Chào các bạn! Vì nhiều lý do từ nay Truyen2U chính thức đổi tên là Truyen247.Pro. Mong các bạn tiếp tục ủng hộ truy cập tên miền mới này nhé! Mãi yêu... ♥

Part 14

I'm lucky I'm in love with my best friend
Lucky to have been where I have been
Lucky to be coming home again

(Lucky by Jason Mraz feat Colbie Caillat)

💕💕💕

Warning: Part ini berisi adegan bulan madu dan mature😉

"Mau saya yang buka kain itu atau ... Mas yang melakukannya sendiri?"

Flora bersedekap, mata menyipit, bibir menipis, serta dagu diangkat tinggi—gestur congkak yang dulu biasa dia gunakan untuk mengintimidasi korban rundungannya. Hanya saja, saat ini berbagai macam perasaan campur aduk, berkumpul di dadanya.

Dongkol, sudah pasti. Dia berhasil dikelabui oleh penampilan konyol sang suami. Akan tetapi, porsi terbesar justru dikuasi oleh degup-degup rindu menggebu-gebu. Pijar kebahagiaan menyala, membuat dadanya menghangat, sehangat udara tepi pantai di Amanwana.

"Kalo saya yang buka, Mbak harus bayar tip."

Hampir saja dengusan tawa lolos dari mulut Flora. Namun, dia segera menyamarkannya dengan batuk-batuk kecil.

"Ya udah, saya kasih tip. Ayo, cepat buka," balas Flora dengan nada memerintah. Namun, dia bisa merasakan suaranya bergetar tertahan.

Setelah bergeming beberapa saat, tangan kanan lelaki itu akhirnya terangkat. Dan perlahan tapi pasti, kain penutup itu tersibak, menyingkap raut wajah yang tadinya setengah tersembunyi.

Seringai lebar Dicko menyapanya. Kerling jenaka lelaki itu berhasil melukiskan sebentuk garis melengkung ke atas di sudut-sudut bibirnya. Akan tetapi, gurat-gurat halus itu segera dia hapus karena tak ingin ketahuan terlalu antusias atas pertemuan mereka.

"Udah, Mbak. Tipnya mana?"

"Mau berapa?"

Seringai di wajah Dicko semakin lebar, ditemani binar jahil di matanya. "Bayar pake ciuman aja, Mbak. Di bibir," jawab Lelaki itu seraya mengetuk-ngetuk pelan bibirnya yang sengaja dimonyongkan.

Ucapan bernada mesumnya justru berbuah cubitan kecil bertubi-tubi di pinggang. Lelaki jangkung itu sontak berlari menghindar sambil mengaduh-aduh diselingi tawa lepas yang begitu Flora rindukan.

"Gimana, Mas? Tip dari saya enak banget kan?" Flora mengejar Dicko yang berlari sekeliling kamar. Tangan gadis itu begitu cekatan menghujani sang suami dengan cubitan gemasnya.

"Aduh! Sakit, Flo! Agh! Aw! Ampun!"

"Nggak ada ampun-ampunan, Mas. Tipnya harus saya bayar lunas!" Kali ini Flora yang tertawa keras demi melihat ringisian di wajah sang suami.

Dicko terus berlari menghindar. Kaki panjangnya mengitari meja dan sofa lalu berputar ke arah tempat tidur berkelambu yang tertata rapi. Namun beberapa detik kemudian, tempat itu porak poranda manakala Dicko yang tak kuasa menahan serangan melompat ke sana diikuti Flora yang masih mengejarnya dengan tawa membahana.

Dicko menggelindingkan tubuhnya di atas kasur empuk lalu dengan cepat menyambar bantal untuk dilemparkan ke arah Flora. Gadis itu terkejut, tak sempat menangkis serangan balasan.

"Ah! Kamu curang!" pekiknya saat bantal kedua menghantam wajah, disusul bantal ketiga yang mengenai perutnya.

Dicko tertawa penuh kemenangan. Begitu melihat sang istri sedang lengah, dia segera maju dan menyambar pinggang gadis itu, menggelitikinya tanpa ampun.

"Dicko! Geliiiii! Ampun, ampun! Udah, ah! Geliiiii!! Hihihihi!"

Flora terpekik-pekik kegelian hingga sudut-sudut matanya berair. Dadanya sesak oleh tawa yang tak kunjung reda. Wajahnya memerah. Pendingin ruangan pun tak cukup ampuh mencegah peluh.

Usahanya untuk menepis tangan kokoh Dicko yang masih menggelitiki pinggangnya sia-sia belaka. Lelaki itu justru memerangkap tubuhnya hingga mereka berguling-guling, tindih-bertindih di atas kasur yang tampilannya kini acak-acakan.

"Hihihihi! Kooohhh...! Udah dong, pliiiisssshh...! Hihihihi!" Tubuh Flora menggeliat-geliat tak terkendali menahan geli. Napasnya merengap.

"Kalau kamu bilang 'Sayang', aku bakalan berhenti."

"Noooo...!"

"Kalo gitu aku nggak akan berhenti gelitikin kamu." Dicko terkekeh keras.

"Dickoooo...!" Gadis itu berteriak di antara napas yang kembang-kempis diiringi tawa tak putus-putus hingga membuatnya tersedak. Rasa geli semakin mendera tak tertahankan.

"Iya-iyaaaa... Sayang.... Huffh... hufh... hufh! Udah, Sayang... udaaaahhh!"

"Apa? Nggak dengar. Coba ulangi!" Seringai jahil Dicko merekah lebar.

"Ampuuun, Sayaaaaang. Udaaaah...!"

Dicko terkekeh lebih keras sebelum akhirnya menghentikan gerak jemarinya di pinggang Flora lalu menghempaskan tubuh di sisi gadis itu.

"Astagah!" gerutu Flora di tengah deru napasnya. "Pasti kita dikira lagi ngapa-ngapain, deh!"

Tawa keduanya kembali pecah. Mereka berguling menyamping, berhadapan, sambil memegangi perut yang menegang. Cukup lama seperti itu hingga tawa mereka lambat laun menghilang. Dan yang terdengar hanya desah napas memburu, dilatari deru ombak yang menyisir pasir pantai di kejauhan.

Begitu damai dan magis.

Netra Dicko bergeser ke depan, mendapati Flora yang tengah memejam. Dadanya naik turun dengan cepat kemudian memelan perlahan hingga bergerak teratur.

Wajahnya yang masih memerah tampak diliputi kebahagiaan dan kelegaan. Seolah untuk pertama kalinya dia merasakan kedamaian setelah penantian yang panjang. Gadis itu lantas tersenyum.

Dicko tertegun. Hatinya meneduh, menikmati wujud bahagia di wajah yang setengah mati dirindukannya. Tak ada yang lebih diinginkannya selain benar-benar berada di sisi perempuan yang dicintainya itu.

Tangannya tiba-tiba terjulur. Punggung jemarinya bertemu dengan kulit pipi Flora yang begitu lembut. Dibelainya pipi itu dalam gerak lamban, seakan baru pertama kali merasakan. Susurannya berjalan sepanjang tulang rahang hingga dagu, lalu naik merambah bibir kemerahan yang sedikit merekah. Sentuhan yang berhasil menderaskan desiran di nadi masing-masing.

Lambat-lambat, mata Flora membuka dan pandangan mereka bertemu. Tangan gadis itu meraih jemari Dicko yang masih mengusap lembut bibirnya, lalu jemari mereka bertaut.

"Aku merasa diberkati karna bisa nyentuh kamu lagi...."

Bisikan lembut Dicko membuat senyum Flora melembut. Tangannya yang bebas terangkat, menangkup pipi suaminya yang sedikit menghitam oleh cambang tipis.

"Aku juga...."

Dicko memejam. Napasnya tertahan, meresapi setiap sentuhan yang melambungkan angan-angan. Tangan lembut itu digenggamnya untuk kemudian dikecupnya dalam-dalam.

Tebersit keinginan untuk mengecup bibir gadis itu pula. Akan tetapi dia tahu, mereka tak perlu terlalu terburu-buru.

*

*

*

Flora membuka mata setelah tidur lelapnya yang terasa panjang. Dan setelah berminggu-minggu, akhirnya dia bisa terbangun disertai senyuman.

Gadis itu menggeliat kemudian merenggangkan tubuhnya yang tak lagi terasa penat. Dia menoleh ke samping, namun senyumnya mendadak lesap saat tak mendapati sosok sang suami yang tadi sama-sama tertidur di sisinya. Hanya ada bantal-bantal dan selimut yang berserakan di sekitar.

Sontak Flora terduduk. Dengan panik, dia memutar pandangan ke penjuru kamar. Sepi. Hanya dia seorang diri. Dia lantas mencari ke kamar mandi, tetapi nihil.

Ketiadaan Dicko membuat kesedihan kembali menghampiri. Apakah kesenangan yang tadi dia rasakan hanya mimpi?

Hampir saja air matanya menitik, namun tertahan oleh dering ponsel yang tiba-tiba berbunyi, membuatnya terperanjat. Dengan langkah lunglai, Flora bergerak ke arah tas tangannya yang tergeletak di atas meja.

Pupilnya melebar saat melihat nama si penelepon. Dicko. Segera diusapnya tanda terima dengan dada berdebar-debar.

"Halo?"

"Sudah bangun?"

Suara Dicko yang terdengar mengandung senyum membuat Flora refleks ikut tersenyum. Dan bukan hanya itu alasannya. Debur ombak di seberang sana memberitahukan padanya, bahwa pertemuan mereka tadi bukanlah mimpi semata.

"Sebentar lagi sunset."

Flora mengangkat wajah, menatap ke jendela dan mendapati hari sudah beranjak petang di luar.

"Mandi, gih. Aku udah siapin outfit buat kamu. Ada di sofa. Aku tunggu kamu di pantai dalam lima belas menit."

Sambungan diputus. Flora segera melongok ke arah sofa dan mendapati sebuah gaun pantai selutut tanpa lengan berwarna putih.

Senyum di wajahnya tak hendak lepas. Terlebih saat membaca tulisan pada secarik kertas yang diletakkan di atas pakaian itu, Flora dibuat geleng-geleng kepala sambil terkekeh.

Karna aku berhasil bikin kamu panggil aku SAYANG, selama di sini, kamu harus pakai pakaian yang aku siapkan. Nggak boleh ada bantahan 😘

Tanpa menunggu lagi, Flora melesat ke kamar mandi. Beberapa menit menjelang waktu yang Dicko berikan, dia sudah keluar dari kamar tenda mereka menuju tepi pantai.

Tak sulit menemukan Dicko di sana. Lelaki itu sedang berdiri menghadap laut, menikmati pemandangan luar biasa indah yang dihamparkan Yang Maha Kuasa. Angin kencang menampar-nampar kemeja putih yang dia kenakan. Kedua tangannya terselip di dalam saku celana.

Flora justru lebih menikmati menatap punggung bidang sang suami. Lalu dia membayangkan dirinya merebahkan kepala di sana dengan nyaman seraya memeluknya erat-erat. Memikirkannya saja membuatnya tersipu malu.

Dia terus melangkah menuju lelaki itu, tanpa alas kaki, menghasilkan jejak-jejak kakinya pada pasir basah. Dan seolah menyadari sosok istrinya tengah berjalan mendekat, Dicko lantas menoleh ke belakang. Lelaki itu tersenyum semringah demi melihat penampilan Flora yang begitu cantik senja ini.

"Suka gaunnya?" tanya Dicko begitu Flora tiba di dekatnya.

Gadis itu mengangguk pelan, sedikit kikuk mendapat tatapan elang milik Dicko. "Kamu berbakat jadi fashion stylist."

Dicko terkekeh. Tangannya lalu terjulur meminta tangan Flora. Gadis itu menyerahkannya tanpa ragu. Mereka lantas berjalan sambil berangkulan, menyusuri tepi pantai dalam diam.

"Cakep banget, ya." Flora memecah hening di antara mereka. Matanya terarah ke langit senja yang mulai dihiasi semburat merah. Di ufuk barat, matahari hampir mendekati cakrawala. "Beruntung banget penduduk di sini, bisa lihat sunset di tepi pantai tiap hari."

Dicko bergumam mengiyakan. "Emang kamu mau tinggal di sini?"

"Mau-mau aja, sih. Di sini tenang, nggak sumpek, nggak ada macet, nggak ada polusi...."

"Oya? Yakin mau tinggalin kehidupan di Jakarta?"

Dicko melihat istrinya tampak berpikir.

"Mungkin suatu hari nanti," jawab Flora kemudian, "aku pengin kita menghabiskan masa tua di tempat kayak gini."

"Hmm, trus kita ngapain aja?"

"Kita bikin resort di tepi pantai. Kamu yang desain bangunannya, trus kita pekerjakan orang-orang. Kita cuma memantau sambil bersantai di rumah pantai dekat resort." Mata Flora menerawang jauh, bibirnya mengukir senyum bahagia. "Setiap hari kamu bawa pulang hasil laut, trus aku yang masak. Kita juga bisa snorkeling sesekali."

"Ide bagus," sambut Dicko sungguh-sungguh. Kepalanya ikut membayangkan masa tuanya yang damai bersama Flora.

Lelaki itu melepas rangkulannya, menggenggam jemari Flora lalu mempertemukan tatapan mereka. Kedua netra berbeda warna itu terpaku, melebur dalam latar langit senja yang indah syahdu.

"Dan aku bisa nyium kamu tiap hari di tepi pantai kayak gini...."

Flora lebih dari siap jika Dicko menciumnya lagi. Namun, tubuhnya tetap saja dibuat tersentak oleh rindu yang terkungkung berminggu-minggu. Ketika aroma mint segar itu menyerbu berpadu bersama aroma asin laut, dahaganya tertunaikan. Namun di saat yang bersamaan, keinginan untuk mereguk menjadi sulit terpuaskan. Meminta lebih, lagi dan lagi....

Erangan tertahan yang lepas dari tenggorokan Dicko memberitahukan bahwa dia pun merasakan hal yang sama. Tak pernah ada kata puas baginya untuk satu ciuman bersama gadis itu.

"Tapi sebaiknya kita berhenti sekarang...," bisik Flora di antara bibir mereka, "ada yang motret kita di belakang."

Bibir Dicko melengkung. "Aku tau. Aku minta salah satu fotografer andalan Eomma buat motret bulan madu kita."

Mata bulat Flora membola. Mulutnya membuka hingga gerahamnya terlihat jelas oleh Dicko.

"Ko...! Malu, ah!" Flora memprotes dalam bisikan.

"Eit, nggak boleh ngebantah." Dicko meletakkan telunjuknya di bibir gadis itu. "Cuekin aja, anggap dia nggak ada. Ayo, aku tunjukin sesuatu. Kamu pasti suka."

Dengan enggan, Flora menutup mulutnya rapat-rapat. Kendati sedikit tak nyaman, dia menurut saja saat Dicko menarik tangannya. Mereka berjalan beberapa meter hingga mencapai belokan di dekat sekumpulan pohon kelapa. Dan sebuah kejutan segera menyambut begitu mereka memunculkan diri di baliknya.

Flora sepenuhnya dibuat lupa untuk mengusir fotografer yang tengah mengikuti mereka, mengabadikan setiap momen yang terjadi saat ini. Dia membiarkan orang itu membidik dan memerangkap ekspresinya dalam kilatan blitz tatkala menatap empat tiang yang dipancangkan di atas pasir, membentuk sebuah ruang persegi tak berdinding yang di dalamnya terdapat dudukan dari kayu lengkap dengan bantalan dan meja. Sehelai kain putih lebar diikatkan di atasnya, menggantung sebagai atap.

Empat tiang lampu menyerupai obor dan beberapa lampion segitiga diletakkan di sekelilingnya sebagai penerang. Sebuah tempat yang romantis untuk menghabiskan malam.

"Wow! This is so beautiful.... Ini ... ini kamu yang nyiapin?"

Flora tahu dia seharusnya tak perlu bertanya. Hanya saja dia terlalu terkesima.

"Yep, dibantu sama pegawai resort." Dicko menggandeng tangan istrinya. "Ready for our dinner?"

Tanpa ditanya pun, Flora sudah siap untuk itu. Perutnya sudah berdemo minta diisi.

Mereka duduk lesehan di atas bangku dalam posisi saling memeluk, menghadap ke laut lepas. Sang fotografer masih setia memotret kebersamaan mereka untuk beberapa menit kemudian.

"Mas Dicko, saya pamit dulu. Udah masuk waktu magrib."

"Sip, Mas Akbar. Makasih, ya. Besok jangan lupa, air terjun Mata Jitu."

Lelaki itu mengangguk lalu berpamitan juga pada Flora.

"Mas Akbar penduduk asli sini. Jadi dia sekalian pulang kampung," terang Dicko tanpa diminta.

Flora mengangguk. Selang beberapa saat, dua orang pegawai resort datang membawakan makan malam mereka.

"Gimana?" tanya Dicko ketika mereka mulai menyantap aneka sajian berbahan seafood.

Flora menjawab dengan mulut penuh. "Mantap!"

Dicko tersenyum senang.

"Tapi kamu yang habisin udangnya, ya. Aku nggak terlalu suka," lanjut Flora lalu menyeruput air putih.

Mereka melanjutkan makan sembari berbincang, bercanda tentang beberapa hal. Sementara langit perlahan mulai ditutupi selubung hitam bernama malam.

"Besok aku bakalan ajak kamu ke air terjun Mata Jitu a.k.a Queen Waterfall. Dulunya Lady Diana pernah berendam di sana. Kata Mas Akbar, tempatnya cakep banget."

"Kedengarannya asyik."

"Tapi jalan ke sana jauh dan pake acara jalan kaki segala. Kamu sanggup?"

Flora menyipit. "Kamu ngeremehin aku?"

"Kali aja kamu ogah diajak jalan di track menantang." Dicko terkekeh. Dia memang sangsi karena selama mengenal Flora, dia tahu gadis itu belum pernah mendatangi tempat yang jauh di kedalaman hutan dengan berjalan kaki.

"Aku emang belum pernah hiking dan trekking. Tapi jalur sesulit apa pun nggak akan bikin aku mundur." Flora tiba-tiba menunduk dengan air muka diliputi penyesalan. "Dan aku juga nggak akan pernah menyerah untuk kita, Ko. Seburuk apa pun jalan yang kita lalui, aku tetap akan melewatinya bersama-sama. Jangan bosan untuk mengingatkan kalo kamu lihat aku mulai banyak tingkah dan mengeluh. Aku butuh kamu untuk menjalani semua ini sampai akhir...."

Dicko menatap sang istri yang kini sedang mengusap sudut-sudut matanya. Baru kali ini dia menyaksikan gadis itu mau menunjukkan isi hati terdalam, tak lagi terhalang oleh ego dan harga diri.

Jemari Dicko lantas terulur, mengusap mata bening yang memantulkan cahaya jingga. "Aku juga nggak akan pernah menyerah untuk kita. Aku ingin kamu terus percaya, Flo, cuma kamu yang aku inginkan. Sekarang dan selamanya...."

Flora mengangguk bersama senyuman lembut di bibirnya. "Ya. Aku percaya."

*

*

*

Keesokan harinya, mereka menaiki kapal dari Amanwana Resort hingga ke sebuah desa bernama Labuan Aji, dilanjutkan dengan menaiki mobil Jeep yang disediakan pihak resort. Perjalanan ke air terjun kemudian dilanjutkan dengan berjalan kaki selama setengah jam.

Flora benar-benar membuktikan pada Dicko bahwa dia mampu menyusuri hutan menggunakan kekuatannya sendiri. Meski penat, pemandangan selama di perjalanan tak membuatnya banyak mengeluh. Ada perbukitan yang elok dan padang savana yang indah luar biasa terbentang di hadapannya.

Pengalaman ini membuat tekad Flora untuk melaksanakan rencananya semakin bulat. Dia akan menyerahkan diri sepenuhnya pada Dicko. Mungkin malam ini.

Gadis itu ingin menguji keberanian yang selama ini dipupuknya sendiri selama sesi konseling. Dia bahkan sudah memantapkan hatinya sejak semalam, sepulang mereka dari makan malam romantis di tepi pantai. Dan niatnya melakukan itu bukan hanya karena semata-mata menunaikan kewajibannya sebagai istri Dicko, melainkan karena dia juga menginginkannya.

"Kamu capek?" Dicko mengulurkan sebotol jus jeruk dingin padanya, bekal yang disiapkan oleh karyawan Amanwana Resort yang turut menemani perjalanan mereka.

"Enggak." Flora menyambut botol jus itu seraya menggeleng mantap.

"Bentar lagi nyampe kok, Mbak Flora," timpal Akbar si fotografer yang datang menyusul saat mereka tiba di Labuan Aji. "Nah, itu. Suara airnya mulai kedengaran. Di depan sana...."

Dicko dan Flora menajamkan telinga. Mulanya sama-samar, lama kelamaan semakin jelas. Suara derasnya air yang terjun dari ketinggian lalu mengalir di kejauhan. Bahkan hanya dengan mendengarnya saja membuat mereka seolah merasakan kesejukan sedang membanjiri tubuh yang berpeluh.

Mereka terus menatap ke depan. Hingga kemudian, di balik dedaunan dan sulur-sulur yang melilit di pepohonan, mereka melihatnya. Hijau yang menyegarkan mata.


"Kamu benar, Ko. Ini luar biasa...."

Flora menatap terkesima ke arah air berwarna hijau kebiruan yang mengalir dari ketinggian lalu terjun bebas ke kolam yang terbentuk secara alami di bawahnya. Ada total empat undakan dan tujuh kolam di sana. Kolam yang terbentuk dari bebatuan kapur yang mengorbankan diri tergerus arus air dengan setia selama ribuan tahun. Lalu stalaktit dan stalagmit yang menghiasi permukaan dinding air terjun menambah indah pemandangan yang terhampar.

Kedamaian ini, suasana magis ini, membuat hati Flora seakan larut bersama alam. Dan saat gadis itu merasakan tangannya digenggam erat, segalanya telah melebur dengan sempurna.

*

*

*

Meski lelah setelah seharian berpetualang—dari bermain air di Mata Jitu berlanjut scuba diving dan snorkeling di laut—Flora tetap bersemangat sekembali mereka ke resort sore harinya. Dicko meminta layanan makan malam di dalam kamar saking penatnya.

"Aku mandi duluan, ya." Dicko melepas kaus oblong warna biru yang dia kenakan seraya berjalan ke kamar mandi.

Flora tak menjawab. Wajahnya merona melihat punggung bidang sang suami yang sejak semalam menguasai benaknya. Entah ada apa dengan punggung hingga membuat perutnya serasa bergulung.

Gulungan di perutnya sudah terasa sejak semalam saat mereka tidur di kasur yang sama. Awalnya sedikit canggung karena terakhir kali mereka berada di satu tempat tidur adalah beberapa bulan yang lalu, pada malam pertama mereka sebagai suami istri.

Akan tetapi, tak bisa Flora pungkiri, dia merasa nyaman. Tidak lagi dilanda keresahan tak menentu.

Dicko keluar dari kamar mandi lima belas menit kemudian. Flora cepat-cepat mengambil giliran mandinya begitu melihat lelaki itu keluar tanpa atasan, hanya mengenakan boxer ketat abu-abu setengah paha serta handuk kecil putih tergantung di leher.

Gadis itu menghabiskan waktu di kamar mandi lebih lama dari Dicko. Dia kembali memantapkan hati. Misinya harus berjalan malam ini.

Matanya refleks mengerling gaun tidur yang tergantung di dekat lemari handuk. Dicko-lah yang melakukannya. Semalam juga begitu. Lelaki itu benar-benar serius soal pakaian yang dia sediakan untuknya selama di pulau ini.

Gaun tidur itu biasa saja, sama sekali tidak seksi ataupun mengundang. Panjangnya mencapai mata kaki dan berbahan katun.

Flora menggigit bibirnya saat memutuskan apakah akan mengenakannya atau tidak. Dan keputusannya harus menjadi awal dari kesuksesan misinya malam ini.

*

*

*

Dicko tak punya praduga terhadap apa yang akan terjadi di tenda bulan madunya dan Flora. Dia berpikir, mereka hanya akan tidur dalam artian sebenarnya di sana hingga sisa liburan mereka berakhir. Dia sungguh tak berani berharap yang lebih dari itu akan terjadi—pengalaman telah mengajarkannya demikian.

Oleh sebab itu, dia sama sekali tak menyiapkan diri saat melihat sang istri keluar dari kamar mandi dengan hanya mengenakan handuk—dia bahkan bisa menebak Flora tak mengenakan pakaian dalam di baliknya. Sedikit melotot, tapi dia tetap tak menaruh ekspektasi apa pun dan tak sempat memikirkan bahwa gadis itu telah dengan sengaja mengabaikan gaun tidurnya. Yang melintas di benaknya hanyalah, beruntung gorden-gorden sudah dia turunkan sehingga tak ada yang bisa melihat penampilan istrinya kecuali dirinya seorang.

Flora berjalan ke arahnya sembari menatapnya lurus-lurus. Rambut panjangnya basah, tergerai di atas dada, yang kini sepenuhnya tak terlindungi sehelai benang pun karena gadis itu baru saja menyingkirkan handuk berwarna putih itu dari tubuhnya.

"Flo ... what are you doin'...?" Dicko menahan napas setelah menelan ludah berkali-kali.

Flora menjawab pertanyaannya dengan satu gerakan yang membuat dada Dicko semakin terasa sesak. Gadis itu duduk di atas pahanya lalu mengalungkan kedua tangan ke lehernya.

"Just shut up and kiss me...."

Itulah yang terjadi kemudian. Dicko pun sudah kehabisan kata-kata, tertelan habis oleh kecupan hangat dan dalam yang membuatnya serasa kembali menyelam di kedalaman lautan.

*

*

*

Semuanya terjadi secara perlahan. Tak ada keraguan dan jerit ketakutan. Flora sepenuhnya menyerahkan diri ke dalam arus kenikmatan yang sejujurnya begitu menyakitkan. Tentu saja karena ini adalah pengalaman bercinta pertama baginya dan tak ada hubungannya dengan trauma masa lalu.

Kini dia telah menjadi wanita seutuhnya. Dan dia sungguh bahagia karena berhasil melewati satu babak paling mendebarkan dalam perjalanan pernikahannya dan Dicko.

"Open your eyes, Sweetheart...."

Bisikan lembut Dicko membawanya kembali ke permukaan. Direguknya udara sebanyak mungkin hingga memenuhi paru-parunya. Matanya terbuka perlahan, menemukan kernyit kesakitan di wajah lelaki yang berada di atas tubuhnya itu.  

"Oh!" Tersadar, dia segera melepas kedua tangan yang mencengkeram pundak Dicko. Dia lantas meringis. "Maaf, aku lupa motong kuku...."

Dicko terkekeh. "Never mind. Pasti nggak sebanding sama rasa sakit kamu."

Jari telunjuk Flora menyusuri lekuk hidung mancung di depannya. "Tapi aku lega...."

"Aku bisa lihat itu." Dicko mengecup pelan jari yang kini menyentuh bibirnya. "Makasih karna kamu benar-benar percaya...."

"Itu berkat kamu juga, Sayang."

Senyum Dicko merekah. "Wow. Itu kemajuan. Kamu bilang sayang tanpa diminta."

Jari Flora turun perlahan menuju dagu, leher, lalu ke dada bidang Dicko. Tawa merdunya terdengar pelan.

"Aku jadi suka mengucapkannya. Terdengar seksi."

"Hmm, coba ulangi...."

"Sayang...." Flora berbisik.

Dicko lantas merebahkan kepalanya di atas dada sang istri, yang terus menggumamkan satu kata, menjadi nyanyian pengantar tidur mereka malam ini. Dan senyum kepuasan mereka terus merekah. Mengalahkan mentari yang baru akan terbit esok hari, melahirkan semangat baru yang akan mereka bawa saat kembali ke rutinitas di Jakarta.

TBC

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro