
25. Bukan Air Hujan
Mata sayu itu sudah sembap. Menangis membuatnya kehilangan tenaga, ditambah luka di kakinya semakin terasa nyeri. Ia terisak, lalu sesenggukan memperparah keadaannya.
Hatinya terasa sangat perih, sesak, dan sakit. Menangis sepanjang perjalanan tak kunjung membuat relung dadanya lega, melainkan malah semakin memperparah kesakitan yang ada. Namun, ia bisa apa?
Tangisnya kembali pecah di dalam mobil, lalu menutup wajah dengan kedua tangan. Kemudian menangis sejadi-jadinya. Sejak ke luar dari area kampus, tangisnya tak kunjung mereda. Sesak di hatinya juga tak berkurang sedikit pun.
Lara menghela napas kasar. Ia seperti orang bodoh yang tak dapat berpikir apa-apa. Sedari tadi dirinya hanya bisa mengemudikan mobil, meski sesekali netranya menatap spion agar bisa melihat keadaan nona mudanya.
Tangisan Azkia sangat menyayat hati. Raungannya menandakan betapa sakit yang ia rasa, isakan serta sesenggukan menjadi melodi dan menambah kesan ia sangat terluka parah. Dalam satu keadaan, ia menerima dua kenyataan yang sangat memilukan. Sekejam itukah cinta?
“Silakan, Non,” ujar Lara sembari membukakan pintu untuk nona mudanya, lalu memapah gadis tersebut ke dalam rumah setelah menutup pintu mobil.
Sesekali ringisan terdengar dari bibir tipis Azkia, lalu menggigit bibir bawahnya menahan nyeri yang dirasa. Langkahnya tertatih-tatih dibantu oleh sang bodyguard.
“Azkia!” pekik pria dewasa di ruang tamu. Ia yang berniat mengambil air ke dapur, menangkap sosok putrinya tengah melangkah di papah oleh Lara.
“Papah ...,” gumam Azkia menatap sang papah dengan raut terkejut. Pasti papahnya akan bertanya panjang lebar, ia harus menjawab apa?
Bibirnya tekatup rapat enggan bersuara, meski nyeri semakin menjalar sekujur kaki. Sejenak ia memejamkan mata, ingin meringis tetapi urung karena tak ingin papahnya mengetahui apa yang terjadi.
“Kamu kenapa, Nak? Kaki kamu, mata kamu ... kamu habis menangis? Katakan, siapa yang membuat kamu seperti ini, hah?” ujar Irwan menggebu-gebu.
Hatinya ikut sakit melihat sang putri pulang dengan keadaan buruk. Kaki yang cidera, gamis sedikit basah, jilbab tak rapi, juga raut wajah yang memilukan. Mata sayu gadis itu sembap dan memerah.
Ia tak terima siapa pun yang melakukan hal tersebut pada putrinya. Siapa pun yang menyakiti Azkia, akan berurusan langsung dengan dirinya. Ia takkan membiarkan orang itu hidup dengan tenang sebelum menebus perlakuannya pada sang putri.
“A-anu, Pah ... kakiku terkilir,” ucap Azkia pelan kemudian terisak.
“Terkilir! Kenapa bisa?” tanya Irwan menelisik wajah Azkia, mencari titik kejujuran di mata putrinya.
“I-itu, Pah ... kesandung.” Azkia menunduk pasrah.
Ia tahu, papahnya itu tengah marah. Meski nada bicara pria dewasa di depannya tidak tinggi, tetapi bisa di lihat dari ekspresi wajahnya. Ia tak pernah melihat sang papah marah seperti itu.
Irwan menghela napas kasar, lalu melafalkan istigfar beberapa kali. Kemudian memapah sang putri untuk duduk di sofa berwarna keemasan. Ruangan serba silver itu terlihat sangat mewah dengan beberapa barang brandid dan antik di dalamnya.
Lantas, ia segera membawa putrinya ke dalam pelukan, lalu mengusap kepala gadis itu pelan. Kemudian mengecup pucuk kepalanya penuh kasih sayang.
“Nak ... jujur sama Papah, siapa yang membuat kamu seperti ini?” ujar Irwan setelah melerai pelukan dan menatap putrinya itu meminta jawaban.
Azkia bergeming, lalu menunduk dan enggan menjawab pertanyaan sang papah. Bibirnya kelu ingin berkata siapa pelaku yang membuatnya seperti ini. Ia memang sakit hati dengan kedua sahabatnya dan dua lelaki tersebut. Namun, mereka tak sepenuhnya salah. Hatinya juga ikut andil dalam masalah ini.
Beberapa menit tak kunjung mendapat jawaban juga, Irwan menatap wanita yang tengah berdiri tak jauh dari tempatnya duduk. Ia menatap wanita berpakaian serba hitam itu dengan tajam, membuat Lara langsung menunduk dalam.
“Lara ...,” panggil Irwan dengan nada introgasi.
“I-iya, Tuan?” Lara segera mendongak.
“Siapa yang membuat Azkia seperti ini?” ucap Irwan penuh penekanan.
“Aww, Papah!” ringis Azkia merasakan nyeri di kakinya semakin menusuk tulang.
Irwan segera menatap sang putri, lalu menatap kaki gadis di depannya. Tampak lebam yang membiru sudah memperluas warnanya di mata kaki Azkia. Kemudian, giginya saling beradu kuat menimbulkan gemeretak pelan pertanda amarahnya sudah sampai ke ubun-ubun.
“Lara! Segera siapkan mobil, kita akan bawa Azkia ke rumah sakit. Cepat!” perintah Irwan kemudian bodyguard bernama Lara itu mengangguk paham dan segera melaksanakan perintah dari tuannya.
Hujan kembali mengguyur dalam gelapnya malam, membuat semua orang kedinginan dan memilih untuk berdiam diri di rumah masing-masing. Menikmati secangkir teh atau kopi bersama keluarga, bercengkrama ria dengan orang-orang terkasih.
Berbeda dengan gadis bergamis biru tua itu, ia tengah menatap tetesan air yang turun dari langit dari kaca jendela mobilnya. Matanya sudah tak begitu sembap, tetapi sesak masih ada juga luka di kakinya masih setia terasa nyeri.
Perjalanan ke rumah sakit cukup jauh, menerobos guyuran hujan ditemani angin malam yang sangat menusuk kulit. Beruntung Azkia berada di dalam mobil bersama sang papah, bodyguardnya, serta sopir.
Bulir bening kembali menetes membentuk sungai kecil di pipi, tangannya segera terulur menghapus jejak itu dengan pelan. Hujan telah membawanya pada kenangan beberapa saat lalu.
Hujan selalu berhasil membawanya pada masa-masa indah itu, tetapi hujan juga membawa kepahitan realitanya. Ia tersenyum kecut dengan air mata yang sudah mengalir deras. Azkia menangis dalam diam.
Ia terisak pelan, membuat Irwan yang duduk di sampingnya melirik ke arah sang putri. “Sayang ....”
Azkia menoleh, lalu berhambur memeluk sang papah dengan erat. Kepalanya bersandar pada dada bidang pria itu. Kemudian tangisnya pecah. Ia sudah tak kuasa lagi menahan sesak di hati.
“Papah ...,” lirihnya kemudian terisak.
Satu hal yang ia yakini, papahnya takkan pernah menyakiti hatinya. Pria yang menjadi orang tua tunggal itu seperti pahlawan, selalu melindunginya dari apa pun. Azkia percaya, hanya papahnyalah lelaki yang akan selalu mencintainya tanpa memberikan sakit di hati sampai kapan pun.
“Kenapa, Sayang ?” ujar Irwan mengelus kepala putrinya penuh kasih sayang.
Azkia menggeleng pelan. Ia masih setia menangis di dalam pelukan sang papah, lalu tak terasa kantuk menyerang dan membawanya menyusuri alam mimpi. Menangis sejak di kampus tadi membuatnya kehilangan tenaga.
Merasa tak mendengar isakan lagi dari sang putri, Irwan tersenyum. Setidaknya Azkia bisa melupakan kesedihannya walau sejenak dalam tidur. Ia teringat pertanyaannya belum mendapatakn jawaban. Ini kesempatannya untuk bertanya kembali.
“Lara, jelaskan semuanya!” pinta Irwan dengan nada datar, tetapi penuh penekanan.
Tak ada pilihan lain, Lara mengangguk kemudian menceritakan kronologisnya. "Jadi begini, Tuan ...."
“Kesya dan Rani!” ucap Irwan dengan tatapan tajam menahan amarah.
Ia akan membuat perhitungan dengan kedua gadis tersebut setelah mengantar Azkia ke rumah sakit. Namanya yang telah cukup tersohor di dunia bisnis, membuatnya tak sulit untuk melumpuhkan siapa pun.
Selama ini ia tak pernah melukai orang lain, jika orang itu tak mengusik diamnya. Namun, seperti kata pepatah. Marahnya orang diam sangat berakibat fatal. Terusiknya singa yang tengah tidur, jangan dianggap remeh.
Dalam ruangan serba putih. Azrani menghela napas pelan menerima keputusan kedua orang tuanya. Tak bisa dipungkiri, ada rasa bahagia dan sungkan. Bahagia karena memang ia sudah menaruh hati pada lelaki berlesung pipi itu sejak lama, tetapi juga sungkan karena pernikahan terjadi secara mendadak.
Netranya menatap sang abah yang sudah duduk berhadapan dengan lelaki berkemeja putih itu, lalu di samping lelaki itu terdapat kedua orang tuanya. Beberapa dokter serta suster juga hadir diminta menjadi saksi pengucapan janji sakral ini.
Hanifah mengusap lengan putrinya pelan. Kain hitam sudah tersemat menutupi wajah ayu gadis tersebut. Jantungnya berdetak tak karuan, seiring denyutan kembali hadir di kepalanya.
Akan tetapi, ia berusaha menahan rasa nyeri itu. Insiden di masa lalu membuatnya harus sering mengunjungi rumah sakit dan berakhir seperti ini. Sejujurnya ia sudah lelah, tetapi kasih sayang Sang Kholiq selalu berhasil membuatnya kembali bersyukur.
“Azka, kamu sudah siap?” ucap Abah Apip menatap sang murid.
Azka mengangguk. “Insyaa Allah siap, Bah!” jawabnya dengan mantap kemudian menghela napas dan menerima jabatan tangan sang guru.
“Sebentar, Bah. Azrani ingin menghubungi seseorang dulu. Ia ingin sahabatnya Azkia hadir di momen ini,” ujar Hanifah kemudian diangguki sang suami.
Azrani tersenyum di balik kain yang ia kenakan. Ia memang meminta hal itu pada sang umi. Ia ingin, Azkia bisa menghadiri momen penting ini.
Dering ponsel membuat seorang gadis mengalihkan fokusnya pada tas selempang yang ia bawa. Kemudian mengeluarkan benda persegi panjang itu dan menerima panggilan.
“Wa’alaikumsalaam warohmatullah. Iya? Kebetulan ini Azkia lagi ada di rumah sakit yang sama, Umi. Oh, ruang melati, ya? Baik, Umi. Azkia ke sana sekarang,” ucapnya kemudian menutup panggilan setelah menjawab salam.
Sebenarnya ia ingin bertanya, kenapa Azrani berada di rumah sakit. Namun, ia urungkan dan segera meminta sang papah untuk membawanya ke ruang melati.
Azkia bergeming dengan tatapan kosong, hatinya hancur tatkala mendengar Azrani akan menikah sekarang juga. Ia tak bisa menyembunyikan kesedihannya, air matanya luruh begitu saja.
“Kamu kenapa, Kia?” ujar Azrani menatap gadis yang duduk di kursi roda tepat berada di sampingnya.
Ia sudah tahu, alasan kenapa gadis itu memakai kursi roda. Namun, gadis itu belum tahu alasan kenapa ia berada di rumah sakit. Ia akan bercerita, saat waktunya sudah tiba.
Azkia menggeleng pelan. “Enggak papa, aku ikut seneng kamu menikah sekarang,” kilahnya sembari mengusap air matanya pelan.
Azrani mengangguk pelan. “Terima kasih,” ucapnya kemudian menatap kedua lelaki di depannya yang sudah duduk berhadapan.
“Bismillahirrohmaanirrohiim ... Ankahtuka wazawwajtuka makhtubataka Azrani Izzatunnisa binti Ahmad Apip 'alal mahri majmu'at min ‘adawat asshalaat, hallan!” ucap Abah Apip memulai ijab qobul.
Azkia kembali menteskan air mata. Hatinya hancur berkeping-keping menyaksikan lelaki yang ia cintai mengucapkan janji sakral untuk wanita lain.
“Qabiltu nikahaha wa tazwijaha ...."
***
Kira-kira, Azrani sakit apa, ya? Kasian Azkia, hancur hatinya. Huhu, nangess nulis bab ini.
Betewe, alhamdulillah buku ini mau naik cetak. Sudah dibuka pesanannya dari sekarang, kuy list!😙 jangan sampai kehabisan si Tuan Angin dan Nona Hujan. Kalian bisa peyuk Azka dan Azkia sepuasnya, hee. Yuk, yuk!
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro