Bab 7a
"Apa kamu bisa harapkan dari kami Benito?"
"Bantuan, Anda, Pak. Demi nama baik keluarga kami."
"Apa ini ada hubungannya dengan Dante?"
"Benar."
Walikota Geomar, seorang laki-laki yang usianya hampir menyentuh angka enam puluh tahun. Dengan rambut hitam, disisir ke belakang, dan tubuh gempal. Kulitnya yang putih nyaris kemerahan dengan pipi agak tembam dan berkumis. Sang walikota yang terpilih dengan angka tipis 51 persen, mengalahkan lawannya yang sekarang memimpin oposisi, adalah laki-laki yang serius dalam bekerja. Ia mengenal Benito karena wakil walikota.
"Benito, kamu tahu bukan kalau Dante adalah orang yang paling tidak bisa diatur. Dia tidak peduli dengan apapun juga."
Benito meremas tangan, melirik istrinya. "Pak, dia ingin menikahi anak saya. Itu, seperti aib besar."
"Apa dengan anak pertamamu yang dicampakkan oleh Edith?"
"Benar, Pak. Blossom namanya."
Geomar duduk di kursi beludru dengan pikiran kayu berukir, menatap pasangan suami istri di depannya. Ia memang terbiasa menerima keluha kesah warga, membantu mengatasi masalah sebisa mungkin. Namun, baru kali ini ada pengaduan soal cinta dan sialnya, pasangannya adalah Dante.
"Kalian sudah bicara dengan Blossom?"
"Sudah, malah anak kami nekat membawa Dante."
Mata Geomar melebar. "Dante datang ke rumah kalian?"
"Iya, Pak. Memaksa untuk menikahi anak kami."
"Rumit," gumam Geomar. "Aku bukannya nggak mau bantu kalian. Tapi, urusan perasaan dan cinta-cintaan ini, alangkah lebih bagus kalau diselesaikan secara kekeluargaan."
Benito menunduk muram. Ia datang awalnya karena berharap walikota yang berpengaruh akan mampu menolongnya. Sebagai penguasa kota ini, Geomar diharapkan bisa membantu mengatasi Dante. Sayangnya, perkiraannya salah. Seperti halnya orang lain, walikota juga terlihat enggan berurusan dengan Dante.
Bagaimana ia bisa menerima kalau anaknya akan menikah dengan orang paling dibenci di kota? Bagaimana ia bisa menegakkan kepala, saat menantunya adalah seorang bajingan? Menghela napas panjang, Benito merasa dirinya lelah.
Melihat tamunya terdiam dengan wajah menunduk, Geomar memikirkan sesuatu. "Benito, aku punya satu cara dan semoga ini bisa membantu."
Benito mengangkat wajah. "Benarkah, Pak?"
"Iya, aku akan mendiskusikan ini dengan Edith. Anak itu sudah aku anggap anak sendiri, dia pasti bisa membantumu."
"Baik, Pak. Terima kasih."
Benito bertukar pandang dengan istrinya yang sedari tadi terdiam. Ia tidak tahu apa rencana walikota sampai melibatkan Edith. Namun, ia ingin mencoba segala cara untuk menggagalkan pernikahan Blossom dengan. Mereka pamit pulang dengan semangat membumbung tinggi.
**
Ruang makan dengan sepuluh kursi dan sebuah meja panjang dari kayu, penuh terisi. Mereka sedang menikmati hidangan makan malam yang khusus dimasak untuk hari ini. Ayam kalkun panggang, sup asparagus, bola jagung berisi daging, salad sayur, roti gulung, dan masih banyak lagi. Semuan orang terlihat menikmati hidangan, sambil mengobrol, kecuali Daisy.
Ia memang mencintai Edith, tapi tidak pernah nyaman saat berada di antara keluarga laki-laki itu. Ayah Edith adalah wakil walikota sekaligus pemilik kantor pengacara. Ibunya Edith adalah seorang sosialita, sekaligus pemilik toko barang-barang mewah yang diimpor dari luar negeri. Edith anak tertua dengan seorang adik perempuan yang masih kuliah. Ia selalu merasa jadi orang asing, setiap kali berada di antara mereka.
"Kapan kalian akan menikah?" tanya Elfar pada anaknya. "Jangan menunda lama-lama, nanti perut Daisy keburu besar."
"Dua bulan lagi, Pa. Sedang persiapan ini dan itu," jawab Edith.
"Kalian tetap akan menikah di hotel yang sudah ditentukan bukan?" Berta, ibu dari Edith bertanya. Perempuan berambut ikal dengan dagu runcing itu, menatap bergantian pada anak laki-lakinya dan Daisy. "Jangan sembarangan mengganti tempat atau acara, sebaiknya meneruskan saja rencana pernikahan yang sudah terbentuk dari awal."
"Ma, itu rencana Blossom," ucap Edith pelan."
"Lalu kenapa? Sama saja bukan?"
"Kami ingin punya rencana sendiri," jawab Edith, membantu Daisy bicara. "Maksudnya, aku dan Daisy. Tidak semua yang direncanakan, Blossom itu sesuai."
Pertama kalinya nama Blossom disebut di rumah ini setelah gagalnya pertunangan. Berta meletakkan sendok, bertukar pandang dengan anak perempuannya yang mengangkat bahu.
"Rencana pernikahanmu dengan Blossom sudah menghabiskan banyak biaya. Kalau kalian menggagalkan dan mengubah dengan detil yang lain, bukankah itu sama saja menambah biaya baru?"
Edith menyela pelan. "Maaa ...."
"Kak, yang dikatakan Mama benar," sahut Elona. "Lagian, rencana Kak Blossom bagus kok, rapi, dan elegan."
"Tapi, kami ingin punya rencana lain."
"Kalau begitu, tambahan biaya kalian tanggung sendiri," sahut Berta.
Edith terdiam, lalu menunduk. Masalah uang ia tidak berdaya menghadapi orang tuanya. Karena meskipun punya penghasilan sendiri sebagai pengacara tapi tidak banyak. Ia mengandalkan bantuan dari orang tuanya yang memang kaya raya.
Daisy memendam rasa kecewa, melirik Edith yang terdiam sambil menunduk. Ia tahu kalau calon suaminya memang lemah dalam menghadapi sikap keluarganya. Tapi, tidak menyangka akan separah ini. Mereka sedang membicarakan rencana pernikahan, bukankah semua tergantu pada calon pengantin? Kenapa mereka justru dipaksa untuk menurut? Semua karena uang.
Daisy menatap orang-orang yang duduk di meja makan. Selain orang tua Edith dan adik perempuannya yang kurang ajar itu, sisanya adalah para sepupu, asisten walikota, dan dua lainya ia tidak kenal.
Ia tahu, keluarga Edith tidak pernah menyukainya karena profesinya hanya aktris dengan penghasilan pas-pasan, bukan seorang perempuan yang mengendalikan bisnis. Tentu saja, mereka lebih menyukai Blossom yang dianggap lebih rajin bekerja dan punya masa depan. Sayangnya mereka lupa, kalau Edith memilihnya.
Edith bangkit dari kursi dan ijin untuk menerima panggilan. Daisy tidak tahu siapa yang menelepon sampai harus menyingkir dari meja makan. Ia mengaduk nasi merah di piring dan kehilangan selera makan.
"Makan yang banyak, demi bayimu, Kak," ujar Elona.
Daisy tersenyum. "Terima kasih."
Elona menggeleng. "Harus ingat, jangan terlalu banyak. Nanti kamu gemuk dan gaun pernikahan jadi jelek di tubuhmu."
"Elona, jaga bicara!" bentak Berta.
"Ma, aku ngomomg jujur."
"Tetap saja, nggak boleh begitu!"
Elona mendengkus, kembali sibuk dengan makanannya. Daisy menatap gadis itu dengan kebencian yang tersirat. Suatu saat ia akan membalas kata-kata pedasnya. Waktu itu akan tiba kalau ia sudah menjadi istri Edith secara sah.
"Siapa yang menelponmu?" tanya Elfar pada anak laki-lakinya.
"Pak Walikota," jawab Edith.
"Ada apa? Kenapa beliau ingin bicara denganmu?"
Edith mengangkat bahu. "Sesuatu yang cukup penting." Namun, ia menolak menjelaskan lebih lanjut.
Sisa makan malam, dilanjutkan dalam diam dan suasan kaku. Daisy tidak sabar acara ini berakhir dan ia bisa pulang.
**
"Aku baru tahu, pemandangan indah saat malam begini."
"Karena kita di atas, bisa melihat lampu-lampu kota dari bawah."
"Bisa mengamati bintang dan bulan juga."
Blossom menunjuk langit bertabur bintang, di sebelahnya Dante tersenyum dan mengangguk. "Memang. Kamu suka di sini?"
"Lumayan, asal bersamamu. Karena terus terang, tempat ini membuatku takut. Aku akan menghindari datang ke bar ini sendirian."
Dante mengusap punggung tangan Blossom, menikmati kulitnya yang lembut. "Mereka yang di sini tahu, kamu adalah perempuanku. Tidak akan ada yang berani menganggumu."
Blossom membiarkan jemari Dante menyentuh kulitnya. Dibandingkan Edith yang cenderung dingin, cara Dante dalam mengekpresikan perasaan memang sangat blak-blakan. Laki-laki itu akan mengatakan secara jujur apa yang ada di hati dan pikiranya. Tidak peduli pada penilaian orang lain.
"Rencana pernikahan kita sudah delapan puluh persen, sisa dua puluh persen adalah bagianmu," ucap Blossom.
Dante mengangguk. "Taman sedang dihias dan diperbaiki. Dalam seminggu ini akan selesai semua dan kita menikah sesuai rencana."
"Semoga, kita tidak menyesali hal ini nanti."
Dante mengangkat sebelah alis. "Kenapa menyesal?"
Blossom menggeleng. "Entahlah, mungkin karena niat kita menikah sudah salah. Takutnya, akan ada penyesalan."
Dante mengamati Blossom lekat-lekat. Terpukau pada wajah cantik nan menawan dengan senyum manis. Blossom yang begitu anggun, seorang lahir sebagai putri bangsawan yang tidak tersentuh. Apalagi dirinya yang hanya rakyat jelata.
Berbeda dengan Daisy yang periang, banyak tertawa, dan bisa dikatakan sedikit binal, Blossom justru sangat tertutup dan pendiam. Jenis perempuan yang akan membuat laki-laki berpikir seribu kali sebelum mendekatinya. Anehnya, justru itu terlihat menarik di mata Dante.
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro