11. Bukan Ukhti
Ukhti artinya saudara perempuan, bukan sematan untuk wanita yang berjilbab lebar atau pun bercadar. (Azrani Firdaus).
***
“Pak, saya izin pulang. Sudah ditunggu Abi soalnya,” tutur Azka kemudian menyalami Irwan.
Mobil BMW putih mengkilap membelah jalanan yang cukup licin akibat hujan lebat siang tadi. Namun, hal itu tidak membuat Azka mengemudikan mobilnya secara perlahan. Ia tetap menempuh perjalanan dengan kecepatan sedang.
Sebenarnya, dalam hati Azka masih mengkhawatirkan Azkia. Raut wajah gadis tersebut masih tergambar jelas di memorinya. Jika bukan abinya yang meminta untuk pulang, sudah tentu ia akan terus menunggu Azkia sampai sadar.
“Assalamualaikum!” ucap Azka, lalu menyalami umi dan abinya.
“Bagaimana dengan keputusanmu, Nak?” tanya Amir setelah menjawab salam.
“Iya, Nak. Bagaimana? Jangan terlalu lama menunda niat baik,” imbuh Salamah-umi Azka.
Azka menghela napas, lalu menatap kedua orang tuanya secara bergantian. “Alhamdulillah Azka sudah mempunya jawabannya, mi,” ujarnya sembari melepaskan peci hitam dari kepala.
“Alhamdulillah,” syukur Salamah dan Amir bersamaan.
“Baju kamu kenapa basah, Nak?” tanya Salamah melihat pakaian putranya basah, lalu berdiri menghampiri Azka.
“Kehujanan, Mi. Azka mandi dulu, ya. Setelah itu Azka mau ke pondok, bicara sama Abah,” ujar Azka kemudian segera menaiki anak tangga menuju kamar.
Sesuai pernyataannya beberapa saat yang lalu. Kini, Azka tengah menempuh perjalanan menuju pondok di mana dulu ia mendalami ilmu agama. Pondok salafi yang sangat sederhana, selalu mengedepankan adab serta kedisiplinan waktu.
Bibir Azka tertarik ke samping hingga lesung di pipinya terlihat jelas membentuk ukiran dalam di sudut bibir, saat netranya menangkap bangunan yang sudah tak asing lagi. Tempat di mana jiwa dan raganya di didik.
Bangunan serba hijau berlantai dua dengan puluhan pintu asrama terlihat begitu memanjakan mata. Di mana di depannya terdapat saung santri atau tempat para orang tua menjenguk putra putri mereka. Di tambah beberapa pohon mangga yang rindang menghiasi di beberapa sudut area.
Sungguh, nikmat mana lagi yang bisa Azka dustakan. Bagaimana tidak? Dia telah Allah percaya untuk menjadi sebagian para pencari ilmu. Banyak di luar sana yang ingin mondok tetapi terkendala biaya atau restu orang tua.
Bahkan, banyak para orang tua yang rela memberikan apa pun agar putra putrinya mau tinggal di pondok pesantren. Hidayah itu mahal, tidak semua orang mendapatkannya. Maka, wajib di syukuri dan jangan di sia-siakan.
“Jadi, apakah kedatangan kamu membawa jawaban dari pinangan Abah, Nak?” ujar pria paruh baya memakai sorban jubah putih lengkap dengan sorban dan peci berwarna senada.
Meski wajahnya sudah mulai tampak keriput, tetapi sangat tenang kala memandangnya. Tatapannya teduh, suaranya menenangkan dan sangat berwibawa.
Ruangan perpaduan hijau dan putih itu akan menjadi saksi jawaban Azka. Beberapa kaligrafi asma Allah juga terpampang jelas dari ukuran kecil sampai besar. Dari mulai asma-asma Allah hingga beberapa lafal hamdalah, basmalah, serta ayat kursi.
“Alhamdulillah, Azka sudah mempunyai jawabannya Abah.”
“Katakan, Nak.”
Sekilas Azka melirik ke arah Umi Yasmin yang tengah menyodorkan secangkir kopi, lalu menarik napas dalam dan mengembuskannya pelan.
“Bismillah ... Azka siap menikah dengan Azrani, Bah!” tutur Azka mantap seraya menatap gurunya dengan penuh keyakinan.
“Alhamdulillah!” ucap Abah dan Umi Yasmin secara bersamaan.
Gadis berpakaian serba hitam itu tersenyum di balik pintu kamarnya tepat di samping ruang tamu. Akhirnya, cinta dalam diamnya mendapatkan kepastian yang sesuai harapan. Namun, meski begitu ia tak ingin terlampau jauh dalam berharap. Bisa saja takdir berubah sebelum janur kuning melengkung di depan rumahnya dan ijab qabul terucap.
Ia ingat, saat di mana pertama kalinya mengagumi sosok Azka. Pandangan pertama tepat saat pertama kalinya ia menginjakan kaki di tanah air setelah kelulusannya di Yaman. Azrani yang baru saja sampai di area pondok, mendadak getaran di hatinya muncul saat tak sengaja menangkap sosok Azka tengah membersihkan halaman rumahnya.
Semakin hari rasa itu semakin bertambah. Azrani sering melihat Azka di mesjid saat dirinya selesai mengajar para santri. Ia mengagumi sosok pemuda itu karena takzimnya pada sang guru dan rajinnya dalam menghafal. Sopan santunya tak perlu diragukan lagi.
Akan tetapi, saat Azka lulus dan memutuskan untuk kuliah ke Kairo, ia begitu kehilangan. Azrani sadar, itu adalah hasutan setan. Maka dari itulah, ia berani berbicara pada abahnya untuk meminta Azka menjadi imamnya.
“Untuk proses lamarannya, Azka akan kembali lagi lusa, Bah. Langsung dengan Umi dan Abi,” tutur Azka.
Setelah mengobrol begitu lama, mendiskusikan beberapa rencana untuk persiapan khitbah, Azka berpamitan pada gurunya.
Entah mengapa, rasanya hambar. Tidak ada rasa bahagia atau pun sedih saat dirinya mengambil keputusan tersebut.
“Astaghfirullah ...,” gumam Azka kemudian membuka pintu mobil dan kembali membelah jalanan. Sebentar lagi magrib tiba, ia harus sudah sampai di rumah dan membicarakan persiapan khitbah pada kedua orang tuanya.
***
“Ayolah, Pah ...,” rengek Azkia sembari memegang tangan ayahnya.
“Enggak. Papah bilang enggak, ya enggak. Kamu harus istirahat,” tolak Irwan. Ia tak ingin putri semata wayangnya kelelahan. Biarlah ia tega sedikit, meski hatinya terasa nyeri saat melihat raut wajah Azkia terus merengek.
Bosan berada di ruang rawat yang dipenuhi aroma obat-obatan, gadis bermata sayu itu meminta ayahnya agar membawanya ke luar mencari udara segar.
“Pah ... bentar aja, kok. Ayolah ...,” pinta Azkia. Ia terus saja membujuk Irwan agar mau membawanya ke luar ruangan.
Pria dewasa yang masih berpakaian formal itu menghela napas kasar. Semakin dirinya menolak, maka semakin membuat Azkia merengek. Ia tak tega.
“Baiklah, Papah izinkan. Asal pakai kursi roda,” peringat Irwan.
“Enggak mau ... aku kuat kok, Pah. Lagian cuma demam, kata dokter juga aku enggak papa kok ...,” ujar Azkia. Ia ingin ke luar dengan bebas, bukan memakai kursi roda.
“Ayolah Pa ....”
Suara dering ponsel berbunyi, membuat Azkia urung meneruskan ucapannya saat melihat Irwan merogoh saku celana.
“Hallo ....”
“Azkia, Papah izinkan kamu enggak pakai kursi roda. Tapi, harus ditemani Lara,” ucap Irwan kemudian beranjak dari kursi.
“Papah angkat telepon dulu,” ujarnya, lalu mengusap kepala Azkia pelan dan ke luar ruangan.
Dengan pakaian serba biru khas pasien, Azkia berjalan di papah oleh bodyguardnya. Wanita yang setia mengenakan pakaian serba hitam itu sigap menemani dan membantu nona mudanya berjalan ke luar ruangan.
“Ra, aku haus,” ujar Azkia.
“Non haus?” Azkia mengangguk pelan. “Kalau begitu, saya belikan minum dulu ya, Non. Non Kia tunggu di ....” Lara mengedarkan pandangan, mencari tempat duduk.
“Di sana, Non,” tunjuk Lara ke arah kursi di depan lobi, lalu kembali memapah Azkia yang masih lemas.
Azkia menarik bibirnya ke samping, saat melihat bodiguardnya berjalan ke arah kantin setelah membantunya duduk di kursi. Sebenarnya ia tidak haus, itu hanya alasan agar bisa leluasa berjalan. Ia bosan berada di ruang rawat terus menerus.
Lantas, Azkia berniat ke taman. Sepertinya cuaca sedang bersahabat. Tampak bulan menyinari dengan terang. Pasti banyak bintang bertaburan, pikirnya.
Dengan keadaan yang masih lemas, Azkia berusaha berjalan meski harus secara perlahan. Tak apa, itu lebih baik. Daripada harus terus-terusan berada di ruangan, membuat mood rusak.
“Aduh!” ringis Azkia saat seseorang menabraknya di ambang pintu.
“Maaf, Mbak. Maaf ... saya enggak sengaja,” pinta wanita tersebut.
“Lo bisa enggak sih, kalo jalan jangan buru-buru!” tutur Azkia berusaha kembali berdiri tegak. Hampir saja ia jatuh jika tangannya tidak sigap memegang pintu.
“Maaf, Mbak. Saya sedang buru-buru,” ujar wanita di hadapannya.
“Pantas ... ukhti ternyata. Biasanya ukhti kayak lo itu suka seenak jidat, merasa lebih baik dari orang lain!” ketus Azkia menatap wanita berpakaian serba hitam lengkap dengan secebis kain di wajahnya.
“Astaghfirullah ... Mbak, saya kan sudah minta maaf.”
“Alah, jangan sok deh lo! Gue udah tau model ukhti kayak lo ini.”
“Maaf, Mbak. Mbak tau arti ukhti itu apa?” pertanyaan itu berhasil membuat Azkia bergeming.
“Ukhti artinya saudara perempuan, bukan sematan untuk wanita yang berjilbab lebar atau pun bercadar,” tutur wanita di hadapannya.
“Azrani,” ucapnya pelan sembari menyodorkan tangan, mengajak berkenalan pada gadis cantik di depannya.
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro