Memoar - Hana
"Apa kamu yakin semua yang kamu lakukan sudah benar?"
Pertanyaan itu terlintas dalam benakku, ketika aku sedang mengetik naskah baru untuk bulan depan. Mataku menatap kosong pada layar ponsel, yang sedari tadi menyala, lalu mati karena ditinggal terlalu lama. Pertanyaan itu membuyarkan fokusku.
Bukan. Bukan karena itu. Suara hati yang jarang aku dengar, kini kembali. Mempertanyakan tindakanku benar atau tidak. Suara yang kadang menuntunku untuk terus menggenggam pulpen dan buku, tidak peduli seseorang sudah menghancurkan hatiku. Suara yang telah mengembalikan diriku bahwa aku layak, pantas untuk memperjuangkan hakku.
Aku tahu apa yang aku lakukan. Kapan kamu kembali?
"Sudah lamakah kita tidak berdebat tentang cerita yang kau tulis? Kapan terakhir kali kamu jatuh ke titik terendah?"
Titik terendah. Dua kata itu membuat hatiku sesak. Aku tahu maksudnya. Hari di mana aku tidak bisa menuliskan semua ide, tidak bisa menggambarkan imajinasi. Menguburnya dalam-dalam sampai aku menjadi keras pada diri sendiri. Waras? Tidak. Menulis adalah hidupku. Nabila tanpa menulis bukanlah Nabila. Dan Nabila tanpa pulpen itu artinya akal sehatnya sudah mati.
Aku mendengus. Lalu kembali menulis sekumpulan kalimat yang bergerumul di dalam pikiran. Selagi mendengar Hana bercerita tentang masa laluku. Tentu saja aku mengingatnya dengan jelas. Satu-satunya yang masih kucoba tenggelamkan dari pikiranku. Namun, sulit.
Menghilangkan depresi tidak semudah yang kubayangkan.
"Sudah kubilang, belajarlah memaafkan. Jika kamu mau balas dendam, kembalilah, tunjukkan kamu baik-baik saja. Tidak perlu menunjukkan kamu jadi siapa, biarkan dia melihatnya sendiri," ujar Hana padaku.
Walau kejadiannya sudah beberapa bulan lalu, aku masih merasa semuanya seperti kemarin. Belajar memaafkan katanya? Ya, aku berusaha mengikis semua rasa sakit dan memperbaiki segalanya.
"Aku mengenal dirimu tidak hanya setahun. Memaafkan adalah cara terbaik untuk mengobatimu. Kamu bukanlah orang yang cuek, bukan juga orang yang harus berlarut dalam kesedihan."
Lalu apa, Hana? Hatiku sudah mati! Aku kadang masih berpikir untuk berhenti menulis. Memikirkan semua ini bukan milikku, ini semua rampasan. Aku ... aku harus apa?
"Kamu enggak merampasnya. Kamu mempelajarinya, berusaha untuk jadi lebih baik dari waktu ke waktu. Mengorbankan semuanya dan kembali mengulang, kenapa kamu masih memikirkan ucapannya?"
Aku membanting diri ke tembok. Mengembuskan napas pelan. Lalu kulihat deretan kata yang menyakitkan. Berhenti menulis sama saja membunuh hidupku. Tentu aku tahu, tapi ... perasaan ragu itu masih bersemayam.
Bagaimana aku dikatakan tidak layak. Tanpa tahu apakah perjuanganku selama ini. Memberanikan diri, mempelajari berjam-jam di perpus dan membaca tiap buku yang berkaitan dengan itu. Sempat terluka, tetapi berusaha bangkit.
"Lihatlah kamu. Berdiam diri di tempat yang sama. Mendendam dan menguras semua emosi yang kamu miliki. Apakah menyiksa diri itu lebih baik daripada kedamaian?"
Aku tidak dendam! Aku hanya marah karena aku terlalu lemah. Aku tidak punya keberanian untuk mempertahankan argumenku. Bahkan semua hubungan yang aku miliki renggang.
"Kalau begitu beranikanlah dirimu. Ikuti organisasi kepemimpinan jika perlu. Dengan begitu sibuk dan pola pikirmu berubah, aku yakin kamu akan lebih dewasa dalam memutuskan sesuatu."
Mudah sekali kamu bicara. Ini sudah semester 2. Mana ada organisasi kepemimpinan yang masih menerimaku. Sudahlah, lagi pula aku tidak cocok berorganisasi.
"Tidak cocok apa takut? Ini caraku agar kamu bisa kembali menulis, belajar lebih bijak dan lebih dewasa. Berhenti menghindar! Kamu bukanlah orang yang mau membuat orang lain rugi juga kan?"
Aku menangis, menutupi wajah dengan kedua tangan. Mungkin Hana benar. Dengan menyibukkan diri dan masuk ke organisasi yang tepat, aku akan lebih berpengalaman.
------
Kini, aku mengembuskan napas. Melihat beberapa buku antologi yang kuikuti, piagam dari lomba yang aku juarai, serta buku novel yang telah kucetak. Selama dua tahun terakhir. Mengingat betapa kekanakan dan depresi yang pernah aku lalui.
Hana memang benar, pola pikirku berubah. Aku lebih bisa berargumen dan mengembangkan bakatku mulai dari 0 lagi. Membangun nama baru dari awal. NamikazeHana, nama yang terdengar indah. Walau aku masih belum merasa layak menempatkan namaku sendiri di dalam nama pena. Hana, bagian penting dari pikiran yang hidup dalam kepalaku.
Pikiran positif ....
Ponselku berbunyi. Tiba-tiba nama uangku takutkan muncul. Gemetar. Dadaku sakit. Otakku tidak lagi memproses apa yang kulihat, kudengar. Semua kilas balik beberapa tahun lalu, mulai muncul.
Takut .... Takut .... Sebaiknya aku mematikan ponsel. Ah! Jangan lupa blokir nomor ini, mungkin dia satu-satunya orang yang akan aku blokir dalam hidupku. Sampai ....
"Mau sampai kapan kamu sembunyi kayak gini? Aku tahu ini bikin kamu drop. Tapi mau sampai kapan kamu jadi pengecut?"
Tapi, Han. Aku terlalu takut ... aku gak mau ngulang kejadian lama..
"Bila, aku yakin kamu mampu. Kalau kamu kayak gini, sampai tua juga kamu bakal ada di titik terendah. Jujur sama diri kamu sendiri."
Tapi ...
"Aku gak mau kamu terhambat karena masa lalu. Aku tahu kamu udah maafin, tapi rasa marah dan kecewa kamu masih besar. Aku tahu kamu berusaha keras untuk memaafkan. Baik diri kamu atau orang-orang itu."
Hana, aku takut. Banget. Aku takut itu bener-bener dia.
"Kamu takut apa? Dikatakan sombong? Apa kamu punya hal untuk disombongkan? Apa kamu takut tidak percaya diri dengan dirimu?"
Ya.
"Tapi aku percaya kamu bisa melaluinya. Hadapi dia. Kamu bisa menggeser jadwal hari ini ke besok. Tidak ada gunanya juga kamu mengerjakan jika rasa takutmu makin besar."
Ucapan Hana benar. Meski menghindar adalah salah satu cara menghadapi konflik. Namun, aku bukanlah orang seperti itu. Aku tidak bisa jika terus menghindar dan menutup mata seolah semua baik-baik saja.
Lagi pula, 3 tahun aku membangun kepercayaan diri ini. Membangun semua hubungan yang kumiliki, membangun kembali apa yang sudah runtuh.
Dan ... belajar dari setiap kesalahan.
"Hei, Hana, aku pikir nanti malam aku perlu kamu untuk berdebat soal ide tambahan untuk Mulan."
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro