Bab 3b
Saat makan malam, Blossom yang kehilangan selera dipaksa untuk tetap duduk menemani keluarganya. Ia mengaduk spaghetti di atas piring tanpa menyentuhnya sama sekali. Sang mama dan Daisy, sibuk membicarakan tentang detil pernikahan. Jumlah orang yang diundang sepertinya berubah setiap hari. Blossom merasa ironis, karena dua gadis dalam keluarga ini justru jatuh di tangan laki-laki yang sama.
"Blossom, papa mau tanya."
Perkataan Benito membuat anak istrinya terdiam. Mereka menatap bersamaan ke arah Blossom.
"Iya, Papa."
"Siapa yang menjemputmu tadi?"
Blossom tidak langsung menjawab, membalas tatapan papanya dengan tenang. "Papa bukannya bisa melihat dari kaca jendela kantor?"
Tubuh Benito menegang. "Jadi benar, itu dia?"
"Iya, Dante."
Ketegangan makin meningkan di ruang makan. Mereka seolah sedang menunggu pembelaan penjahat, dalam hal ini Blossomlah sang tersangka. Daisy terlihat tidak sabar. Pandangan matanya memancarkan rasa keingintahuan yang tinggi.
"Kenapa kamu bisa bersama dia? Apa kamu tahu bagaimana reputasinya?"
"Kami berteman," ucap Blossom kalem.
Gemala menatap tak percaya. "Berteman katamu? Mama tahu persis bagaimana lingkup pergaulanmu, Blossom. Nggak pernah ada dalam sejarah pertemananmu, seorang Dante akan menjadi teman!"
"Mama jangan marah," ucap Daisy. "Mungkin Blossom sedang bingung, karena nggak jadi menikah. Jadi, sembarangan mencari teman."
"Begitukah?" Gemala menyipit.
Blossom meletakkan garpu, menatap kedua orang tua dan adiknya. Ia tersenyum tenang. "Kalau Dante dan aku nggak boleh berteman, bagaimana kalau ... pacaran?"
"Apa? Bisa-bisanya kamu?" Benito kehilangan kata-kata.
"Blossom, mulai kapan kamu jadi murahan?" teriak Gemala.
Blossom bangkit dari kursi. "Semenjak kalian membiarkan Daisy menginjak-injak hatiku. Maaf, aku sudah kenyang."
"Blossom, kembali ke sini. Papa belum selesai bicara!"
Percuma Benito memanggil, karena anak sulungnya terlanjur masuk ke kamar. Ia menunduk dan memijat kening. Merasa amat kesal. Gosip buruk tentang Blossom dan Dante menjalar di kota dan membuat namanya tercemar. Bagaimana ia bisa menjelaskan pada teman-temannya saat anak sulungnya justru bergaul dengan laki-laki rendahan.
"Pa, bagaimana ini? Blossom makin hari makin menjadi-jadi tingkahnya?" tanya Gemala.
Benito mengangkat kepala. "Aku juga merasa anak itu makin hari makin aneh."
"Apa karena patah hati?"
"Bisa jadi, Pa. Kasihan memang, tapi akan lebih kasihan kalau bergaul dengan Dante. Kita tidak tahu ada hubungan apa mereka tapi kita nggak bisa diam, keluarga kita jadi bahan gosip seluruh kota. Sudah cukup pertunangan yang gagal, lalu Dante." Gemala menghela napas panjang.
Daisy menatap kedua orang tuanya, meremas tisu di satu tangan. Sedari tadi hatinya mendidih karena mendengar pengakuan Blossom dengan Dante. Mulai kapan mereka berdua saling kenal? Apa yang diketahui Blossom soal hubungannya dengan Dante?
Ia memang akan menikah dengan Edith, tapi tidak suka melihat Blossom bersama Dante. Ia harus melakukan sesuatu.
"Pa, Ma, aku punya usul dan sepertinya ini akan bagus untuk semua orang."
Gemala menoleh. "Usul apa?"
"Siapa asisten Papa, yang anak dari pengusaha kerajinan rotan?"
"Aldo."
"Iya, bukankah dia masih lajang? Cukup tampan dan keluarganya juga sangat mapan. Memang tidak sekaya kita atau keluarga Edith. Tapi, harusnya cukup untuk menjadi besan Papa."
"Maksudmu apa?"
Daisy menggigit bibir. "Bisakah kalau mereka berdua dijodohkan? Barangkali cocok."
Setelah melontarkan idenya, Daisy menunduk dan mengunyah makanannya. Ia sudah tahu kalau idenya berhasil. Orang tuanya mungkin membutuhkan waktu untuk mencerna, tapi setidaknya kini ada ide baru tertanam di benak mereka. Ia yakin, di kamar nanti papa dan mamanya akan mendiskusikan ini. Dalam beberapa hari ke depan, wacana perjodohan Blosoom dan Aldo pasti terbentuk. Mau tidak mau, Daisy merasa puas dengan diri sendiri.
**
Sudah menjadi kebiasaan, setiap akhir minggu atau hari libur, orang-orang di rumah besar itu akan tidur nyenyak sepanjang waktu dan bangun saat menjelang siang. Blossom yang punya janji dengan Dante, sudah bangun dari pukul sembilan. Membersihkan diri dan merias wajah. Mereka akan melihat gedung untuk acara pernikahan. Sungguh aneh, sedangkan dirinya justru baru saja meng-cancel hotel yang yang semestinya akan menjadi tempat pernikahannya dengan Edith.
Blossom membuka laci untuk mengambil jam tangan. Pandangannya tertumbuk pada seuntai gelang yang diberikan Edith. Gelang dengan tatahan batu permata. Edith mengatakan, membelinya saat ke Paris. Menghela napas, ia memasukkan kembali gelang ke dalam kotak dan mengunci laci.
Meski kadang rasa rindu menyergap hatinya, tapi ia tidak akan membiarkan dirinya b erlarut-larut dalam kesedihan. Edith tidak cukup mencintainya, karena itu tidak menolak uluran kasih dari Daisy. Lalu, untuk apa ia meratapi hubungannya yang sudah berlalu?
"Nona, sepagi ini mau ke mana?"
Pelayan perempuan setengah baya, bertanya dengan sopan saat melihatnya memakai sepatu.
"Pergi."
"Ke mana, Nona?"
"Bukan urusanmu, Neli."
Blossom tahu, Neli adalah pelayan setia sekaligus mata-mata sang mama. Perempuan itu akan melakukan apa pun untuk memberikan informasi pada mamanya. Melangkah ke halaman depan, ia menunggu Dante di depan gerbang. Dua penjaga pintu menatapnya heran tapi tidak ada yang berani bertanya.
Sebuah mobil sedang hitam berhenti di depannya. Blossom mengerjap sampai pintu mobil terbuka dan Dante muncul. Seperti biasa, memakai celana jin yang kali ini robek di bagian dengkul, kaos hitam dan tak lupa kacamata.
"Kamu cantik sekali, Manis. Blus merah mudamu itu sangat menggoda. Seperti campuran syrup dan es batu."
Pujian Dante membuat Blossom tercengang. Ia masih terpaku di tempatnya berdiri saat laki-laki itu memutari mobil dan membuka pintu untuknya.
"Masuklah, jangan sampai kulitmu yang putih itu menjadi gosong karena matahari."
Blossom mengangguk, mengikuti langkah Dante. Ia merunduk untuk masuk ke mobil dan membiarkan laki-laki itu menutup pintu.
Kendaraan melaju di jalanan yang cukup sepi. Blossom bermain-main dengan cincinnya, karena tidak tahu harus bercakap-cakap apa dengan Dante.
"Apa kamu tahu kita akan ke mana?"
Blossom menoleh lalu menggeleng. "Nggak."
"Suatu tempat yang akan menjadi tempat kita mengikat janji."
"Bukan di kota?" tanya Blossom saat kendaraan makin lama makin menjauh dari keramaian.
"Bukan. Tempat yang akan kita datangi ini istimewa, kamu pasti suka."
Blossom tidak mengatakan apa pun, mengarahkan pandangan ke luar jendela. Ia tidak mengerti, kenapa dirinya bisa bicara dengan santai dan seolah mereka berteman sudah lama bersama Dante. Ia sama sekali belum pernah mengenal laki-laki itu. Reputasinya membuat Blossom tidak ingin kenal, apalagi dekat. Namun, dendam dan sakit hati justru menyatukan mereka.
"Bagaimana kabar keluargamu? Mereka sudah tahu soal kita?"
Blossom mengangguk. "Sudah."
"Lalu, kamu menjawab apa?"
"Aku biarkan mereka menebak sendiri. Tidak ingin menjelaskan terlalu detil."
"Bagus, memang harus begitu. Aku juga tidak mau, orang-orang ikut campur dalam hubungan kita. Lebih bagus kalau kita cepat menikah dan tinggal bersama. Nanti, akan aku perlihatkan di mana rumah kita."
Rasanya sepeti de javu, saat mendengar soal rumah kita. Karena Edith juga sudah mempersiapkan rumah untuk ditinggali. Ia pernah datang beberapa kali ke rumah berlantai dua itu, yang sekarang ditinggali oleh Edith. Bergaya klasik Eropa yang ia tahu harganya tidak murah.
Ia tersenyum pahit, saat menyadari kalau rumah itu kelak akan menjadi milik Daisy. Blossom menoleh ke arah Dante dan menyuarakan pertanyaan dalam dirinya.
"Dante."
"Iya, Manis."
"Apa anak yang dikandung Daisy, itu anakmu juga?"
**
Cerita lengkap bisa beli di Karyakarsa dan playbook.
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro