Part 13
Warning: klik mulmed biar lebih berasa.... Entah berasa apa. Pokoknya klik aja 😝
💕💕💕
"There goes my heart beating
'Cause you are the reason
I'm losing my sleep
Please come back now
There goes my mind racing
And you are the reason
That I'm still breathing
I'm hopeless now."
(You are the reason, Calum Scott feat. Leona Lewis)
💕💕💕
"H-hai...."
Flora tergeragap, seketika lupa bagaimana cara tersenyum. Akan tetapi, dia tak ingin terlihat tak senang di mata Dicko, jadi dia mengangkat sudut-sudut bibirnya meski terasa sedikit kaku.
Detak jantungnya kembali menggila, terutama ketika netranya menangkap seulas senyum yang selalu berhasil memorak-porandakan pertahanannya. Ajaibnya, bibir Flora sontak mengikuti. Senyum yang terkembang dari hati.
"Gimana kabar kamu?"
Satu pertanyaan sederhana yang butuh perjuangan keras bagi Flora untuk menjawabnya. Benaknya kini tengah berpacu, menggulirkan kenangan-kenangan manis yang pernah dilaluinya bersama sang suami.
Itulah yang selalu dikatakan Eliana, psikolognya. Pikirkan hal-hal positif, kenangan-kenangan indah yang akan memunculkan perasaan bahagia....
"Aku ... kabarku baik. Kamu?" balasnya, hampir serupa bisikan.
"Aku? Belum mandi dan bau keringat."
Gadis itu kembali tersenyum, kali ini lebih lebar saat Dicko mengernyitkan hidung seraya mengendus ketiak kirinya.
"Om Koko kok belum mandi?"
Flora segera tersadar bahwa dia tak sendirian. Anne telah meringsek duduk di pangkuannya, ikut menatap ke layar ponsel bersama-sama.
"Ini kan udah malam, Om. Nanti Om masuk angin."
Dicko tertawa di seberang sana. Entah apa korelasi belum mandi dan masuk angin menurut gadis cilik itu.
"Om baru pulang kerja. Tadi Om sama teman-teman belajar ngerancang bangunan dari bambu. Bikinnya agak lama, jadi Om nggak sempat mandi. Nih, fotonya. Cakep, kan?" Dicko memperlihatkan gambar-gambar yang diambilnya menggunakan kamera DLSR.
"Cakep! Bambu itu apa, sih, Om?"
Dicko lalu menjelaskan dengan kalimat yang mudah dicerna oleh anak kecil seusia Anne. Gadis itu mengangguk-angguk seolah-olah dia sangat mengerti.
"Aku mau dibuatin rumah dari bambu dong, Om!" serunya. "Yang gede, yang ada kamarnya, ada tempat bermainnya juga!"
"Kalo Om udah balik ke Jakarta, Om bakalan buatin buat Anne. Tapi Anne harus bobok dulu. Oke?"
Gadis cilik itu mengangguk. Dia lantas berpamitan lalu melangkah ke kamar dengan patuh.
Kini tinggallah Flora duduk sendirian, menatap layar ponsel dan merasa kikuk, seakan-akan Dicko benar-benar ada di hadapannya. Tatapan lelaki itu masih membuatnya salah tingkah.
"Jadi, kok Anne bisa nginap di rumah?"
Merasa sedikit terselamatkan oleh pertanyaan itu, Flora menjelaskan apa yang terjadi pada keluarga kecil Andreas dan Maria. Dicko mendengarkan dengan saksama dan terkejut setelah cerita Flora selesai.
"Tapi tadi aku udah bicara sama Anne. Aku ceritain gimana aku dulu waktu tau Mama hamil. Kamu bener, dia anak yang cerdas dan sepertinya dia nangkep apa yang aku bilang. Mudah-mudahan aja ntar pelan-pelan dia bisa nerima."
Dicko tampak menggeleng-geleng tak percaya seraya terkekeh. "Ternyata Anne bisa cemburu sampai segitunya. Tapi yah, namanya juga anak-anak, kan?"
Apa lo lupa, Ko? Gue aja yang udah segede ini masih cemburuan akut....
"Pelajaran buat kita nanti kalo udah punya anak juga. Ya, kan, Flo?"
Flora menelan ludah, berjuang keras mengabaikan efek yang dihasilkan ucapan Dicko tersebut terhadap suasana hatinya. Suami lo nggak ada niat apa-apa bilang gitu, Flo. Dia cuma ngomong biasa. Jangan mikir macem-macem!
"Ehm, iya," jawab Flora dengan suara pelan. Namun, mendadak dia merasakan sebuah dorongan untuk menyudahi panggilan video ini lantaran tak ingin pikiran-pikiran buruk menyerangnya lagi setiap kali Dicko mengucapkan sesuatu.
"Kamu nggak mau mandi, nih?" pancingnya agar Dicko mengakhiri pembicaraan.
Dilihatnya Dicko kembali tersenyum. "Ya, tapi aku masih mau lihat kamu."
Mendengar jawaban setengah jujur dan setengahnya lagi bermaksud menggombal itu, wajah Flora sekonyong-konyong merona. Karena itu dia mengalihkan tatapan dari layar, ke mana saja asal bukan menantang tatapan setajam elang milik sang suami.
"Flo, lihat aku."
Flora melirik ponselnya malu-malu. Rasanya seperti kembali menjadi remaja ingusan yang tak kuasa beradu pandang dengan sang pujaan hati. Tiba-tiba dia merasa geli sendiri lalu terkekeh.
"Aku senang bisa lihat kamu ketawa lagi," ucap Dicko penuh kelegaan. "Maafin sikapku yang waktu itu. Pasti kamu dongkol banget, kan?" Ucapan Dicko yang penuh penyesalan berhasil membuat tatapan Flora kembali sepenuhnya ke layar ponsel. "Aku—"
"Nggak perlu minta maaf. Aku yang salah," potong Flora segera.
"Tapi aku udah keterlaluan. Aku nggak berusaha lebih memahami ketakutan yang kamu rasakan, malah memikirkan keinginan-keinginanku sendiri."
Sinar mata Flora meneduh. Dia memang tak lagi berharap Dicko menyadari kekurangpekaannya, tetapi setelah mendengar ucapan lelaki itu, dia tak bisa menahan kelegaan yang menyeruak di dada.
"Maafin aku juga karna udah berpikiran buruk tentang kamu. Seharusnya aku percaya sama kamu, tapi aku justru curigaan terus." Flora tertunduk, merasa bersalah luar biasa. Pertahanannya jebol sudah hingga membuat air matanya membanjiri pipi. "Aku kejam banget ya sama kamu, Ko...."
"Hei, don't cry, Baby...." Dicko berkata dengan suara lembut. Namun, sejurus kemudian dia melanjutkan dengan nada jenaka, "Maksudku, nangisnya jangan sekarang. Aku nggak ada di situ buat ngehapus air mata kamu. Nanti aja pas aku pulang."
Flora menutup wajahnya dengan satu tangan, bahunya berguncang seiring tawa yang berderai dalam tangisan. Gelak Dicko lantas menyahut di seberang.
"Udah berapa kali kamu nangis dalam dua minggu ini?" ejek Dicko, disertai cengiran khasnya yang membuat Flora menjulurkan lidah, masih dengan wajah berlinang air mata.
"Nggak sekali pun."
"Ah, masa?"
"Beneran."
Flora berkata jujur. Dia memang tak bisa meneteskan air mata seperti sekarang selama dua minggu. Akan tetapi, hal itu justru lebih menyiksanya. Dia hanya bisa terdiam tanpa emosi dan termenung menyesali diri. Menangis tentu akan membuatnya merasa jauh lebih baik.
Gadis itu segera menghapus lelehan air matanya. Lalu dia membaringkan tubuh di atas sofa, bergelung menyamping dengan ponsel di tangan kanan. Dia melihat suaminya pun melakukan hal yang sama.
"Aku nggak bisa nangis walaupun pengin. Rasanya ada yang ngeganjal. Dan sekarang, ganjalan itu lepas setelah lihat wajah dan dengar suara kamu. Aku lega...."
"Oh, ya? Harusnya kamu hubungi aku lebih awal," bisik Dicko.
"Aku takut kamu nggak mau angkat telfon aku."
Dicko menghela napas. "Kamu tau? Tadi aku bela-belain nggak jadi mandi dan kakiku kesandung meja saking gembiranya dapet panggilan video dari kamu."
"Tapi kamu juga nggak pernah hubungi aku."
"Jadi kamu juga nungguin panggilan dari aku?"
Flora mengangguk. "Setiap hari."
"Trus waktu aku kirim pesan, kenapa nggak dibalas, hmm?"
Flora menggigit bibirnya. "Sorry, waktu itu aku nggak tau mau balas apa. Dan aku takut bakalan dicuekin."
Dicko tersenyum kecil seraya menggeleng-geleng. "Rasanya aku pengin jitak kepala kamu, Flo."
Flora tertunduk malu. "Maaf.... Tapi aku udah ikutin saran kamu, kok."
"Saran yang mana?"
"Yang ke psikolog."
"O, ya?"
Flora mengangguk. "Aku nyesal kenapa nggak datang ke sana dari awal. Ternyata nggak semenakutkan yang aku pikir."
"Kamu takut? Kenapa?"
"Karna aku pikir, psikolognya akan bilang aku sakit secara mental. Tapi ternyata, aku cuma harus membenahi persepsi dan nggak berburuk sangka lagi."
"Kedengarannya menarik. Dan kayaknya aku butuh dikonseling juga, nih."
"Ah, iya. Mbak Eliana, psikologku bilang, kapan-kapan kamu juga bisa ikut. Kita dikonseling bareng-bareng."
"Oke."
Keduanya lantas terdiam, larut dalam perasaan lega karena apa yang menjadi ganjalan di hati masing-masing sudah tersampaikan. Mereka menatap wajah satu sama lain, melepas rindu yang tak berkesudahan.
"Sayang...," panggil Flora tiba-tiba dalam bisikan lembut, nyaris tak terdengar.
Namun, pendengaran Dicko cukup tajam hingga bisa mendengarnya. "Hmm?" Alis lelaki itu terangkat. Seringai jahilnya merekah lebar. "Kamu panggil aku apa?"
Flora sontak membenamkan wajahnya pada bantal sofa. Dia tak tahu apa yang mendorongnya mengucapkan panggilan itu, panggilan yang selalu Dicko inginkan.
"Bilang lagi, dong."
"Nggak ada siaran ulang." Flora lagi-lagi menjulurkan lidahnya.
"Lihat aja nanti pas aku pulang, aku bakalan bikin kamu bilang itu lagi." Dicko pura-pura mengancam seraya memicing.
Flora mengangkat dagunya, menantang Dicko. "Oke, siapa takut. Kita lihat apa kamu benar-benar bisa."
"Fine. Kalau aku bisa, kamu harus kabulin permintaan aku."
"Permintaan apa?"
"Nanti aku kasih tau kalo aku berhasil. Deal?"
Meski sedikit waswas, Flora akhirnya mengangguk. "Deal."
Keduanya sama-sama tersenyum. Perasaan rindu di hati masih meluap-luap, tapi tak ada yang bisa mereka lakukan selain hanya saling menatap. Tuhan saja yang tahu, betapa mereka ingin mendekap satu sama lain. Namun tertahan karena jarak yang membentang.
"I wish I could be there, and I will be...."
Flora tersenyum lembut. "Can hardly wait...."
Dicko refleks mengulurkan tangan, menyentuhkan jari telunjuknya ke layar, tepat mengenai tampilan hidung hingga bibir istrinya. Dan tentu saja, Flora pun melakukan hal serupa.
"I love you...."
"I love you too...."
*
*
*
Pukul setengah tujuh pagi, Flora mengantar Anne ke sekolah. Anak itu tampak ceria sepanjang perjalanan. Namun, begitu turun dari mobil dan melihat sang bunda yang menggandeng saudara kembarnya juga baru turun dari mobil, wajah Anne tertunduk. Senyumnya pun lesap.
"Anne, ingat yang Tante bilang tadi ya, Sayang."
Gadis itu tak menjawab. Tangannya menggenggam jemari Flora erat-erat saat dilihatnya Zac berlari mendekat, sementara sang bunda berjalan di belakangnya.
"Anne!"
Begitu bocah laki-laki berparas kebule-bulean itu tiba di hadapan kembarannya, dia lantas berkata, "Kamu kok nggak pulang-pulang, sih? Aku nggak ada temen main di rumah, tau!"
Anne tak menjawab. Dia masih tertunduk menatap sepatunya.
"Zac kangen ya sama, Anne?" tanya Flora.
Zac menatapnya dengan sorot polos. "Nggak tau, tapi aku nggak suka kalo Anne nggak ada di rumah."
Flora tersenyum. "Tuh, Anne. Zac sayang lho sama Anne. Dia pengin mainnya ditemenin sama Anne. Bener, kan, Zac?"
Zac mengangguk.
"Tapi kamu nakal, Zac. Aku nggak suka!"
Maria yang telah tiba di dekat mereka berkata pada putranya, "Zac, mulai sekarang kamu harus janji mau bersikap baik sama Anne. Supaya Anne senang dan mau pulang ke rumah lagi."
"Iya, Bunda. Aku janji."
"Nah, kalo gitu, minta maaf ke Anne dan peluk dia."
Zac mengangguk lalu menatap saudara kembarnya dengan wajah memelas. "Maafin aku ya, Anne. Kamu mau pulang ke rumah lagi, kan?"
Anne belum menjawab. Dia mendongak, seolah meminta pertolongan pada Flora.
"Anak baik harus belajar memaafkan, Anne."
Kata-kata itu Flora ucapkan dengan penuh kesadaran. Bukan hanya untuk Anne, melainkan juga dirinya.
"Oke, deh. Aku maafin kamu," ucap Anne kemudian.
Dua bocah itu saling menjabat tangan lalu berpelukan erat. Flora dan Maria memperhatikan tingkah keduanya dengan senyum lega.
"Anne mau maafin Bunda juga, nggak, Sayang?" tanya Maria seraya membungkuk ke arah putrinya.
Anne melepaskan diri dari Zac. Dia mendekati Maria dengan bibir mencebik dan mata berkaca-kaca. Didekatinya perempuan itu lalu mengulurkan kedua tangannya. Tangis gadis cilik itu pecah dalam pelukan sang bunda.
"Sshh, Sayang...." Maria berjongkok, mengelus kepala hingga ke punggung anak itu. "Bunda, Ayah, Zac, dan semuanya sayang kok sama Anne. Dan nanti setelah adik lahir, kami juga tetap akan sayang sama Anne."
"Huhuhuhu...! Janji ya, Bunda...." Anne semakin mengeratkan pelukannya.
Flora menyaksikan adegan itu dengan perasaan haru, teringat akan dirinya beberapa tahun lalu. Merasa tak disayangi dan tak diharapkan, padahal kasih sayang orang-orang di sekitarnya selalu berlimpah untuknya tanpa dia sadari.
"Anne, udah dong nangisnya. Kita masuk, yuk!" ajak Zac.
Anne melepas pelukannya perlahan-lahan dari Maria. Perempuan itu menghapus air mata di wajah putrinya sebelum membiarkan kedua buah hatinya memasuki gerbang sekolah. Seorang perempuan berseragam guru berdiri persis di sana lalu membawa keduanya masuk.
Flora menunggu hingga tatapan Maria beralih dari Anne dan Zac. Saat akhirnya mereka bersemuka, dia mendekati perempuan itu.
"Bisa minta waktu lo sebentar?"
*
*
*
"
"Makasih banyak, Flo. Lo udah dua kali ngebantu gue sejak gue hamil Anne dan Zac."
Mau tak mau Flora tersenyum kecil, teringat saat dia menampung Maria yang sedang mengandung di apartemennya beberapa tahun lalu.
"Lo nggak keberatan kan gue bilang makasih ke lo?" tanya Maria ragu-ragu. "Ng, soalnya gue ingat dulu lo bilang, lo nggak suka—"
"Nggak masalah, kok. Santai aja."
Maria tampak tersenyum lega. Flora memang pernah memarahinya karena mengucapkan terima kasih dan meminta maaf. Itu dulu, sebelum gadis itu meralat prinsipnya tersebut.
"Jadi, lo mau bicara tentang apa?" Maria kembali bertanya. Dia masih tak menyangka Flora meminta waktunya dan mengajak duduk-duduk di sebuah kafe di dekat sekolah Anne dan Zac.
Flora tak segera menjawab. Dia sibuk menelisik perasaannya. Kecemburuan dan rasa tak senang pada perempuan di hadapannya itu memang belum hilang meski mereka kerap bertemu akhir-akhir ini berkat Anne.
Namun, dia harus bisa mengatasi hal itu. Eliana telah memberinya semacam tes yang berguna untuk mengatasi traumanya. Jika dia ingin hubungannya dan Dicko membaik seutuhnya, maka dia akan mencoba berdamai dengan perasaannya terhadap Maria, perempuan yang pernah Dicko cintai.
"Gue cuma pengin ngobrol," ucap Flora setelah yakin bahwa dia sudah sedikit lebih nyaman. "Gimana kehamilan lo yang sekarang? Nggak seribet dulu sepertinya, ya."
Maria kembali tak menyangka, tetapi dia cukup senang mendapat pertanyaan itu. "Puji Tuhan nggak kayak dulu. Gue cuma pusing dan mual malam hari. Pagi dan siangnya bisa beraktivitas seperti biasa."
"Syukurlah."
Obrolan mereka terhenti sebentar saat minuman yang mereka pesan diantar oleh pelayan kafe.
"Kerjaan lo di kantor lancar dong, ya, walaupun Dicko lagi nggak ada," lanjut Flora setelah menyeruput minumannya.
Maria mengangguk. "Gue udah mulai bisa handle sama staf yang lain. Nggak mau juga terus-terusan bergantung sama Kak Dicko. Yah, kami ngertilah, sekarang waktu lowong yang dia punya nggak sebanyak dulu. Kalian aja belum sempat bulan madu, kan?" Perempuan itu terkekeh.
Flora menanggapi dengan mengulas senyum kecil. Suatu kemajuan dia bisa menerima ucapan Maria yang terdengar sangat bersahabat itu dengan santai dan tanpa tebersit pikiran buruk.
"Ya, dia masih sibuk workshop di Bandung. Arsitektur udah jadi obsesinya sejak dulu."
"Tapi gue bisa lihat kalo lo adalah obsesi utamanya, Flo."
Flora menatap Maria dengan kening berkerut. "O, ya?"
Perempuan itu mengangguk. "Dia sering curhat ke gue kalo—" Maria tersadar dan segera menambahkan, "Oh, anu, Kak Dicko curhatnya nggak berduaan sama gue doang, kok. Ada staf lain—"
"Oke, trus?" potong Flora, tiba-tiba merasa kasihan melihat ekspresi Maria yang menatapnya takut-takut. "Dia curhat apa aja ke lo?"
Maria mengembuskan napas lega. Walau bagaimanapun, sejarah di antara mereka tak cukup baik sehingga membuatnya sedikit waswas menghadapi Flora.
"Dia pernah curhat tentang kemungkinan untuk pindah, nyusul lo ke Amerika waktu lo masih di sana. Dia khawatir lo nggak bakalan pulang ke Jakarta. Dia bilang, dia rela nggak ngejar impiannya jadi dosen arsitektur asal bisa selalu deket lo.
"Trus, Kak Dicko tuh nggak bisa kalo nggak nyebut nama lo setiap satu jam sekali pas di kantor. Udah rahasia umum, lho. Kami sampai jadiin itu bahan guyonan. Misalnya nih, kalo gue atau staf cewek lainnya bawa makanan dari rumah dan dia nyicipin, Kak Dicko pasti komen, masakan lo jauh lebih enak. Trus kalo ada klien yang minta desain rumah tertentu, dia pasti bakalan nyeletuk kalo desain seperti itu bakalan lo sukai atau bakalan lo benci. Intinya, nama lo selalu masuk dalam segala hal yang dia lakukan."
Kata-kata Maria tersebut membuat Flora terdiam. Dia teringat akan penjelasan Eliana pada sesi konselingnya yang kedua. Psikolognya itu memberi pandangan atas sikap Dicko yang selalu bercerita tentang Maria dan anak-anaknya. Sering menyebut nama orang lain memang bisa jadi pertanda bahwa orang tersebut memiliki arti penting bagi dirinya. Entah itu dalam hubungan romantis dengan pasangan, keluarga, maupun pertemanan.
Jadi, Eliana menyarankan padanya agar tak perlu menaruh curiga dan cemburu berlebihan. Karena Dicko tak mungkin hanya memikirkan dirinya saja, kan?
Dan setelah mendengarkan penjelasan Maria, sedikit banyak membuatnya lebih mengerti bahwa tindakan Dicko tersebut adalah bentuk spontanitas dan refleksi penghargaannya terhadap orang-orang yang penting dalam hidupnya. Meski memang, itu terasa berlebihan bagi yang mendengarkan.
Jika Maria dan staf kantornya menanggapi santai hal tersebut dan menjadikannya sebagai bahan candaan, maka kini Flora jadi berpikir, jika dia mencintai Dicko dan percaya sepenuhnya atas perasaan lelaki itu padanya, seharusnya dia pun menanggapi sikap Dicko tersebut seperti mereka. Tak perlu tersulut emosi dan terbakar ego seperti yang sudah-sudah.
Akan tetapi, setidaknya Flora kini merasa lebih lega setelah mengetahui bahwa Dicko pun memikirkan dirinya saat bersama orang lain, terutama Maria. Dan dia merasa berarti karenanya.
*
*
*
Dua minggu sebelum kepulangan Dicko berjalan cepat bagi Flora. Aktivitasnya berjalan lancar seperti biasa, begitu pun sesi konselingnya. Dia menemui Eliana lagi di klinik, melaporkan kemajuan hasil tes yang psikolog itu berikan.
"Ini bagus sekali, Flora." Eliana, perempuan berusia pertengahan tiga puluh itu menatap catatan di tangannya seraya tersenyum senang. "Persentase ketidaknyamanan kamu saat di dekat Maria menurun setiap kali kalian bertemu. Dan saya lihat, pertemuan kalian cukup sering, nih. Kalian berteman dekat ya sekarang?"
Flora tersenyum. "Kami bertemu karna Anne, tapi saya belum bisa bilang kami berteman dekat."
"Belum? Berarti ada indikasi 'akan' dong, ya?"
"Entahlah. Sikapnya sangat ramah dan bersahabat. Saya bisa rasakan itu nggak dibuat-buat. Tapi tetap, rasanya masih agak aneh karna dulu saya sangat membenci dia, Mbak."
"Itu wajar. Jangan dipaksakan kalau kamu nggak terlalu nyaman. Dan yang terpenting, kamu melakukannya bukan dilandasi keinginan untuk mengimbangi hubungan pertemanan antara Maria dan suamimu."
Flora mengangguk. Motivasi utamanya saat mencoba tes yang Eliana berikan memang demi dirinya sendiri, bukan demi Dicko atau hal lain. Kebenciannya terhadap Maria sudah teramat mengganggu, jadi dia putuskan untuk memperbaiki itu.
"Oke, kalau begitu, saya tunggu kamu untuk sesi berikutnya. Semoga saya dapat kabar baik lagi, ya."
"Amin. Oiya, suami saya sepertinya sudah bisa ikutan untuk next session, Mbak."
Eliana mengangguk. Dia menjelaskan beberapa hal lagi sebelum mengakhiri satu setengah jam pertemuan mereka.
Flora melangkah keluar dari bangunan klinik dengan perasaan semakin lega. Dia jadi punya cerita baru untuk disampaikan pada Dicko nanti malam, saat mereka melakukan panggilan video seperti biasanya.
Dering ponselnya terdengar saat dia baru saja hendak membuka pintu mobil. Dari Jonathan. Dia mendengarkan dengan saksama dan terkejut. Jonathan memberinya tugas ke luar daerah untuk seminggu.
"Tapi, Jo...."
Dia hampir mengatakan penolakan karena itu artinya, dia tidak ada di rumah saat Dicko kembali dari Bandung dua hari lagi. Akan tetapi, dia tak bisa mengatakannya. Sangat tak profesional.
"Aku kasih jawabannya nanti, ya. Aku harus pastikan sesuatu dulu."
*
*
*
Flora berjalan dengan tampang lesu. Dia baru saja keluar dari pesawat yang membawanya dari Jakarta ke Kabupaten Sumbawa, Nusa Tenggara Barat.
Dia akhirnya menyetujui permintaan Jonathan, melakukan peninjauan dapur restoran sebuah resort di Pulau Moyo, salah satu destinasi wisata di Sumbawa Besar. Agak aneh bagi Flora kenapa dirinya yang diutus. Namun, dia akhirnya berangkat juga setelah bertanya terlebih dahulu pada Dicko.
Suaminya justru tak keberatan dan mengatakan kepulangannya ditunda. Ada tambahan kegiatan di workshop yang mengharuskannya tetap tinggal.
Jemputan yang difasilitasi oleh pihak resort membawanya ke Pelabuhan Muara Kali. Di sana, sebuah speedboat sewaan telah menunggunya, mengantarkan hingga ke Pulau Moyo bersama beberapa orang wisatawan lain.
Perjalanan tigapuluh menit membelah lautan dilaluinya ditemani pemandangan serba biru di luar sana, begitu memanjakan mata. Kemunculan sekawanan lumba-lumba pun menarik perhatian, meski kecepatan boat yang begitu kencang membuatnya tak bisa berlama-lama memperhatikan.
Tak lama kemudian, pantai Pulau Moyo yang berpasir putih sudah terlihat dari kejauhan. Keindahan yang terhampar luas itu seharusnya membuatnya terpukau. Hanya saja, tanpa Dicko di sisinya, rasanya ada yang kurang. Tempat seindah ini sangat cocok dijadikan lokasi bulan madunya dan Dicko. Namun, dia malah kemari sendirian. Apa mau dikata?
Speedboat lantas merapat di pelabuhan khusus milik Amanwana resort, hotel bintang lima yang menjadi tempat tujuannya. Begitu turun, mata Flora seketika langsung tertuju ke bawah, ke air laut bening yang menampakkan ikan-ikan cantik yang sedang berenang dengan anggunnya, seolah sengaja menyambut kedatangannya di tempat ini.
Sebuah mobil safari berwarna hijau—utusan dari resort—datang menjemput tak lama kemudian. Tanpa bersuara, Flora diminta duduk di bangku paling belakang oleh supir mobil yang sebagian wajahnya ditutupi secarik kain polos seperti scraft hingga menutupi hidung, mengenakan topi koboi dan kacamata rayban. Tampilan yang cukup aneh, mengingat ketiadaan polusi di pulau dengan udara sebersih ini. Mungkin aja emang lagi mode di sini, pikir Flora.
Setelah seluruh penumpang naik, sang supir segera mengemudikan mobil tersebut menuju resort yang ternyata berjarak sepuluh menit dari pelabuhan. Sepanjang perjalanan, Flora bisa mendengarkan suara burung berkicau dan melihat monyet-monyet bergelantungan dari pohon ke pohon dengan leluasa. Suasana pulau yang begitu tenang dan alami membuat Flora seketika jatuh hati. Kabarnya, tempat ini dulu pernah didatangi Lady Diana.
Setibanya di resort dengan kamar-kamar berbentuk unik, menyerupai tenda raksasa di tengah hutan, sang supir membantunya membawa koper hingga ke kamar meski Flora tak meminta. Para tamu lain yang ikut bersamanya dibiarkan membawa barang-barang mereka sendirian. Lagi-lagi terasa aneh bagi Flora. Namun, dia segera teringat bahwa dia adalah tamu undangan, bukan wisatawan biasa. Jadi wajar saja kan, mendapat perlakuan istimewa.
Si supir, lelaki jangkung yang belum hendak membuka atribut anehnya itu berjalan di depan Flora. Seolah sudah diberi tahu sebelumnya, dia melangkah mantap ke sebuah kamar yang langsung menghadap pantai.
Begitu pintu kamar dibuka, Flora disambut ruangan luas dengan jumlah jendela yang cukup banyak, membuat seisi kamar terang benderang dan dia bisa melihat pemandangan di luar dengan leluasa. Tempat tidur berkelambu warna putih diletakkan di tengah-tengah serta sebuah meja kayu bundar di depannya.
"Letakin di sana saja kopernya, Mas."
Lelaki itu menurut. Setelah melakukan apa yang diminta, dia berjalan melewati Flora dengan wajah tertunduk.
"Mas, ini tipnya."
"Nggak usah, Mbak."
Tanpa menoleh lagi, lelaki itu bergegas hendak keluar kamar, meninggalkan Flora yang kembali dilanda perasaan aneh setelah mendengar suara itu. Dia merasa sedang berhalusinasi, tetapi dia sangat yakin telinganya tidak sedang menipunya.
"Mas, Mas! Tunggu dulu!"
Lelaki itu berhenti di ambang pintu. Flora mendekatinya dengan perasaan berkecamuk. Dia tahu dia akan mendapat malu jika melakukan apa yang sedang dia rencanakan, namun dia sungguh penasaran.
"Bisa tolong berbalik, Mas?"
Gerakan lelaki itu tampak ragu-ragu di mata Flora. Namun, dia tetap berbalik hingga Flora bebas menatap lekat-lekat ke wajahnya yang masih tertutup.
"Maaf ya, Mas."
Dalam gerakan cepat, Flora menjulurkan tangannya lalu membuka topi koboi berikut kacamata rayban yang cukup mengganggu pemandangan. Setelah kedua benda itu tak lagi bertengger di tempatnya, Flora merasa ingin menangis dan tertawa bersamaan.
Mata itu.... Mata setajam elang itu tak mungkin milik orang lain. Dan meski sebagian wajahnya tertutup kain, Flora yakin bibir di baliknya sedang mengulas senyum jenaka yang begitu dirindukannya.
TBC
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro