15 | Rainy Day
Susah banget mau post part kali ini, semoga suka ya ^‿^
Selamat membaca!
.
.
.
Part 15 Rainy Day
Aku menyukai hujan
Karena kehadirannya aku bisa menangis sepuasku
Tanpa perlu takut ditertawakan dunia
***
Kamu tahu rasanya tak berguna?
Sekarang aku tahu. Tak peduli apa statusku sekarang, aku tetap tak bisa mengusir kesedihan yang dirasakan suamiku. Meski aku sudah bersusah payah memasakkan makanan kesukaannya berdasarkan resep yang ditemukan Ray di kamar orang tuanya. Rio tetap saja tidak mau makan.
Bodohnya, si calon dokter itu malah meminta Om Adit untuk memasang infus saja di tangannya karena dia sama sekali tak memiliki nafsu makan. Dan hari ini adalah hari ketiga si bodoh itu tetap berdiam diri di kamarnya, sementara aku harus bolak-balik dari rumahku, kampus, dan rumahnya. Benar-benar melelahkan!
“Aku capek Rio!” Pria yang menatap kosong jendela itu berjengkit mendengar suaraku. Dia menatapku heran dengan wajahnya yang lusuh, persis orang yang tidak mandi tiga hari. “Aku tahu kamu sedih, tapi kamu terlalu pintar untuk nyia-nyiain hidup kamu di kamar karena kepergian Mama.”
“Kamu nggak tahu rasanya, Fy,” balasnya dengan pandangan yang menusuk.
“Of course! Kamu nggak pernah cerita apa yang kamu rasain, kamu pikir aku bisa baca pikiranmu!? Psikolog sekalipun nggak akan paham kalau kamu nggak cerita!” jawabku berapi-api. Istri durhaka? Urusan nanti, yang penting manusia ini sadar dulu dari keterpurukannya itu.
Rio mengalihkan pandangannya dariku, dia menatap meja belajarnya lurus tanpa berkedip untuk beberapa detik.
“Kamu boleh nggak anggap aku, tapi jangan lupain Ray. Dia masih tanggung jawab kamu, dia adik kamu yang perlu kamu urus. Dan kalau kamu lupa, dia juga sama sedihnya kayak kamu.”
Dia masih bergeming.
“Aku nggak akan ingetin kamu buat makan lagi sekarang, prioritasku cuma Ray karena dia satu-satunya orang yang menghargai aku di rumah ini. Perut, perut kamu. Aku nggak peduli!”
Aku membalikkan tubuhku dan bersiap kembali membuka pintu, membiarkan pria itu sendiri dengan dunianya yang sulit aku pahami. Tapi tubuhku tiba-tiba membeku ketika tangannya merengkuh perutku, memenjarakanku dalam tubuhnya yang agak… bau?
“Maafin aku,” katanya nyaris seperti bisikan di samping telinga kananku. “Aku tahu, aku salah, maafin aku.”
Aku memiringkan sedikit wajahku ke kanan, melihat wajahnya dengan sudut mataku. “Nggak ada yang salah dalam cara seseorang ketika menghadapi kehilangan, Rio. Tapi aku nggak mau kamu terus-terusan begini. Aku mau kamu inget, kamu itu nggak sendirian. Kalau kamu emang nggak anggap aku ada. Seenggaknya, kamu bisa hadapin ini sama-sama dengan Ray.”
“Aku nggak bermaksud gitu, Fy. Aku minta−“
“Jangan minta maaf. Aku udah pernah bilang, kan? Sekarang lepasin aku, sebelum aku pingsan karena dipeluk sama orang bau.”
Rio melepaskan pelukannya dan aku bersedekap memerhatikan tingkahnya. Dia mencium aroma kausnya. “Aku lupa mandi,” katanya dengan senyum kecil yang sudah kurindukan berhari-hari.
“Nggak heran, kamu aja lupa kalau sekarang udah punya istri,” sarkasku yang ternyata berhasil membuat senyumnya melebar.
“Maaf ya, istriku. Aku mandi dulu. Kita mau makan di mana hari ini?”
Aku menghela napas. “Kamu mandi aja dulu, aku tunggu kamu sama Ray di ruang makan.” Aku membalikkan tubuh, meninggalnya dengan gerutuan yang mulai menggunung di batinku. Pertanyaannya adalah bukti bahwa tiga hari ke belakang, dia sama sekali tidak sadar kalau aku selalu membawa makanan hasil olahanku ke dalam kamarnya.
***
“Kak Rio gimana, Kak?” tanya Ray langsung saat melihatku muncul dari balik dinding ruang makan.
“Lagi mandi, nanti dia ikut makan sama kita di sini.”
“Serius? Kak Ify berhasil ngebujuk Kak Rio? Keren banget!” pujinya tulus dengan mata yang berbinar untuk pertama kalinya setelah Mama meninggal. Sial sekali nasibmu, Dik, memiliki Kakak yang sangat menyebalkan seperti Rio di kala orang itu bersedih.
“Jangan dibujuk,” kataku sambil membukakan piring yang tertelungkup di depan Ray, mengambilkannya dua centong nasi beserta omelette dan tumis buncisnya. “Lain kali, teriaki saja Kakakmu itu, dan bilang kalau kamu nggak peduli lagi sama dia. Nanti dia bakal takut dan sadar sendiri.”
Aku meletakkan piring makannya ke depan Ray dan duduk lagi di kursiku yang berhadapan dengannya. Bocah laki-laki itu sebenarnya sudah enam belas tahun, mampu untuk mengambil makanannya sendiri. Namun setelah melihatnya menangis begitu kencang saat Mama meninggal, aku merasa bahwa bocah di depanku ini lebih muda dari usianya. Dan aku merasa memiliki kewajiban untuk memanjakannya sedikit, persis seperti yang Kak Ian sering lakukan padaku selama ini.
“Jadi, tadi Kakak marahin Kakakku?” tanyanya sambil menyuapkan sesendok nasi dengan omelette ke mulutnya.
“Hm. Kamu nggak marah, kan?”
Ray menggelengkan kepala dengan mulut yang setengah penuh. “Nggak, toh buat kebaikan Kak Rio juga.”
Aku tersenyum melihat cara Ray makan masakanku, itu artinya, makanan ini layak dimakan oleh manusia meski Ibu sempat memarahiku di rumah tadi ketika melihat bentuk omelette-ku yang tidak bundar sempurna, serta menggelap di beberapa sisi alias gosong.
Ketika Ray memotong bagian omelette yang hitam legam. Aku menelan ludah. “Kalau nggak enak, nggak usah dima−“
“Enak kok, Kak. Meskipun nggak persis kayak buatan Mama. Tapi masakan Kak Ify lumayan enak,” potongnya kemudian kembali mengunyah. Hm…. Adik iparku tahu caranya menghargai sekaligus mencuri hati seseorang rupanya.
“Lho, siapa yang masak, Ray?”
Aku menyandarkan punggungku ke kursi sambil mendengkus. Si bodoh datang, dengan aroma sabun yang menguar dari tubuhnya yang kini duduk di sebelah kananku.
“Kak Ify, Kak. Udah dari kemarin lusa Kak Ify selalu bawa makanan buat kita.”
“Oh, ya?” tanyanya sambil membuka piring dan mengambil nasi. Jangan harap aku mau melayaninya! Jangan harap! “Kakak kira kamu pesen dari warteg, Ray.”
Aku menarik napas dan membuangnya secara perlahan. Masakanku memang mirip sama masakan warteg, tapi kalian berdua adalah makhluk−selain keluargaku−beruntung pertama yang mencicipi masakan warteg ala Alifya. Gabriel saja tidak pernah, padahal nyaris seumur hidup kami sudah saling mengenal.
“Keasinan, Fy,” kata Rio membuatku melotot. “Mama pernah bilang….”
Rio menghentikan ucapannya, begitu juga dengan suapannya. Tangannya yang sudah menggenggam sendok berisi nasi dan tumis buncis seolah membatu di atas meja. Aku masih setia menantikan kelanjutannya bicara sampai akhirnya aku mendengar suara Ray yang menginterupsi.
“Kalau masak keasinan, tandanya kebelet nikah. Lucu ya, padahal Kak Ify udah nikah, hehe…”
Usaha Ray untuk mengusir suasana duka terlihat dengan jelas, dan aku hanya bisa menimpalinya dengan…. “Bukan ide yang buruk untuk nikah lagi kok, Ray. Masih belum ada yang tahu ini kalau aku udah nikah.”
Dan kesunyian itu pun musnah dengan Rio yang terus mendesakku untuk mengumumkan pernikahan kami.
***
Apa yang lebih nikmat selain menikmati semangkok mi rebus ketika hujan datang? Siang ini aku hanya makan siang bertiga dengan Andini dan Gabriel di gedung kantin sebelah gedung Fakultas Ekonomi. Alyssa sedang sibuk dengan urusan acara−apalah itu, aku tidak berminat−di gedung Kemahasiswaan. Hujan yang cukup deras pastinya mengurung Alyssa di sana, semoga saja gadis itu tidak tertangkap basah oleh Gio, mantan yang masih tergila-gila padanya.
“Lo cukup makan mi doang?”
Pertanyaan Gabriel membuatku mendongak dengan wajah tak terima. “Lo ngomong seolah-olah porsi makan gue selama ini mirip babi tau nggak?”
Andini tertawa mendengar responku yang kelewat menyebalkan. Selain faktor PMS, kejadian kemarin di rumah Rio membuatku masih merasa sangat kesal. Apalagi pagi ini, Rio memaksaku untuk berangkat bersama ke kampus, padahal ini hari pertamanya kuliah sejak Mama meninggal. Kalau dia mau cari sensasi atau buat skandal, cari saja satu dari sekian ratus sasaeng fansnya itu. Jangan menyeretku.
“Lo nyeremin kalau lagi laper sama lagi mau dateng bulan tau nggak?” balas Gabriel dengan nada bicaraku tadi.
“Lo hapal jadwal mens-nya Ify, El?” tanya Andini dengan mata melebar. “Udah kayak laki bini aja lo berdua,” takjubnya.
“Hm, dia lakinya, gue bininya,” jawab Gabriel ngawur yang mengundang tawaku. Terimakasih semesta, sudah mengirimku teman-teman idiot macam mereka berdua.
“Hujannya deres banget, ya,” kata Andini yang tiba-tiba mengubah topik. “Kuyup dong kita sampe kelas ntar.”
“Ini waktu diijabahnya doa kata Nyokap gue, daripada ngeluh. Mending lo berdoa biar nggak basah kuyup pas nerobos hujannya ntar.”
Andini melirikku dengan malas. “Nggak gitu juga kali.”
“Apa tu diijabah?” tanya Gabriel, maklumlah, kepercayaannya berbeda dengan aku dan Andini.
“Waktu-waktu yang kalau kita berdoa, doanya nggak tertolak. Lebih pastinya, buka Mbah Gugel aja,” jawabku malas sambil mengangkat mangkok dan menyeruput langsung isi kuah yang tersisa.
“Ify!” seru Andini yang melihat cara makanku. Kelamaan kalau pakai sendok, toh disini tidak ada Ibu, Ayah dan… suamiku… jadi aman. Tidak akan ada yang marah-marah. Huft, aku harus berhenti memikirkan kata suamiku, suamiku, nanti kalau keceplosan, bahaya. Bisa hancur dunia persilatan.
“Nggak heran kalau lo menjomblo selama ini, lo makan kayak kuli bangunan.”
“Masih mending itu mah, Din. Dia bisa makan persis kayak babi kalau lagi BT.”
Terserah deh! Terserah kalian mau menyamakanku dengan makhluk apa pun. Aku mau cepet-cepet balik ke kelas aja mumpung hujannya sedang mereda. Andini dan Gabriel mengikutiku setelah membayar makanan mereka. Aku berhenti di depan pintu gedung kantin dan menengadahkan tangan ke arah tetesan hujan.
“Nggak mau mandi hujan, Fy?” tanya Gabriel membuatku tersenyum, masa kecil kami yang begitu menyenangkan setiap kali hujan datang. Sudah lama kami tidak melakukannya semenjak masuk bangku SMA.
“Di kampus banget nih? Nggak takut diketawain orang-orang?” jawabku membuat Andini yang baru saja bergabung dengan kami mengerutkan alis.
“Kalau kita terus-terusan mikirin pendapat orang lain tentang hidup kita, kapan kita bahagia? Yang ada kita malah capek karena terus bersikap sesuai kemauan mereka. Gue inget banget lo pernah bilang begitu. Dan lo juga bilang… aku menyukai hujan, karena kehadirannya, aku bisa menangis sepuasku tanpa perlu takut ditertawakan dunia. Iya, kan?”
“Kalian mending pacaran aja deh, udah klik banget lho,” kata Andini menginterupsi. “Jadi nggak nih kita terobos hujannya? Mumpung agak reda.”
Aku tersenyum kecil ke arah Andini sebelum kembali menatap Gabriel. Aku menganggukkan kepala dan Gabriel memberikan aba-aba, di hitungan ketiga, kami sudah seperti mahasiswa kurang kerjaan yang berteriak tidak jelas ketika menerobos hujan yang mendadak berubah menjadi deras. Lebih deras daripada sebelumnya, sehingga sangat mustahil kami bisa sampai di gedung fakultas dalam keadaan kering.
Di tengah guyuran hujan, entah kenapa aku merasakan mataku mulai memanas dan aku menyadari sesuatu yang hangat itu mengalir keluar dari pelupukku. Sepertinya, mandi hujan kali ini memang sengaja dihadirkan Tuhan untuk menutupi luka hatiku yang sudah kutahan.
Tiga langkah sebelum sampai di lobi gedung fakultas, aku mengusap kedua mataku dan tertawa lepas. Andini menggerutu karena mengikuti keputusan tololku dan Gabriel untuk menerobos hujan sementara Gabriel sibuk melepaskan jaketnya, mengibaskannya dua kali sebelum jaket itu kini menyelimuti tubuhku.
“I know you’re not fine. But I know you’ll be fine because it rains today.”
Aku tersenyum kecil ke arahnya. “You know me too well.”
“Woy, masih ada gue kali di sini. Lagian, lo berdua nggak malu apa dilihat orang-orang dari gedung dosen? Noh, matanya fokus menonton drama yang kalian pertontonkan.”
Perkataan Andini membuat pandanganku melurus ke arah gedung Rektorat dan Dosen yang… kenapa aku melihat sosok Rio di antara beberapa orang yang berteduh di lobi gedung? Apa aku salah lihat atau….
“Fy, gue lama-lama beneran takut lho sama Ario kalau dia natap gue begitu. Gue masuk duluan deh, ya,” bisik Gabriel yang melenggang ke dalam gedung lebih dulu, meninggalkanku dan nyawaku yang berada di ujung tanduk saat ini.
Kok rasanya seperti tertangkap basah lagi selingkuh ya?
.
.
To be continued
Cepet ya updatenya?
Iya, soalnya semangat banget lihat jumlah vote yang alhamdulillah lebih banyak daripada part kemarin. Semoga part kali ini meningkat lagi ya (´⌣'ʃƪ)
Kutunggu bintang-bintang dan komentar kalian, sampai jumpa part besok!
210118
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro