun Alvian Ardhani menghirup oksigen, makan dan buang air besar. Dia bahkan tidak pernah pergi jalan berduaan dengan makhluk berbuah dada alias wanita! Tidak percaya? Ya, sudah.
Kalau urusan kehidupan sosial, aku tiga langkah lebih maju daripada Kak Ian. Selain aku punya sahabat rasa pacar yang bernama Gabriel alias Gabby alias El. Aku juga punya dua teman perempuan yang sering mengekoriku kemana-mana. Kenapa? Karena keduanya memohon perlindunganku dari penggemar yang bisa jadi sasaeng (istilah penggemar di Korea sana yang terlalu fanatik), terkadang juga minta aku mengajari mereka untuk bela diri, tanpa bayaran. Kedua temanku itu bernama Alyssa dan Andini. Banyak orang menyebut kami triple A. Nanti kalau kamu bertemu mereka, kujelasin deh betapa absurdnya kedua temanku itu.
Kak Ian memutuskan untuk membisu, seiring dengan matinya siaran radio karena tidak ada yang sesuai dengan mood Kakakku saat ini. Hampir semua radio memutar lagu di pagi hari yang anehnya, lagunya setopik gitu sama Agnes. Seolah-olah, semesta berkonspirasi untuk menyindir Kak Ian, hahaha. Dan sayangnya, aku juga ikut merasa tersindir, huft.
"Oh ya, nanti pulang sendiri naik bus, ya. Jangan sok-sokan naik taksi. Boros," kata Kak Ian akhirnya.
Aku memanyunkan bibir. "Aku pulang sore, Kak. Jam sibuk. Semua jadi ganas rebutan Trans di jam segitu."
Kak Ian menoleh padaku sekilas dan berkata "Kakak ada rapat, Fy. Jangan manja deh."
"Ya udah, aku naik ojek aja," kataku yang sebenarnya tengah mengancam. Ayah dan Ibu mengizinkan aku naik transportasi apa pun, selama jarak antara aku dan lawan jenis yang menjadi pengemudinya aman. Dan ojek masuk ke dalam daftar tidak aman bagi mereka. Sooo... kalau aku pulang naik ojek yang mayoritas pengemudinya laki-laki. Dijamin! Kak Ian bakal kena kultuj. Kuliah tujuh jam, karena membiarkan adiknya yang perawan ting-ting ini harus dempet-dempetan sama laki yang bukan muhrimnya.
"Pulang sama El aja deh," sahutnya menyerah. Aku tersenyum puas. Jika begini, aku sudah dipastikan akan bebas dari kultum−kuliah tujuh menit−Ibu kalau pulang dengan Gabriel, karena izin dari Kak Ian sudah dipegang.
Aku dan Gabriel berteman dari kelas satu SD. Sampai aku berumur enam belas tahun alias kelas satu SMA, Ayah dan Ibuku tidak was-was kalau aku pulang pergi dengan Gabriel. Tapi setahun kemudian, saat aku ulang tahun ke tujuh belas. Ayah langsung mengatakan dengan lugas bahwa aku dan Gabriel tidak boleh terlalu dekat. Alasannya? Karena aku dan Gabriel sudah beranjak dewasa yang kadang tidak bisa mengatur emosi yang masih labil.
....
Aku hanya bisa tertawa meratapi nasib ketika tahu bahwa aku dan Gabby satu kampus, satu jurusan, bahkan satu kelas. Semesta memang luar biasa! Ketika orang tuaku bilang jangan dekat-dekat, alam justru membuat kondisiku dan Gabriel semakin dekat.
"Berarti, aku pulang sama Gabby, ya? Asyik! Duduk nyaman, perut aman. Makan ke mana dulu ya nanti sama dia," kataku sambil menerawang. Ayam pedas berlumur keju sepertinya yummy, makin yummy kalau dibayarin Gabriel.
"Fy," panggil Kak Ian dengan suara berat, membuatku menoleh dengan kedua alis terangkat. "Kamu sama El beneran nggak ada apa-apa?"
Aku tersenyum, nyaris terbahak. "Alifya Ardhani dengan Gabby? Rumput yang breakdance juga tahu itu nggak bakal pernah terjadi, Kak."
"Fy, serius nih," sela Kak Ian yang gemas. "Kalian udah kelamaan bareng. SD, SMP, SMA. Sekarang kuliah. Beneran nggak ada rasa nyaman yang bikin kecanduan trus terbayang tiap malam?"
Kali ini aku terbahak. Di antara semua laki-laki, kenapa juga harus dengan Gabby?
"Kak, jangan lebay deh! Lagian nggak mungkinlah! Gabby ibadah seminggu sekali. Lah aku ibadah sehari lima kali, itu belum sama yang sunnah. Visi hidup udah beda, nggak mungkin Ify bisa jatuh cinta."
"Yakin nih? Cinta kan sesuatu yang nggak bisa dicegah," sahut Kak Ian sangsi.
"Kak, setelah hidup dan dibesarkan sama Ayah dan Ibu. Ify masih cukup waras untuk jatuh cinta sama pria yang tepat, di waktu yang pas. Lagian, Ify juga nggak ada rencana untuk jatuh cinta dalam waktu dekat ini kok."
Aku membayangkan hal apa yang mungkin terjadi kalau aku dan Gabby sampai... errrr....
"Jatuh cinta itu nggak direncanakan. Makanya disebut jatuh. Memang ada orang yang berharap jatuh?"
Eh, iya juga sih. Aduh, sudahi sajalah pembicaraan cinta-cintaan ini. Kepalaku pening. Dua puluh tahun diajak ngomong ginian mulu .... Aku memilih diam dan berpura-pura sibuk dengan ponsel. Sepertinya cara ini berhasil, Kak Ian juga terdiam dan memilih untuk fokus pada jalan di depannya.
***
Kak Ian menghentikan mobil tak jauh dari gerbang utara kampusku. Aku pun menghela napas, gedung fakultas ekonomi akan lebih dekat kalau aku masuk lewat gerbang selatan. Tapi Kak Ian tidak pernah mau menurunkanku di sana karena dia harus memutar.
"Thanks, Kak. Nanti aku pulang sama Gabby, ya," pamitku sambil membuka sabuk pengaman.
"Ok, see you," sahutnya sambil aku membuka pintu mobil. Tak lama setelah aku melambaikan tangan ke arahnya dari luar mobil. Kak Ian pun pergi.
Aku mulai berjalan masuk ke area kampusku yang lumayan luas. Pintu utara dekat dengan gedung fakultas hukum, lapangan semi indoor (beratap dan dibatasi pagar besi agar bola tidak keluar lapangan), taman utara dan kantin bersama fakultas hukum, ekonomi serta sastra.
Saat aku berada di dekat lapangan. Aku melihat banyak sekali mahasiswi berada di luar pagar. Sepertinya sedang ada vitamin mata sedang olahraga. Berhubung aku punya vitamin mata sendiri yang bisa dilihat setiap hari di rumah. Aku tidak berselera untuk mencari tahu siapa subyek vitamin mata itu.
Eh, Kak Ian itu termasuk ke dalam golongan ganteng lho. Wajah ovalnya putih bersih, mungkin karena faktor pekerjaan dia yang kebanyakan di dalam ruangan. Kemudian hidung bangir, bibir merah alaminya yang pas, mata cokelat dengan alis tebal. Bah, kalau aku bukan adiknya, mungkin aku sudah naksir sama Kak Ian.
Di tengah keherananku sendiri dengan kemungkinan aku yang menyukai Kakakku. Tiba-tiba, gerombolan mahasiswi haus vitamin mata itu jadi histeris dan mulai bergerak ke arah gedung fakultas hukum, dengan seseorang di paling depan yang menjadi pusat kehebohan. Seorang pria yang berlari tunggang langgang menyelamatkan diri.
Aku yang merasa kasihan dengan si vitamin mata itu ikut berlari mengejarnya, setelah kami sejajar di depan area kantin bersama. Aku pun berseru. "Heh, sini!"
Si pria menoleh dan tanpa pikir panjang, dia mengikutiku. Masuk ke area kantin dan bergegas ke bagian paling ujung di belakang, area yang sering sepi pengunjung karena memang tidak adanya penjual makanan.
Aku menjongkokkan diri di belakang pembatas antar depot di dalam kantin. Begitu juga dengan pria yang tadi kupanggil. Mahasiswi di kampus ini sangat beragam, ada yang sangat kalem, ada juga yang sudah berubah jadi sasaeng fans. Nah, pria di sebelahku ini sepertinya pria menyedihkan. Awalnya populer, tapi hidupnya berubah jadi mencekam setelah jumlah sasaeng fansnya meningkat seiring dengan bertambahnya jumlah mahasiswi baru.
"Thanks," bisiknya sambil menoleh ke arahku.
Aku tersenyum kecut. "Nanti dulu, lo belum tentu selamat tahu," balasku memperingatkan. Alih-alih mengintip dengan risiko tertangkap dan dimakan hidup-hidup, aku menelepon Gabriel dengan suara sepelan yang kubisa.
"Pastiin depan kantin clear dari sasaeng dong, gue terjebak nih."
"Emangnya cowok gila mana yang mau ngejar lo, nggak takut dibogem apa?"
Aku berdesis. "Lo yang gue pukul duluan nanti, buruan ah, gue pegel jongkok nih!"
Setelah sambungan telepon mati. Aku kembali memperhatikan pahatan Tuhan dalam bentuk makhluk hidup berwajah di sebelah kiriku. Kulitnya tidak seputih kulit Kak Ian. Sawo matang gitu, tapi bentuk mata dan hidungnya bisa dikategorikan bahwa cowok ini termasuk ke dalam kelas cokelat manis. Pantas saja kalau jumlah sasaengnya sebanyak itu.
"Lo siapa?"
"Hah?" sahutnya dengan pelupuk melebar. "Kamu nggak kenal aku?" tanyanya bingung.
"Lo artis?" Dia menggeleng.
"Anak presiden?" Dia kembali menggeleng. "Yeeeh, bukan siapa-siapa, mau gue kenal, siapa lo?" imbuhku memancing peperangan.
Dia terlihat tersenyum, menampilkan deretan giginya yang rapi. Kemudian, tangannya terulur ke arahku. "Aku Rio. Ario Maheswara."
Maheswara? Aku berpikir sejenak, lalu menyambut uluran tangannya dan kami saling berjabat tangan beberapa saat. "Alifya Ardhani, panggil aja Ify."
"Aku udah tahu kok, Fy."
Sudah tahu? Aku mengernyit. Sebenarnya siapa sih Maheswara ini? Namanya terdengar tidak asing, dan dia barusan bilang kalau dia sudah tahu. Sudah tahu apa? Namaku? Nama panggilanku?
"Fakultas Ekonomi, jurusan Manajemen Bisnis semester tiga dan atlet Taekwondo kebanggaan kampus."
Heh?? Kok dia tahu semuanya?!
JANGAN BILANG DIA ITU SASAENG FANS AKU!!?
To be continue
Yak, RIFY telah bertemu.
Ditunggu vote dan komentarnya ya, sampai jumpa di part besok! ^_^)
280917
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro