Bab 4a
Mereka memasuki perkebunan bunga yang luas, dengan berbagai jenis bunga ditanam di sana. Berbagai bunga, semak perdu, tanaman bonsai beraneka ragam, dan masih banyak lagi. Blossom menatap heran bercampur kagum melihat pemandangan warna warni di depannya.
"Dua puluh enam tahun aku tinggal di kota ini, kenapa aku baru tahu ada kebun bunga seluas dan seindah ini?"
Dante menaikkan sebelah alis. "Karena memang tidak ada yang bisa masuk ke area ini. Kamu lihat bukan? Gerbang yang kita masuki tadi ada penjaganya."
Blossom mengangguk. "Memangnya milik siapa tanah ini? Kenapa tidak dibuka untuk umum?"
"Milikku."
Blossom tertegun, menapa Dante yang berdiri di bawah pohon akasia yang tertiup angin. Kulit kecoklatan laki-laki itu tersiram cahaya matahari.
"Serius?"
"Iya, kamu lihat rumah susun yang di sana?" Dante menunjuk deretan bangunan tinggi yang terletak tidak jauh dari kebun bunga. "Itu adalah district 2, wilayahku. Kebun ini adalah bagian dari sana."
"Kenapa kamu kaya sekali?"
Itu adalah perkataan yang tercetus dari bibir Blossom begitu saja. Ia tidak habis pikir, laki-laki yang selama ini dianggap biang onar ternyata pemilik banyak tanah. Penguasa district 2 yang terkenal sebagai wilayah berbahaya. Ia tahu dari desas desus kalau Dante terbiasa melakukan pekerjaan kotor demi uang. Namun, tidak pernah tahu ternyata sekaya ini.
Dante tersenyum. "Hartaku adalah hartamu, kalau nanti kita menikah. Ayo, kita ke sana. Area pernikahan ada di dalam."
Tempat yang ditunjukkan Dante berupa tanah luas yang dikelilingi semak bunga. Mirip lapangan hanya saja lebih teduh dan indah karena penuh bunga. Senyum terukir di mulutnya. "Indah sekali."
"Memang. Bagaimana? Kamu setuju?"
"Tempat yang indah. Aku setuju."
Dante mendekat, menatap wajah Blossom yang bersinar karena terpaan matahari. Perempuan cantik dan anggun yang selalu mendengarkan perkataannya dan jarang sekali menyela. Ia bahkan tidak tahu, apakah Blossom benar ingin menikah atau hanya sekedar mengikuti rencana karena takut ancamannya.
"Blossom."
"Ya."
"Kamu bebas berpendapat, tentang apa yang kamu suka dan tidak. Jangan diam saja dan menerima semua yang aku sodorkan padamu."
Mereka berdiri berdekatan, hanya berjarak sejengkal. Blossom menelan ludah, mengurai degup jantung yang berdetak menggila. Entah karena apa ia begini? Tatapan Dante yang mengintimidasi atau karena rencana pernikahan?
"Aku menerimanya karena bagus."
"Benarkah?"
"Iya."
Dante mengusap rambut Blossom yang selembut sutra. Membiarkan jemarinya bertaut di antara untaian rambut. Pikiran tak senonoh berkelebat dalam dirinya, bagaimana rasanya berada di dalam tubuh perempuan ini dengan jari-jarinya terjalin di rambut Blossom, saat mereka mencapai puncak. Entah kenapa, dari awal bertemu, pikirannya tidak pernah lepas dari soal sex.
"Bolehkah aku menciummu?" tanyanya dengan suara serak. Kejantanannya menegang tanpa tahu malu dari balik celana.
Blossom terbelalak. "Apa?"
"Menciummu, bukankah kita sebentar lagi akan menikah?"
"Me-memang, tapi—"
"Satu ciuman saja. Harusnya itu tidak membuatmu takut. Kecuali, kamu memang takut padaku."
Blossom mempertimbangkan masak-masak permintaan Dante. Sebuah ciuman memang tidak berarti apa-apa. Banyak orang melakukannya bahkan bukan dengan pasangan sekalipun. Harusnya, bagi Blossom juga semudah itu. Hanya menempelkan bibir dan bukan yang lain.
Ia menatap Dante, dengan rambut panjangnya yang dikuncir, senyum laki-laki itu terlihat penuh ejekan. Menggigit bibir bawah, ia mempertimbangkan tentang baik dan buruknya berciuman dengan Dante.
"Baiklah, satu ciuman saja."
Dante makin mendekat, Blossom menahan diri untuk tidak mundur.
"Jangan takut, hanya satu ciuman. Untuk membuktikan, kita berdua bisa bersama."
"Bu-bukankah menunggu untuk menikah?"
"Satu ciuman, bukan berarti melepas keperawananmu."
Blossom membiarkan tangan laki-laki itu menyentuh bagian belakang kepalanya. Mendekatkan wajah mereka lalu mengecup perlahan. Sebuah kecupan ringan yang tak lebih dari bibir menempel pada bibir. Rupanya itu hanya pembukaan saja karena detik berikutnya, Dante mencium dengan penuh kehangatan. Bibirnya melumat, memagut, dengan napas yang menyatu.
Tangan Dante menyentuh punggung Blossom yang kaku lalu turun ke pinggang dan mereka makin dekat satu sama lain. Dengan berani lidah Dante menyentuh lidah Blossom, mereguk sebanyak mungki rasa manis dari bibir mereka yang menyatu.
Tidak ada yang tahu, siapa yang mengakhiri ciuman lebih dulu. Dante melepaskan pelukannya dan menatap Blossom yang berkeringat di bawah sinar matahari.
"Ayo, kita makan siang. Mereka sudah menyiapkannya."
Blossom tersenyum kecil, mencoba meredakan gemuruh di dada. Ciuman Dante membuatnya sedikit gamang.
"Siapa yang menyiapkan makan?" tanyanya dengan suara parau.
"Orang-orangku," jawab Dante singkat. Memandu langkah Blossom menuju rumah kayu yang ada di ujung taman.
Blossom dibuat kagum oleh interior rumah yang luas dan teduh. Terbuat baru kayu dengan ukiran rumit, rumah itu terlihat kokoh tapi teduh. Beberapa perempuan memasuki rumah, membuka ruang samping yang ternyata berlain kayu mengkilat. Dante membuka sepatunya, begitu pula Blossom. Saat di dalam, berbagai hidangan disajikan di atas meja pendek dan mereka duduk di lantai untuk makan siang.
"Kenapa banyak sekali makanan," tanya Blossom.
"Untuk menyambut calon nyonya mereka."
Blossom mencicipi salad dan daging panggang, menatap Dante yang sedang menyantap daging dalam porsi yang banyak.
"Kamu belum menjawab pertanyaanku."
Dante mendongak. "Soal apa?"
"Anak Daisy."
Terdengar dengkusan kecil dari mulut laki-laki gondrong itu sebelum menanggapi pertanyaan Blossom.
"Aku tidak menyentuhnya, dari dua Minggu sebelum kepergianku ke luar kota. Pertama, dia mengatakan sedang datang bulan. Kedua, aku sangat sibuk sekali sampai tidak memikirkan soal sex. Menurutmu, apa mungkin itu anakku? Kalau memang, iya, bukankah sekarang perutnya sudah sangat besar?"
Kelegaan membanjiri Blossom. Ia mencicip makanan dengan tatapan mata ke arah halaman yang panas.
"Kenapa kamu ingin membalas dendam? Apa kamu begitu cinta dengan Daisy, nggak rela dikhianati sama dia?"
Dante mengedip, mengamati perempuan cantik yang sedang makan dengan penuh keanggunan. Berbeda dengan Daisy yang penuh semangat dan banyak bersuara, Blossom justru sangat tenang dan seakan tanpa emosi. Seperti bonek Barbie hidup yang diciptakan hanya untuk dikagumi. Ketenangan dan keanggunannya membuat Dante bertanya-tanya, bagaimana saat Blossom bercinta? Apakah suara erangan akan terdengar dari bibirnya yang tertutup itu?
"Bagiku tidak masalah, adikmu ingin bersama laki-laki lain. Dari awal kami tidak pernah berkomitmen apa pun, tapi aku tidak suka dikhianati. Daisy harus tahu, bagaimana rasanya bermain-main dengan Dante. Apa kamu tahu yang aku rasakan? Saat tiba di kota ini dan kabar pertama yang aku dengar adalah Daisy merusak pertunanganmu?"
Blossom mendongak. "Marah?"
Dante menggeleng. "Bukan, tapi heran. Kenapa di antara ribuan laki-laki di kota, dia bisa memilih mana pun yang disuka tapi malah menginginkan tunangan sang kakak."
Angin berembus sepoi-sepoi, mencoba menerjang panas yang menerpa. Meski tidak banyak membantu, tapi setidaknya mampu memberi sedikit rasa segar. Blossom mengunyah sayuran, mengenali sebagai asparagus yang dipanggang. Sementara lidahnya mencecap makanan, dan menelannya dengan susah payah. Ia mulai bercerita dengan lirih.
"Adikku, dari kecil sangat dimanja. Terbiasa mendapatkan apa pun yang dia mau. Aku rasa, dari awal dia memang menginginkan Edith."
"Kalau memang begitu, kenapa menunggu laki-laki itu bertunangan denganmu baru merebutnya?"
"Itu yang aku nggak tahu. Apakah aku melakukan kesalahan atau—"
"Nggak, kamu nggak salah."
Dante mengulurkan tangan, meremas jemari Blossom. Menarik tangan perempuan itu kuat-kuat dan menolak untuk melepaskan.
"Jangan menanggung masalah dan kesalahan orang lain. Ingat, kamu adalah kamu. Daisy adalah dirinya sendiri. Kalian bersaudara bukan berarti harus selalu berbagi hal yang sama, terutama cinta."
Blossom mendengarkan penuturan Dante dengan heran. Bukankah laki-laki itu sedang marah dan dendam dengan adiknya? Kenapa malah justru menghiburnya?
**
Cerita lengkap di Karyakarsa dan Playbook
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro