
23. Permintaan Maaf
Azka menatap dalam pemuda di hadapannya, lalu menurunkan tangan yang ia cekal dengan pelan. Hatinya berusaha melafalkan istigfar agar selalu tenang dan tidak tersulut emosi, meski giginya saling beradu kuat menahan amarah yang bergemuruh dalam dada.
“Alan!” bentak Azkia kemudian mendekat ke arah dua lelaki tampan tersebut di papah oleh sang bodyguard.
Sesekali ia meringis, merasakan denyut terus menusuk tulang kaki saat memaksakan melangkah. Namun, hatinya enggan melihat kekacauan hanya karena kesalah pahaman. Hujan lebat seakan membuat suasa semakin tegang dengan cuaca dinginnya.
“Alan! Kamu jangan berani menyentuh Pak Azka! Beliau enggak salah apa-apa, kamu yang salah!” ucap Azkia dengan lantang, kemudian sejenak melirik ke arah dosen muda tersebut dengan napas tersengal-sengal menahan emosi.
“T-tapi kan—“
“Kakiku terkilir bukan karena Pak Azka! Justru Pak Azka yang nolongin, sementara kamu? Sok tau dan langsung main hakim sendiri!”
Azkia menghapus air matanya dengan kasar. Tak kuasa menahan emosi, maka air mata yang ke luar. Azkia adalah sosok gadis yang tegas, tetapi jika meluapkan amarah ia tak pernah memukul atau apapun. Hanya bentakan, lalu menangis meluapkan semuanya.
“Kia ... maafin aku, tolong ma—“ Alan berniat memegang tangan gadis di depannya, tetapi urung saat gadis tersebut menarik tangannya hingga ke belakang tubuh.
“Jangan sentuh!” peringat Azkia dengan air mata yang masih mengalir dan lagi ia menghapusnya dengan kasar.
“Kamu ngapain ajak cowok ini ke sini?” ujar Azkia menatap bodyguarnya penuh kekecewaan.
Lara menunduk, tangannya masih memegang lengan sang nona muda. “Maaf, Non. Tadi di jalan kami bertemu. Alan pikir, Non Azkia ada di dalam mobil bersama saya. Jadi, saya ajak ke sini. Sekali lagi, maaf, Non ...,” tuturnya panjang lebar.
Azka hanya menyimak, sesekali mengusap sudut bibirnya pelan. Rasa perih masih menjalar, meski cairan merah kental itu sudah berhenti ke luar beberapa menit yang lalu.
Sejenak netra sayu Azkia menatap dosen muda tersebut dengan sendu, lalu menatap lelaki di depannya. Kemudian membuang pandangan ke sembarang arah. Hatinya sudah berkecamuk. Dua lelaki yang mengisi hatinya, telah memberikan luka yang sama. Sama-sama perih, sesak, dan mengecewakan.
“Ayok, Ra. Pulang!” ajak Azkia setelah melihat hujan reda.
Beberapa menit menunggu di koridor bersama kedua pria yang telah berhasil membuatnya merasakan manisnya cinta, juga pahitnya kekecewaan membuatnya semakin terluka. Semua memori kebersamaannya dengan Alan terputar otomatis. Kemudian perhatian Azka pada Azrani, juga ikut andil dan membuat hatinya semakin sesak.
Lara mengangguk paham, lalu memapah Azkia secara perlahan menuju parkiran. Dari sudut matanya, ia menangkap nona mudanya itu mengeluarkan air mata. Namun, ia tak kuasa bertanya. Biarlah tangis meredakannya sedihnya terlebih dahulu, baru ia akan bertanya.
“Azkia!” panggil seseorang.
Azkia menghentikan langkahnya di tengah lapangan, begitu juga dengan Lara. Kemudian suara sepatu terdengar ke gendang telinga seperti tengah berlari, lalu muncul sosok tampan bermata sipit dari belakang.
Alan menatap Azkia dalam, lalu menghela napas berat. Berbeda dengan gadis di depannya, Azkia justru memalingkan wajah dan enggan menatap sosok di hadapannya.
“Kia ...,” panggil Alan pelan.
Hening. Azkia bergeming tak ingin merespon apapun. Sementara itu, Lara hanya menyimak sembari memegang kedua bahu nona mudanya agar tak jatuh. Kaki Azkia yang cidera, membuatnya harus berhati-hati dalam menjaga gadis tersebut.
“A-aku mau minta maaf soal hubungan kita,” kata-kata tersebut akhirnya terlontar dari bibir Alan setelah hening mengumpulkan keberanian beberapa saat. “Aku melakukan itu karena ....”
“Karena apa? Karena sudah bosan? Malu? Punya yang lain, iya?” potong Azkia dengan nada kesal.
“Ayok, Ra, jalan! Enggak penting ladenin orang kayak dia,” ketus Azkia kemudian berjalan melewati lelaki yang sudah mematung itu.
Alan bergeming, pikirannya melanglang buana. Antara harus menjelaskan sekarang, atau tidak. Ia sendiri belum mempunyai keberanian untuk menjelaskan semuanya.
“Karena Papahku bangkrut dan memaksaku menikah dengan putri rekan kerjanya agar perusahaan bisa bangkit!” tutur Alan dengan lantang dan membuat gadis itu berhenti di samping mobil.
Azkia menoleh. “Lalu, sekarang apa hubungannya denganku? Tidak ada, bukan? Kamu juga sudah menikah,” ucapnya tanpa beban setelah berbalik badan.
Alan menghampiri Azkia dan berdiri di depan gadis tersebut. “Aku memang sudah menikah, tapi hati ini masih ada namamu Kia! Masih ada namamu!” ujarnya mantap sembari menunjuk ke arah dada bidangnya.
Azkia memalingkan wajah. Apapun alasannya, luka di hatinya tidak bisa sembuh hanya dengan kata ‘maaf’ dan penjelasan setelah air mata ke luar karena kecewa yang mendera.
“Aku cinta kamu, Kia ... aku masih memiliki rasa itu. Aku harap, kamu juga masih sama,” sambungnya kemudian bertekuk lutut di hadapan Azkia.
Dinginnya air hujan yang membasahi lapangan menembus celana jeans yang ia kenakan, hingga membasahi kulitnya. Namun, hal itu tak membuat seorang Alan berdiri.
Lelaki bermata sipit itu mendongak. “Kia ... kamu mau kan, menikah sama aku?”
Sebuah tamparan mendarat di pipi putih Alan, rasa panas dan perih menjalar hingga ke daun telinga. Lelaki itu menatap seseorang yang menamparnya dengan raut kesakitan.
“Apa kamu sudah gila, akan menjadikan Non Azkia istri kedua, hah! Apa yang akan di katakan Tuan Irwan!” tutur Lara penuh emosi setelah menampar lelaki itu dengan sangat keras.
Sejak tadi, ia memperhatikan kedua insan lawan jenis itu dengan saksama. Guratan sedih kembali hadir di wajah ayu nona mudanya dan itu, membuat hatinya bergemuruh.
Amarahnya tak bisa ia tahan lagi, tatkala mendengar lelaki itu meminta Azkia menikah dengannya sementara dia sudah menikah dan memutuskan hubungan dengan Azkia.
Alan tak menggubris ucapan wanita berpakaian sebra hitam itu. Netranya fokus meminta jawaban pada Azkia, meski gadis itu tak menatapnya sama sekali.
“Lalu bagaiman dengan istrimu?” ketus Azkia.
“Dia sudah aku ceraikan setelah mengetahui papahnyalah yang membuat papahku bangkrut. Setelah dibawa ke pengadilan, papahnya menjadi tersangka kasus penipuan.”
Azkia menghela napas kasar, lalu menatap lelaki yang masih setia berlutut di hadapannya dengan raut yang sulit diartikan. “Berdiri!” ucapnya penuh penekanan.
Alan menggeleng dengan cepat. “Enggak. Sebelum aku dapat jawaban,” ujarnya.
“Baik, dengarkan ini baik-baik. Seburuk apapun istrimu, tetap kamu tidak berhak menalaknya tanpa alasan yang jelas," sejenak Azkia memejamkan matanya, lalu kembali membuka suara.
"Apalagi, hanya karena papahnya. Bisa jadi, istrimu itu tidak tau apa-apa, dia hanya mengikuti perintah papahnya untuk menerima perjodohan. Juga sudah menjadi kewajiban seorang suami, untuk membimbing istrinya menjadi lebih baik, paham!” Azkia kembali menangis. Hatinya merasa sesak sejak mendengar pernyataan bahwa lelaki itu memutuskan hubungan mereka karena akan menikahi wanita lain.
Tangannya terulur mengusap jejak air mata pelan. “Maaf, lebih baik kamu kembali sama istrimu. Dia lebih membutuhkan kamu ketimbang aku. Dia lagi rapuh karena papahnya masuk jeruji besi, kamu sebagai suami harusnya bisa menghibur istirmu. Bukan mencari yang lain seperti ini!”
“Tapi ... bagaimana dengan rasa cintaku, Kia? Aku masih mencintai kamu!” Alan menatap gadis di depannya dengan sendu.
“Lupakan soal cinta, utamakan kewajiban sebagai seorang suami. Lagipula, aku sudah tidak memiliki rasa apapun sama kamu.” Azkia segera mengangguk pada Lara, pertanda ia ingin pergi dari hadapan lelaki tersebut.
Lara yang paham akan keinginan nona mudanya, segera memapah Azkia dan membukakan pintu. “Silakan, Non. Hati-hati,” ucapnya kemudian menutup pintu.
“Azkia! Baiklah, aku akan menjauh darimu! Aku akan melupakanmu! Aku akan hapus rasa ini, Azkia! Tapi, izinkan aku mengungkapkan rasa ini untuk terakhir kalinya. AKU CINTA KAMU, AZKIA AL-HANIN!” teriak Alan penuh penekanan.
Azkia yang masih belum meninggalkan area perkiran, menatap Alan dengan sendu setelah mendengarkan semuanya. Kemudian meminta Lara segera melajukan mobilnya.
Hatinya harus kuat, meski sejatinya sudah rapuh. Azkia menangis dengan isak yang sudah menjadi melodi. Ia tak kuasa lagi menahan sesak, bahunya bergetar seiring air mata ke luar.
Kali ini, tak ada yang bisa menghentikannya untuk menangis. Ia menumpahkan semuanya, sesak yang sedari tadi ia tahan sejak berbicara dengan Alan.
Memori malam annivarsary itu kembali teringat, momen di mana lelaki itu memutuskannya di depan banyak orang setelah memberikan kejutan. Perih dan sakit melengkapi sesaknya saat ini. Azkia menangis tersedu-sedu, sesenggukan membuatnya semakin terlihat rapuh.
“Kenapa dia harus datang lagi, kenapa! Kenapa tak ada seorang pun yang mengerti akan perasaanku, kenapa!” ucap Azkia di sela-sela tangisnya sembari terus terisak pelan, lalu disusul sesenggukan.
Lara bergeming. Ia membiarkan nona mudanya itu menumpahkan semuanya sembari terus fokus menatap jalanan lurus. Hatinya tersayat mendengar jeritan dan tangisan Azkia di dalam mobil. Gadis itu terlihat sangat rapuh. Terlebih, sang ibunda yang sudah meninggal pasti membuatnya tak bisa bercerita pada siapa-siapa. Mengingat Irwan adalah salah satu pengusaha ternama, sudah bisa dipastikan waktu tak sepenuhnya untuk sang putri.
Azkia menutup wajahnya dengan kedua tangan, tangisnya pecah. Bahunya bergetar, isak berlomba-lomba ke luar, air mata membasahi pipinya hingga jilbab yang ia kenakan sedikit basah di bagian dada.
Azka menghela napas dalam menyaksikan insiden tersebut dari koridor, tangannya sudah masuk ke dalam saku celana. Menatap kepergian gadis tersebut dan merasa iba pada lelaki yang beberapa saat lalu meninjunya.
Dering ponsel membuatnya mengalihkan pandangan pada saku kemeja yang ia kenakan, lalu mengeluarkan benda pipih tersebut dan bergegas menggeser tombol hijau. Kemudian menempelkannya pada daun telinga.
“Hallo! Wa’alaikumsalaam warohmatullah ... apa! Iya, Abah. Azka ke sana sekarang!” ucapnya kemudian menutup sambungan telepon setelah mengucapkan salam.
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro